Jumat, 15 Agustus 2008

My Opinion...



MENUTUP ALINEA MINOR KEMISKINAN INDONESIA

Kemiskinan. Kemiskinan seperti apa yang akan kita terjemahkan?

Kemiskinan dari kacamata kaum gedongan, pemerintah atau ungkap “si miskin” itu sendiri? Mari mengungkap fakta dari “semua pelaku”.

Kemiskinan di Indonesia saat ini akrab dengan deskripsi makin melemahnya daya beli masyarakat akibat lonjakan harga kebutuhan yang meroket, serta dilema lawas pengngangguran, kependudukan dan pemukiman, pendidikan dan pelayanan kesehatan yang selalu jauh dari kata “layak”.

Kemiskinan ditafsirkan dalam bahasa apa pun bukanlah diksi yang tepat untuk ditautkan pada kandungan kekayaan alam Indonesia. Meski begitu pertanyaan mudah seperti, “kenapa banyak orang miskin di Indonesia” pun sampai saat ini belum mampu terjawab dengan klimaks.

Distorsi paham yang menyatakan Indonesia sebagai negara kaya namun rakyatnya masih dibebani kemiskinan pada kenyataannya, patut dijadikan refleksi dari carut-marutnya penanganan SDM dan SDA Indonesia. Kemiskinan hanyalah salah satu dari banyak efek sampingnya saja.

Fakta terungkap: seratus tahun melawan kemiskinan, Indonesia cenderung masih menggunakan cara lama, Politik Etis.

BLT, Raskin, BOS adalah jiplakan dari sistem balas budi Belanda terhadap bangsa Indonesia. Merasa telah ‘diperkaya’ oleh kekayaan alam dan rakyat Indonesia, Belanda (yang notabene adalah penjajah) merasa perlu untuk membalas budi lewat kerja sampingan Politik Etis. Dan pemerintah secara terang-terangan menjiplak sistem kuno tersebut.

Serendah itukah pengembalian pemerintah lewat kebijakan “tetesannya” terhadap rakyat?

Tampaknya saja yang niat baik untuk membantu rakyat, tetapi justru menciptakan tumpukan masalah baru masih dengan tema kemiskinan: kemiskinan moral. Selain itu pemerintah dalam mengusahakan kesejahtaraan rakyat masih mengacu pada makna pertumbuhan bukan pemerataan. Akibatnya ditemui subjek dan objek yang melambung di atas tapi lebih banyak yang semakin merosot ke bawah taraf hidup dan kesejahteraanya.

Mengakrabi rakyat dengan kebijakan-kebijakan berjudul bantuan justru akan mempengaruhi pola pikir sekaligus pola sikap masyarakat menjadi cenderung manja, malas, dan ketergantungan pada pemerintah. Dulu orang saling berlomba unjuk kekayaan, sekarang justru kebalikannya mereka berdebat “akulah si miskin” sekedar merasa pantas mendapatkan hujan bantuan dari pemerintah. Namun, setelah itu ketika ada kasus kebijakan pemerintah yang dirasakan memberatkan, mereka lekas menjadi begitu agresif dan depresif dalam menyikapinya. Jika dibiarkan berlaru-larut hal ini tentu akan menjadi dilematik besar bagi kondisi psikologis dan karakter rakyat sekaligus pemerintah. Terpkirkan suatu solusi baru yang lebih ampuh dari sekedar membudayakan “kebijakan kaget” yang hanya akan semakin menyengsarakan rakyat? Sudah saatnya kita memikirkan kebijakan dengan nilai efektifitas yang lebih tinggi, tepat, adil dan yang terpenting adalah menonjolkan kesejahteraan dan kemerataan sosial bukan “terapi kembang api”.

Jika masalah kemiskinan yang belum kunjung terselesaikan digelontori masalah baru: krisis pangan dan energi, berapa banyak kata “miskin” yang akan dipredikatkan kepada kita?

Menegaskan bahwa kemiskinan dilakoni dua “pelaku”: pemerintah dan rakyat, solusi yang dapat diajukan adalah: optimalisasi pemungutan pajak, penghematan belanja pemerintah dan lembaga-lembaga negara, penghematan PLN, penghematan bagian dari laba BUMN 2007, penghematan energi jangka panjang, dan yang terfokus adalah pemberantasan korupsi. Korupsi tak ubahnya benih kemiskinan dan koruptor tak lebih dari “si termiskin” yang kenyang karena melaparkan saudara-saudara miskinnya sendiri.

Tersebut adalah langkah yang dapat dijadikan cermin pemerintah sendiri dalam menyikapi kemiskinan rakyat. Yang jika kesemuanya dapat dialirkan dengan bijaksana kepada rakyat dalam bentuk realisasi perbaikan dan pengembangan mutu pendidikan, kesehatan serta ekonomi rakyat, tentu akan lebih tepat daripada sekedar “bagi-bagi uang” untuk menyenangkan sesaat hati rakyat.

Dari rakyat, yang diharapkan adalah kemandirian dan kedisiplinan dengan tanpa kebanggaan menjadi benalu bagi pemerintah. Sektor pertanian, pertambangan, dan kebudayaan adalah lahan garapan potensial jika mampu dikelola dengan cerdas. Pemerintah kembali dituntut untuk total dan serius memfasilitasinya, yaitu dengan turut berani dan disiplin membuka pintu bagi kecerdasan berpikir dan mengolahnya..

Memaknai 100 tahun kebangkitan nasional, 10 tahun reformasi, 63 tahun kemerdekaan, sekaligus menyongsong Pemilu 2009, mari menjadi penutup dari alinea-alinea minor tentang kemiskinan negeri. Lekas mengawali narasi baru dengan diksi-siksi indah pilihan: maju dan sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar