Kamis, 16 Juni 2011

Sorry,

Gazing at the moonlight

Looking for the reason you may sign

Whether it’s wrong or right

I’ll try to be tight

‘Cause the night you made for me

taught me many things;

Relationship doesn’t meant at all

if you can’t value the moment you’ve shared

Sorry doesn’t work, if you still hurt


Night is the place I let off my regrets

And the sky is the place you hang up your dreams

We’re different, I’m sure

But, why don’t we learn to accept, again?


May be in another time, you might hear me

Above the crowd of the disapproval;

forgive me.


(alfyaulia-16/6/11)


Skizofrenia

Olan menutup laptopnya. FF sudah dikirim ke Mas Bangkit, editornya. Ia lalu membopong laptopnya ke meja kamar dari ruang depan. Ia menguap, memilih tidak menutup mulutnya daripada laptopnya berdebum ke lantai.

Olan baru menarik selimut, HPnya bergetar kecil. “Check email. Aku kirim FF. Minta komentar,” bunyi SMS Iwan. “Besok pagi, ya. Aku udah matiin laptop, males nyalain lagi,” balas Olan, ia malas beneran.

“FF “Ketela” endingnya kurang tajam. Yang “Laut” aku suka,” Olan me-sent komentarnya setelah mengecek FF Iwan di email. Ia justru merasakan FF Iwan punya karakter yang sama dengan FF-nya.

Jam setengah sembilan malam, Olan masih memacari laptopnya. Dari layar Ms.Word ia beralih sebentar ke Beranda-nya, Iwan Ol. “Lagi mbenerin FF?,” Olan main tebak.

“Belum mood,” Iwan membalas dengan smiley melet. “Btw, apa kabar El?” Olan mulai memancing. “El? Hmm… Hanya senyum untuk dia,” Iwan memicingkan mata seperti smiley-nya.

“Aku tahu El, kaya’nya,” Olan memancing lagi, menunggu reaksi Iwan. “Haha,” Iwan tertawa di chatbox-nya. Olan lalu mengirimkan sebuah link profil FB, seseorang yang ia yakini sebagai El, berdasarkan observasinya.

“Bukan dia. Haha,” Iwan tertawa lagi.

“Tapi feelingku bilang gitu. Hayoo..,”Olan belum menyerah.

“Tapi bukan dia.”

“Haha,” kali ini Olan yang tertawa.

Strange is the songs in our conversation.”

“Maksudnya?”

“Maksudnya aku dan dia berinteraksi dalam bahasa aneh,”

“Hah? El itu alien, ya?”

Maybe.”

“Parah.”

“Jangan-jangan dia hanya ada dalam pikiranku saja. Haha. Skizofreniaku kumat.”

“Skizofreniaku?”

“Bukan apa-apa.”

“Wew! Gangguan otak? Dopamin? Gangguan jiwa?” Olan kaget sendiri dengan hasil googling-nya tentang penyakit aneh itu. “Ternyata bukan cuma Insomnia akut. Parah.”

“Haha,” lagi-lagi Iwan tertawa di chatbox-nya. “Biarlah itu menjadi sisi lain hidupku.”

Olan pamit dari chatbox-nya setelah Iwan bilang ia tengah cari inspirasi. Olan juga sedang ingin cari inspirasi. Inspirasi mengobati Skizofrenia mungkin. “Ah, mengucapkannya saja sulit.”

(alfyaulia-11/6/11)

Sabtu, 11 Juni 2011

Mainan Baru



Iseng maenin foto adekku.
Cast: Panggih Ahya Alika (adekku), Arlan (temannya Panggi).
Muka polosnya, ga tahaaann.. >_<
haha. :p

Monolog

Jam setengah sebelas malam, Olan menepuk bantal, merebahkan tubuh. Ia memeriksa HP-nya, sepi, tidak ada pesan masuk satupun.

Rasa lelah mengantarkan Olan tidur, tapi rasa lelah pula yang membuatnya terbangun dua jam kemudian, melihat HP dan tidak ada pesan dari si Insomnia. “Mungkin sedang bisa tidur cepat,” pikirnya, lalu mencoba kembali tidur sendiri.

“Seperti pesanmu yang akan bertransformasi, dari mortality menjadi immortality,” Olan membaca status Iwan di Beranda, sedikit mengerutkan dahi. “Jam segini?” Olan lalu meng-klik chatbox FB-nya menjadi aktif. Iwan Ol.

“Hai,” Olan menulis di chatbox. “Hai,” Iwan membalas dengan menyelipkan smiley senyum. “Jam segini Ol? Nggak kerja?” Olan penasaran. “Kerja. Ini nyolong internet kantor,” jawab Iwan, kali ini dengan smiley tawa.

Seperti biasa, mereka membahas menulis dan film. Iwan lalu mengirimi Olan sebuah link. “Apa?” Olan bertanya sebelum membuka link itu, ia sebenarnya tahu itu link blog Iwan. “Bagus nggak?” Iwan juga tahu Olan pasti akan membuka link itu.

Surat untuk El, judul tulisan di blog Iwan tersebut. Olan mencermati isinya. Ia juga menemukan puisi dengan tema serupa, Bait Rindu Untuk El.

“Dalam,” komentar Olan kemudian di chatbox. “Cuma itu?” Iwan tak puas. “Hmm, jelas menimbulkan pertanyaan. Siapa El? Boleh tahu?” pancing Olan kemudian. “Someone in somewhere,” jawab Iwan, membuat kepala Olan dijatuhi banyak tanda tanya, sekaligus tanda seru.

“Jika kau sudah sulit mengingatku, aku malah sudah malas mengingatmu. Aku bersumpah kau tak akan bahagia denganku. Haha,” Olan kembali ke Beranda dan menemukan status Haris. Olan membenarkan letak kacamatanya dan merasakan mukanya terasa panas.

Maybe ‘she’ he meant wasn’t me,” malamnya Olan bermonolog lagi dengan hatinya. Ia tidak ingin merasa bersalah atau menyesal. “Someone in somewhere, semua orang juga punya itu kan? Apa kabar someone in somewhere-ku ya? Someone yang mungkin bahkan tidak aku kenal saat ini. Apa dia sudah makan?” monolog Olan jadi agak ngelantur, ia menertawai sendiri pikiran randomnya.

“Ah, hidup memang bukan untuk ditebak-tebak kan? Dan godaan itu untuk dinikmati,” masih bermonolog, Olan mengingat lagi note FB-nya dulu. “Just go with the wind saja lah,” Olan menutup monolognya sendiri, lalu mewarnai dinding dan langit-langit kamarnya dengan warna matahari dan bintang, sesukanya.

(alfyaulia-9/6/11)

Terus Terang

Apa yang tidak bisa hilang?
Apa yang tidak bisa berakhir?
Keseharian ini tak abadi, terlebih hati

Pohon pertama di tengah kota masih kokoh
Tapi hati-hati yang berteduh di bawahnya, siapa tahu?

Lampu-lampu jalan, awan, dan kenangan
Berkelap-kelip, bergumul di kepalaku



Aroma yang kukenal, tertumpuk terlupakan
Hawa baru menyesak, merebut kesadaran

Maaf sayang, bukan aku mempermainkan
Tapi hati mengajak berkawan
Pada senyum baru yang tersimpul terang.

(alfyaulia-5/6/11)

Alergi

“Kamu mau pergi sama Arif?” Olan mengirim SMS sembari menyusuri trotoar kota seusai kelas menulis. “Nggak juga. Kenapa?” Iwan membalas dua menit kemudian. “Tawaran traktiran es krim masih berlaku lho ini. Aku di alun-alun, “ Olan mengetik SMSnya, memandang alun-alun kota yang cukup ramai hari Minggu itu.

Olan melihat Iwan dari tepi alun-alun. Bukannya segera memarkir motornya, Iwan malah tersenyum dan memutar jalan alun-alun sekali lagi. “Ngledek!” gerutu Olan lucu dalam hati.

“Hai,” Iwan duduk menjejeri Olan, tersenyum. “Cari es krim, yuk! Tapi aku ga bawa helm, muter ke situ sebentar mbok boleh?” Olan menunjuk minimarket di sisi barat alun-alun. “Nggak usah lah,” Iwan menolak. “Laahhh, ayoo,” Olan setengah merengek. “Aku lagi pilek,” itu cukup membuat Olan diam, mencuri pandang kemudian.

Iwan lalu membuka tasnya, menunjukkan beberapa lembar kertas. “Mau aku buat skenario film,” kata Iwan bersemangat. Origami, Olan membaca judul tulisan itu. “Menurutmu? Kasih aku saran, ya,” Iwan memberondong Olan. “Belum selesaaiii,” Olan menjawab gemas, melanjutkan membaca. Ia mengagumi tulisan Iwan.

“Aku sakit. Berangkat kerja setengah hari,“ Iwan membalas SMS Olan yang menanyakan kenapa ia tumben meng-SMS-nya tengah siang. “Masih pilek?” tanya Olan kemudian.

“Aku Alergi. Badanku merah-merah semua. Kemarin aku salah makan,” Iwan menerangkan sakitnya. “Istirahat dan minum air putih yang banyak ya, biar cepat baikan,” Olan melayangkan perhatian, lalu kembali ke layar laptop tanpa perhatian penuh.

“Dek, kapan ada waktu? Mas mau bicara,” SMS Haris menyusul. Olan menarik nafas. “Jangan sekarang. Nanti aku SMS lagi,” Olan membalas singkat SMS pacar complicated-nya itu.

“Masa aku ketularan ‘alergi’? Kenapa malas sekali untuk bicara lagi dengannya? Bagaimana aku harus memulai ‘tolong’, ‘maaf’, dan ‘terima kasih’ ?” Olan bermonolog dengan hatinya, mencoba mengingat wajah Haris, sulit.

(alfyaulia-8/6/11)

Sabtu, 04 Juni 2011

Kerja Keras

Warni masuk kamar, melihat beberapa lembar uang tergeletak di meja samping ranjangnya. Sepuluh ribu, Warni tepat menghitung lembar-lembar kusam itu.

“Andi saja jajannya bisa lebih dari tiga ribu sehari. Buat beli beras, janganan? Belum bayar sekolah Rani? Yang agak ngotot kerjanya sih ngapa?” Warni menyemprot Kanto yang duduk bersarung di kursi depan.

Suaminya itu menyaksikan gumpalan-gumpalan asap rokoknya berputar-putar. “Namanya rezeki War, nggak mesti, “ kini ia menyaksikan wajah Warni lebih menyala dari rokoknya.

Adzan maghrib diseru dari corong masjid desa. Warni menghentikan aktifitas mengaitkan rambut-rambut sintetis di pola kepala di depannya. Ia memandang pintu depan, belum ada yang mengetuknya dari tadi, Kanto belum pulang.

“Ma, Andi ke masjid sama bapa, “ Andi kecil merengek. “Andi sholat di samping Mama aja sini, “ Warni menggelar sajadah satu lagi di sampingnya. Rani mengucek rambut adiknya itu. Di luar hujan turun memanggil siapa saja ingin cepat pulang.

“Masya Allah, kenang apa, Pa?” Warni tergopoh membukakan pintu, mendapati telapak tangan kiri Kanto dibungkus sobekan kain putih, noda merah merembes jelas. “Kenang arit, “ Kanto menjawab pucat.

Di meja kamar tidak ada lembaran uang, hanya obat merah dan sobekan kain baru, tapi muka Warni tidak sedang menyala. “Besok nggak usah kerja tebu lagi, ngojek saja seperti biasa kalau sudah baikan. Kebon belakang juga jadi nggak keurus, “ Warni membalut tangan Kanto hati-hati. Ia turut merasakan perihnya, hampir sama dengan perih tidak punya uang yang sering ia rasakan.

(alfyaulia-3/6/11)

Insomnia



Iwan membenarkan letak sikunya menyangga kepalanya, menghela nafas. Tangan kanannya meraih HP di sisinya, jam setengah dua pagi.

“Insomnia (lagi),” Iwan memutuskan mengirim SMS itu. Di depan layar HP-nya Olan mengucek matanya. “Lagi?” pikirnya.

“Cuma kamu yang bikin aku terbangun dan membaca SMS jam segini,” Olan mengumpulkan kesadaran membalas SMS Iwan.

SMS-SMS balasan meluncur. Pagi berjingkat perlahan. “Ya sudah kamu tidur sana.” SMS terakhir Iwan dini hari itu membuat Olan tersenyum lucu. “Dasar!”

“Iwan?” Olan melihat nama itu online di chatbox FB-nya. “Jam segini Ol?” Olan mengetik tak sabar. Tapi kotak itu lantas berubah abu-abu, go off.

“Itu artinya (mungkin) tidak boleh menyapanya di jam siang. Hanya malam.” Status Olan itu hanya di-komen “Sookoor” oleh temannya.

Tips Atasi Insomnia. Olan me-link artikel itu di wall Iwan, meski tak berharap sungguh tips itu berhasil.

(alfyaulia-3/6/11)

Rabu, 01 Juni 2011

Cabang

Semalam keberuntungan bertemu seorang wanita

Rasa manis lebih dari es krim vanila

Rol-rol film bekerja di memori otak mereka


Kau tahu?

Rasa pandai berubah lebih dari ledakan bintang, supernova

Lembut menyusup, siapa tahu?


Rasa tak mesti dikatakan, lebih senang menunjukkan peduli

Lebih masuk akal daripada berjanji


Dan malam menjadi lebih insomnia

Atau pagi jadi lebih bekupun tak apa


Meski jalan jadi bercabang

Ya santai saja, sayang


Ini hanya tentang rasa, bukan orang ketiga.

Rasa Retoris



“Benar nggak apa-apa nggak pakai helm?” tanya Olan agak ragu. “Nggak apa-apa, nanti lewat jalan terobosan yang nggak ada polisinya. Agak lebih jauh, sih, “ jawab Iwan kalem. “Ya udah deh, ayo!” Olan membuntuti langkah Iwan ke parkiran.

“Masih suka nulis?” Iwan bertanya di perjalanan. Bintang semarak jadi lampu jalan. “Masih,” Olan menjawab di belakangnya. “Update blogmu?” tanya Iwan lagi. “Jarang,” Olan tersenyum sendiri.

“Eh, bentar dulu, mbok aku nggak dibukain pintu, “tahan Olan. Iwan memutar balik motornya, menunggu. “Tolong buka pintu depan. Iya. “Olan berbicara di telepon lalu menutupnya. Kemudian ia menghampiri Iwan. “Makasih ya, langsung ngrepotin, “ Olan menjabat tangan Iwan. “Nggak apa-apa, santai aja, “ Iwan tersenyum. Olan menyimpan senyum itu.

“Besok jadi nonton penutupan festival? Masih ada kesempatan untuk menyaksikan filmku besok lho.” Olan mengklik send di menu message FB-nya.

“Besok Minggu nggak kerja, kan?” tanya Iwan di depan kost Olan lagi. “Kerja apa saya hari Minggu masih harus sibuk?” Olan menjawab retoris. Iwan tersenyum, lagi. “Pit-pitan yuh ngesuk!” Iwan mengajak dengan girang. “Ha?” Olan kaget, menyembunyikan rasa senangnya.

Alun-alun kota warna-warni di Minggu pagi. Iwan menggoes sepedanya santai, tersenyum. Di belakang, Olan berusaha menyeimbangkan tubuhnya, jilbab merah jambunya berkibar lincah, seperti hatinya.

“Status complicated-mu di FB itu…?” Iwan menggantungkan pertanyaannya. “Kenapa?” Olan tak siap dengan pertanyaan itu. Dipandangnya wajah Iwan, mencoba menangkap maksud dan maunya.

“Apa itu mengganggu?” Olan masih bermain dengan retorisnya. Iwan hanya tersenyum, mengarahkan pandang ke langit. “Biar aku menjadi bintang di siang hari saja. Pun kamu tahu aku tetap ada kan?” Iwan memandang Olan, jauh menembus hatinya.