Rabu, 01 Juni 2011

Rasa Retoris



“Benar nggak apa-apa nggak pakai helm?” tanya Olan agak ragu. “Nggak apa-apa, nanti lewat jalan terobosan yang nggak ada polisinya. Agak lebih jauh, sih, “ jawab Iwan kalem. “Ya udah deh, ayo!” Olan membuntuti langkah Iwan ke parkiran.

“Masih suka nulis?” Iwan bertanya di perjalanan. Bintang semarak jadi lampu jalan. “Masih,” Olan menjawab di belakangnya. “Update blogmu?” tanya Iwan lagi. “Jarang,” Olan tersenyum sendiri.

“Eh, bentar dulu, mbok aku nggak dibukain pintu, “tahan Olan. Iwan memutar balik motornya, menunggu. “Tolong buka pintu depan. Iya. “Olan berbicara di telepon lalu menutupnya. Kemudian ia menghampiri Iwan. “Makasih ya, langsung ngrepotin, “ Olan menjabat tangan Iwan. “Nggak apa-apa, santai aja, “ Iwan tersenyum. Olan menyimpan senyum itu.

“Besok jadi nonton penutupan festival? Masih ada kesempatan untuk menyaksikan filmku besok lho.” Olan mengklik send di menu message FB-nya.

“Besok Minggu nggak kerja, kan?” tanya Iwan di depan kost Olan lagi. “Kerja apa saya hari Minggu masih harus sibuk?” Olan menjawab retoris. Iwan tersenyum, lagi. “Pit-pitan yuh ngesuk!” Iwan mengajak dengan girang. “Ha?” Olan kaget, menyembunyikan rasa senangnya.

Alun-alun kota warna-warni di Minggu pagi. Iwan menggoes sepedanya santai, tersenyum. Di belakang, Olan berusaha menyeimbangkan tubuhnya, jilbab merah jambunya berkibar lincah, seperti hatinya.

“Status complicated-mu di FB itu…?” Iwan menggantungkan pertanyaannya. “Kenapa?” Olan tak siap dengan pertanyaan itu. Dipandangnya wajah Iwan, mencoba menangkap maksud dan maunya.

“Apa itu mengganggu?” Olan masih bermain dengan retorisnya. Iwan hanya tersenyum, mengarahkan pandang ke langit. “Biar aku menjadi bintang di siang hari saja. Pun kamu tahu aku tetap ada kan?” Iwan memandang Olan, jauh menembus hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar