Senin, 25 April 2011

Bunuh Saja

Aku membencimu, rutuk seorang wanita nanar
Untuk purnama yang kau cabik dengan acuh
Untuk hati yang kau bui sehingga rapuh

Malam parau telah diintimi lenguhan
Pun malam keruh telah digauli makian
Menyisakan malam-malam kerontang
yang tak lagi perawan



Lelaki berdiam di balik layar buram
Tidak mengambil peran
Tidak pula memutus siksaaan
Tersimpul mempecundangi cerita
dan perasaaan

Aku membencimu, wanita menjerit menghunus pedang
Air mata datang dari hatinya yang radang
Hati yang ditaburi bunga, namun kemudian ditancapi nisan

Aku membencimu, sekali lagi wanita mengerang
Tubuhnya kuru layu
Romatismenya padam
Ia memilih membunuh cintanya, sendiri

Wanita mengkerandakan ekspektasi
Menelan pahit realita
Rekonsiliasi yang ditampar keras
Egoisme belaka
lelaki fakir hati.
Purbalingga, 19 April 2011

Episode Intim

Diri mematut di depan cermin kusam
Melepaskan topeng satir melelahkan
Merupa dewasa tapi masih menceracau kekanakan
Melucuti atribut kesombongan,
rasa tinggi yang tak membuahkan selain borok terbakar
Menanggalkan pakaian bermotif nafsu,
dunia yang melenakan

Lalu,
diri terbaring alpha,
seperti tertelanjangi,
tapi ringan saja
Tak peduli dikangkangi ketidakterimaan



Sesaat diri ingin beromantis dengan bentuknya sendiri
Memeluk fikir dan mencumbui jiwa terdalam
Hingga klimaks memuntahkan energi dendam
Meregenerasi diri dengan kromosom keikhlasan

Malam ini,
diri menyimpul puas
Lalu meringkuk terlelap di pojokan
Setelah membisik satu kesepakatan;
esok aku ingin hidup lebih segar.



Purbalingga, 14 April 2011

Atap Seng

Seringkali kita terlibat pertengkaran-pertengkaran kecil
Aku bilang ayo, kamu bilang nanti
Aku cari perhatian, kamu pilih diam
Gemas!
Juga kesal dan marah, kadang
Ingin mencubit lenganmu,
atau menangis di sampingmu
Boleh juga makan es krim bersamamu lagi
Aku hanya minta jangan acuhkan aku,
sebab hujan bisa menjadi begitu deras, kadang pula ragu
Tinggal aku yang mendaraskan ayat-ayat sepi kerinduan, untukmu



Sayang, bila nanti kita bertengkar lagi,
dalam satu atap seng,
yang berdetak-detak ketika hujan
akan lebih baik kita menyelesaikannya sebelum hujan reda,
lalu menghangatkan malam kita, berdua

Kembang Kopi

Kalau bukan karena disuruh suami, aku malas deh ke warung pagi-pagi begini hanya untuk beli teh dan gula. Apalagi jalannya ini lho, becek banget. Sandalku jadi berat bawa-bawa tanah. Sebenarnya aku bisa saja menolak disuruh Mas Toro, tapi menolak permintaanya ketika berada di rumah orang tuaku sendiri sepertinya sekarang ini, aku rasa bukan ide yang bagus.

Aku menarik celana panjangku agak tinggi menghindari genangan air. Semalam turun hujan lebat dan inilah sisa-sisanya. Ah, aku juga ingat semalam Mas Toro tidur duluan, mengacuhkanku. Mungkin dia kelelahan menyupir mobil kami dari Jogja. Kalia juga langsung tidur dengan neneknya.

Kiri kananku sekarang adalah tumbuhan tetean (teh-tehan) yang tumbuh cukup tinggi dan rimbun, membentuk pagar sepanjang jalan setapak yang berbatasan dengan kebon tetangga ini. Ini tentu bukan jalan setapak yang asing bagiku. Aku menghabiskan masa kecilku dengan berlarian di sini, juga bermain di kebon sebelah itu. Masa kecil bocah desa.

Mataku lalu menanggap gerombolan bunga putih di antara daun-daun lebar sebuah pohon yang tidak terlalu tinggi. Bunga kopi. Cantik. Aromanya khas. Mataku menatap cukup lama bunga-bunga putih bersih itu. Akan aneh jika aku menuruti keinginanku untuk memetiknya dan ada orang lihat. Warung, teh, gula. Otakku memerintahkanku kembali ke tujuan awal.

******
Aku sedang mengaduk teh manis di dapur dan seseorang menginjak kaki kiriku. Mas Toro. Pasti sengaja. Aku sedikit kaget dan menyentak kecil, “Ayah”. Ia menatapku lucu dan nyengir. Aku sendiri belajar memanggilnya ayah sejak lima tahun lalu, seperti permintaannya. Dan ia sendiri memanggilku Bunda. Buat contoh Kalia, katanya. Tapi aku masih suka merasa lucu.

“Bun, kok celanamu kotor begitu? Abis dari sawah?” tanyanya usil sambil melirik ke celanaku yang penuh bercak tanah. “Ini kan gara-gara Ayah nyuruh Bunda ke warung pagi-pagi, “ kataku sambil balik iseng menempelkan sendok teh ke hidungnya. Mas Toro meringis lagi. Ih, bikin gemas.

“Yah, tadi Bunda lihat kembang kopi di jalan setapak sebelah waktu mau ke warung. Cantik deh, “ceritaku seperti anak kecil. Aku mengikuti Mas Toro yang duduk di bangku panjang di depan meja makan sambil membawa teh manis yang kubuatkan tadi. “pasti Bunda pengen metik, “ tebak Mas Toro. “Hehe, iya, Yah,” kali ini aku yang nyengir. “Bunda ingat? Dulu kan ayah juga pernah kasih Bunda kembang kopi, tapi malah Bunda jadiin buat masak-masakan sama Sutri, “ katanya lalu menyeruput tehnya. Aku mengernyit, mencoba mengingat-ingat.

******

“Sut, aku tek nggolet janganan disit, ya,¬1“ kata gadis kecil berponi yang kemudian bangkit menuju deretan tanaman singkong. Tanaman singkong itu tumbuh subur, daunnya hijau menjari. Ia memetik beberapa lembar daun. Mbok2 nanti mau dimasak sama Nini Sipur, pikir si gadis kecil. Tentunya dimasak betulan, bukan masak-masakan seperti yang Nuryani, nama gadis kecil 6 tahun itu, dan Sutri, temannya, itu lakukan sekarang.

Dua bocah kecil ini memang sering bermain bersama di kebon di samping rumah Nuryani. Kebon yang ditumbuhi tanaman singkok karet, pohon kelapa, pohon pisang, pohon duku, tanaman talas, pohon kopi, dan tanaman singkong yang is petik daunnya tadi itu memang milik Nini Sipur, wanita tua yang hidup bersama suaminya yang seorang 3. Mereka berdua menempati sebuah rumah kayu kecil di bagian depan kebon ini, tepat menghadap jalan raya dan sejajar dengan rumah Nuryani, hanya dipisahkan jalan setapak. Kaki nini4 ini terkenal sebagai pasanga senja yang sayang terhadap anak-anak kecil di lingkungan mereka dan suka membagi-bagikan makanan. Nuryani sendiri paling senang saat pohon manggis dan jambu air di depan rumah mereka berbuah, ia akan menjadi yang pertama dipanggil untuk ikut memetik dan menikmati buahnya.

“Eh, kamu namanya siapa?” tiba-tiba seorang anak laki-laki 10 tahun berdiri di belakang Nuryani. Nuryani kaget. Ia membalik badan agak ragu. Namun, ia lalu menjawab dengan lantang, “Nuryani. Lha kamu siapa?” kata Nuryani ikut berbahasa Indonesia seperti ia meniru ibunya. Nuryani menatap penuh selidik anak laki-laki berwajah bulat dan berbadan agak gempal itu. “Aku Sutoro, cucunya Nini Sipur. Aku mau pindah ke sini. Rumahku yang kemarin di Sleman, “ceritanya tanpa diminta. Nuryani tidak tahu Sleman dimana, tapi ia enggan bertanya.

“Kamu lagi mainan apa? Aku ikutan, ya”, pinta Sutoro kemudian. Nuryani memandang takjub. Anak yang aneh, pikirnya. “Masak-masakan. Benar mau ikutan?” kata Nuryani. “Kalau mau ikutan, kamu harus ikut nyari janganan 5dulu, “ tantang Nuryani kemudian. Sutoro senang saja. Ia melihat gerombolan bunga-bunga putih di pohon yang tidak terlalu tinggi. “Itu mau? Ditaruh di rambutmu juga bagus, “ katanya sambil tersenyum memamerkan giginya.



*****

“Tapi Mak, aku nggak suka sama Mas Harno. Aku masih nunggu Mas Toro, “kata Nuryani menolak permintaan mamaknya untuk mendekati dan menikah dengan Harno, salah satu pemuda di desanya yang baru pulang dari Jakarta dan langsung membeli sepeda motor baru dan merenovasi rumah orang tuanya.

“Mamake sering ketemu Harno di Jakarta. Bocahe6 pekerja keras. Nggak kaya Mas Toro-mu itu yang nggak jelas kerja apa di Jogja. Wong kuliahnya saja pertanian, paling ya macul7 di kota, “kata mamak tidak mau kalah.

Nuryani diam. Ia kesal. Mboke, nenek Nuryani yang mendengar ribut-ribut dari kamarnya lalu mendekat. “Uwis lah Mar. Ora usah dipaksa. Lha wong Nuryani be urung tamat sekolahe8, “ kata Mboke. Nuryani merasa sangat terbela. Mamak diam saja. Sepertinya ia masih pada keinginannya.

******

Purbalingga, 16 Juni 2002

Kepada Mas Toro
di Jogja

Assalamu ‘alaikum wr. wb. Mas Toro, bagaimana kabar Mas di Jogja? Sehat-sehat saja kan?

Mas, Nur sudah lulusan hari Senin kemarin. Tapi Nur masih bingung mau kerja apa. Mamake maksa mau bawa Nur ke Jakarta kalau Nur nggak segera dapat kerja di sini. Padahal Nur nggak mau ke Jakarta. Bisa-bisa Nur dinikahkan sama Mas Harno di sana. Mamak ngeyel mau menjodohkan Nur sama Mas Harno, Mas. Nur nggak mau. Nur masih mau nuggu Mas.

Tapi Nur bingung, Mas Toro sendiri merasa ditunggu sama Nur nggak, Mas? Mas Toro kan dulu bilang katanya sayang sama Nur. Nur kangen, Mas…

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


Yang merindukanmu,


Nuryani

******

Jogjakarta, 25 Juni 2002

Kepada adindaku Nuryani
di Purbalingga

Assalamu ‘alaikum wr. wb. Puji syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan kasih sayangnya sehingga kau selalu dalam lindunganNya, begitu juga Masmu ini di sini.

Maafkan Mas, Dek. Mas memang sedang sibuk belakangan ini sehingga belum sempat mengirimkan surat kepadamu terlebih dahulu. Tapi Mas senang, Dek Nur masih mau mengirimi Mas surat. Mas senang baca surat Dek Nur sambil membayangkan wajah manis Dek Nur. Mas juga kangen sama Dek Nur.

Dan Dek Nur tahu? Mas juga nggak akan rela kalau sampai Dek Nur menikah dengan orang lain. Mas harap Dek Nur mau bersabar sedikit lagi. Mas di sini sedang berusaha mengembangkan bisnis coffe shop Mas. Insya Allah, kalau tabungan Mas sudah cukup, setelah lebaran nanti, Mas akan melamar dan menikahi Dek Nur. Dek Nur bisa beri tahu hal ini ke Mamak Dek Nur, supaya beliau tidak buru-buru menjodohkanmu dengan orang lain.

Yakinlah Dek, Mas akan selalu setia sama Dek Nur, kekasihku yang secantik kembang kopi nan putih.

Oh ya, kalau Dek Nur bingung mau kerja apa, bagaimana kalau Dek Nur sering-sering nulis surat untuk Mas saja. Mas akan senang sekali, apalagi kalau Dek Nur mau menulis surat yang lebih panjang biar Mas lebih lama bacanya. He he… Mas juga sedang menyiapkan pekerjaan istimewa untukmu, menjadi istri cantikku.

Salam sayang dan rindu selalu. Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

Kekasihmu,


Sutoro

******

“Nah, sudah ingat, kan?” kata Mas Toro sambil mencubit pinggangku. “He he. Iya, Yah, “ kataku kegelian.

“Lho Yah, Kalia kemana? Tadi bukannya setelah bangun tidur terus keluar rumah sama Ayah?” tanyaku ingat putri kecilku. “Iya. Tadi ketemu Rifki, anaknya Bu Yati depan rumah itu, terus diajak main, belum mau pulang, “cerita Mas Toro. Aku tersenyum.

“Apa nanti Kalia juga dikasih kembang kopi sama Rifki ya, Yah?” kataku membayangkan putri 6 tahun kami itu juga dipetikkan bunga kopi sama sepertiku. “Ha ha. Mungkin saja, “kata Mas Toro lalu mencubit pinggangku, lagi.

******
Keterangan:
1. Sut, aku nyari sayuran dulu, ya.
2. siapa tahu
3. penjual pisang
4. kakeh nenek
5. sayuran
6. dia
7. mencangkul
8. Sudah lah, Mar. Nggak Udah dipaksa. Lha orang Nuryani saja belum tamat sekolahnya.


Kata penulis: sebuah cerpen yang hmm, ckakakk, unyu-unyu. :P

Jumat, 08 April 2011

Keluarga Punya Cerita

Keluarga. Dulu saya pernah membuat catatan tentang keluarga. Tentang saya dan hubungan di dalamnya. Kali ini saya ingin mengangkat tema itu lagi – haduh, bahasanya mulai tinggi.

Keluarga. Tema yang tidak akan habis dibahas. Sama dengan cinta. Bahkan cinta pun pertama kali tumbuh dalam keluarga. Keluarga. Ya, kita mulai dan tumbuh di sini.



******

Ibuku cerewet, sangat!

Pernah berkeluh kesah tentang ini? Kita, seorang anak, pasti sering menganggap ibu kita cerewet, bahkan kadang sangat. Pada dasarnya kita hanya tidak suka pada perkataan yang diulang-ulang dan panjang. Dan itulah yang para ibu sering lakukan: melarang dan mengingatkan banyak hal, berulang-ulang. Berapa kali ibu kita mengingatkan untuk bangun pagi dan sholat subuh? Berapa kali ibu mengatakan: jangan malas-malasan, jangan meletakan barang sembarangan, jangan, jangan , dan jangan. Berulang kali.

Kadang saya sering berteriak-teriak dalam hati: mamaku cerewet, sangat! Di rumah, begitu banyak aturan tidak tertulis yang dibuat dan “dibacakan” setiap hari. Apa saya yang memang ndableg, ya? Di dapur ibuku sering tiba-tiba muncul di belakangku, “Nuang minumnya yang benar! Itu tumpah, dilap! Gelasnya jangan ditaruh di pinggir meja, nanti jatuh. Gelasnya jangan ganti-ganti terus!” Waktu makan, “ Ambil nasi yang banyak, katanya mau gemuk. Makan jangan camak-cimik gitu, pantes kurus terus.” Lalu di pintu depan, “Pintunya ditutup, ayam suka masuk! Sandalnya ditaruh yang benar, tempatnya tadi dimana? Kalau habis cuci kaki jangan lupa kesed dulu, jadi banyak tlepak kaki di dalam.” Dan seabarek “kecerewetan” lain. Bagaimana kalau setelah ini kita ganti kata “cerewet” itu dengan kata “perhatian”. Jadi, “ibuku perhatian sekali”. Terdengar lebih adem dan menyenangkan.

******

Tuhan Punya Rencana

Hari senin kemarin, “Illa tangannya patah di sekolah, “ lilik – adik mamaku – berdiri di depan pintu dengan wajah pucat dan lemas. Mamaku yang sedang makan siang di ruang depan langsung kaget, “Inalillahi, patah kenapa?” mamaku panik. Aku yang sedang mengetik di dekat mamaku pun kaget, tanganku mendadak lemas. Adegan selanjutnya adalah aku dan mamaku langsung melihat kondisi Illa, sepupuku, yang sedang menangis memegangi tangan kirinya yang tampak menonjol di dekat pergelangan tangan. Masih panik, bapakku segera menyiapkan sepeda motor dan berangkatlah mereka ke Puskemas. Aku, mamaku, dan nenekku berdoa di rumah. Tetap panik dan nelangsa.

Dari keterangan lilikku, Illa jatuh saat sedang bermain lompat karet. Mungkin ia jatuh saat tidak dapat menjangkau karet yang terlampau tinggi lalu jatuh dengan tangan beradu dengan tanah kasar, tertekuk. Temannya lalu memanggil wali kelas mereka – guru yang lain sibuk masing-masing di kantor guru. Wali kelas datang dan melakukan tindakan yang menurutku keliru, menarik tangan Illa – mungkin dikiranya keseleo? Lilikku lalu datang ke sekolah setelah beberapa teman Illa memanggilnya ke rumah – kenapa bukan si wali kelas? Diceritai begitu, aku merasa miris. Bukankah guru tidak hanya bertanggungjawab atas proses pembelajaran tapi juga pengawasan dan hubungan dengan orang tua murid? Dan saya pernah bersekolah di SD tersebut selama dua tahun sebelum kemudian pindah ke Jakarta. Saya jadi merasa beruntung telah melewatkan masa SD saya tanpa perban, insiden patah tulang, atau cidera berarti lainnya.

Pulang dari Puskesmas, Illa masih menangis dengan tangan yang dibalut dan digantung perban putih. Tanganku makin gemetar. Membayangkan tangan kurusku mengalami hal yang sama. Betapa aku juga akan terus-terusan menangis dan terbatas melakukan banyak hal, juga menulis. Betapa aku mendadak merasa bersalah dengan hal-hal yang seharusnya tidak - atau belum - aku lakukan dengan tanganku. Betapa aku merasa tanganku menjadi lemas, bahkan untuk mengetik pekerjaan yang harus aku selesaikan saat itu. Betapa aku berkali-kali istighfar setelahnya. Aku mohon ampun untuk tangan khilafku ini, Tuhan.

Tuhan punya rencana. Bukan hanya aku yang diingatkan akan menjaga tanganku, tapi juga sebuah keluarga yang dikembalikan.

Ayah Illa yang sudah 6 tahun pisah dengan ibunya Illa, datang menengok Illa dengan ibunya, nenek Illa. Dari situ muncullah harapan dari mamaku agar mereka bisa balikan lagi. Ayah ibu Illa, memang sudah berpisah selama 6 tahun, entah karena masalah apa. Saat awal mereka berpisah, aku masih terlalu cuek untuk mengerti masalah mereka, tapi sepertinya memang bukan masalah besar karena seingatku tidak ada keributan yang berarti di antara mereka. Setelah perpisahan itu, ibunya Illa lalu pergi bekerja di Jakarta dan Illa tinggal bersama nenekku.

Pernah saat ibunya Illa pulang, ayah Illa menginap di rumah, mungkin mau ngajak balikan. Beberapa bulan kemudian ibunya Illa hamil, tapi entah bagaimana ceritanya juga ayah Illa tidak mau mengakui itu sebagai anaknya. Dan makin buruklah jarak di antara mereka. Setelah Prisma, adik Illa, berusia dua tahun, ibunya Illa pergi bekerja lagi ke Jakarta, meninggalkan Illa dan Prisma dengan neneknya. Dan ya, itu berlangsung sampai hari sebelum Illa jatuh di sekolah.

Tuhan punya rencana. Jatuh dan patahnya tangan Illa di sekolah ternyata bukan murni musibah seperti yang kami kira awalnya. Ada rencana Tuhan yang bekerja setelahnya: menyatukan lagi keluarga Illa. Aku, mama, dan nenekku senang dan mendukung niat ayah Illa untuk balikan lagi. Meski awalnya ibunya Illa masih ogah-ogahan, tapi akhirnya luluh juga setelah mama dan nenekku menasehatinya dengan alasan demi anak. Aku pun mengamininya. Ya, demi sebuah keluarga dan anak-anak, jangan sampai kita masih bersikeras dengan egoisme masing-masing dan masalah di masa lalu. Lebih baik menata lagi cerita berumah tangga dan membesarkan anak-anak yang sempat tak terpenuhi kasih sayang. Lebih baik CLBK seperti anak remaja ketimbang memaksakan berpisah, mengaku orang dewasa, tapi mengorbankan banyak hal. Pembelajaran yang bagus untukku berumah tangga kelak.

Satu lagi aku perlu bersyukur. Aku bersyukur untuk keluargaku yang utuh. Meski aku tahu mamaku yang cerewet - ups, perhatian maksudnya - juga sering bersitegang dengan bapakku yang lempeng, tapi aku masih memiliki mereka hingga sekarang, lengkap dengan adikku yang super cerewet – yang ini cerewet beneran.


******

Punya Anak

Kemarin, aku mengunjungi Bibi Khoti, saudara Mas Kasad, yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Bibi Khoti sendiri dulunya juga temanku mengaji saat masih kecil. Melihatnya “berbadan lebar” khas seorang ibu yang baru melahirkan duduk di samping bayi laki-laki mungil yang mempunyai bibir dan raut wajah yang begitu mirip dengannya ditemani Paman Wasis, suaminya, membuat pikiranku melayang berandai: nanti kalau aku punya anak, juga seperti itu?

Mas, tadi ade abis lihat bayinya bibi Khoti. Bayinya cakep deh, tapi ga mirip mas (ya iyalah!). Nanti ade pengen bikin yang mirip ade sama mas, ya. ;)

Sent to: MasQ
19:02
6/Apr/2011

*******


Purbalingga, 7 April 2011