Keluarga. Dulu saya pernah membuat catatan tentang keluarga. Tentang saya dan hubungan di dalamnya. Kali ini saya ingin mengangkat tema itu lagi – haduh, bahasanya mulai tinggi.
Keluarga. Tema yang tidak akan habis dibahas. Sama dengan cinta. Bahkan cinta pun pertama kali tumbuh dalam keluarga. Keluarga. Ya, kita mulai dan tumbuh di sini.
Keluarga. Tema yang tidak akan habis dibahas. Sama dengan cinta. Bahkan cinta pun pertama kali tumbuh dalam keluarga. Keluarga. Ya, kita mulai dan tumbuh di sini.
******
Ibuku cerewet, sangat!
Pernah berkeluh kesah tentang ini? Kita, seorang anak, pasti sering menganggap ibu kita cerewet, bahkan kadang sangat. Pada dasarnya kita hanya tidak suka pada perkataan yang diulang-ulang dan panjang. Dan itulah yang para ibu sering lakukan: melarang dan mengingatkan banyak hal, berulang-ulang. Berapa kali ibu kita mengingatkan untuk bangun pagi dan sholat subuh? Berapa kali ibu mengatakan: jangan malas-malasan, jangan meletakan barang sembarangan, jangan, jangan , dan jangan. Berulang kali.
Kadang saya sering berteriak-teriak dalam hati: mamaku cerewet, sangat! Di rumah, begitu banyak aturan tidak tertulis yang dibuat dan “dibacakan” setiap hari. Apa saya yang memang ndableg, ya? Di dapur ibuku sering tiba-tiba muncul di belakangku, “Nuang minumnya yang benar! Itu tumpah, dilap! Gelasnya jangan ditaruh di pinggir meja, nanti jatuh. Gelasnya jangan ganti-ganti terus!” Waktu makan, “ Ambil nasi yang banyak, katanya mau gemuk. Makan jangan camak-cimik gitu, pantes kurus terus.” Lalu di pintu depan, “Pintunya ditutup, ayam suka masuk! Sandalnya ditaruh yang benar, tempatnya tadi dimana? Kalau habis cuci kaki jangan lupa kesed dulu, jadi banyak tlepak kaki di dalam.” Dan seabarek “kecerewetan” lain. Bagaimana kalau setelah ini kita ganti kata “cerewet” itu dengan kata “perhatian”. Jadi, “ibuku perhatian sekali”. Terdengar lebih adem dan menyenangkan.
******
Tuhan Punya Rencana
Hari senin kemarin, “Illa tangannya patah di sekolah, “ lilik – adik mamaku – berdiri di depan pintu dengan wajah pucat dan lemas. Mamaku yang sedang makan siang di ruang depan langsung kaget, “Inalillahi, patah kenapa?” mamaku panik. Aku yang sedang mengetik di dekat mamaku pun kaget, tanganku mendadak lemas. Adegan selanjutnya adalah aku dan mamaku langsung melihat kondisi Illa, sepupuku, yang sedang menangis memegangi tangan kirinya yang tampak menonjol di dekat pergelangan tangan. Masih panik, bapakku segera menyiapkan sepeda motor dan berangkatlah mereka ke Puskemas. Aku, mamaku, dan nenekku berdoa di rumah. Tetap panik dan nelangsa.
Dari keterangan lilikku, Illa jatuh saat sedang bermain lompat karet. Mungkin ia jatuh saat tidak dapat menjangkau karet yang terlampau tinggi lalu jatuh dengan tangan beradu dengan tanah kasar, tertekuk. Temannya lalu memanggil wali kelas mereka – guru yang lain sibuk masing-masing di kantor guru. Wali kelas datang dan melakukan tindakan yang menurutku keliru, menarik tangan Illa – mungkin dikiranya keseleo? Lilikku lalu datang ke sekolah setelah beberapa teman Illa memanggilnya ke rumah – kenapa bukan si wali kelas? Diceritai begitu, aku merasa miris. Bukankah guru tidak hanya bertanggungjawab atas proses pembelajaran tapi juga pengawasan dan hubungan dengan orang tua murid? Dan saya pernah bersekolah di SD tersebut selama dua tahun sebelum kemudian pindah ke Jakarta. Saya jadi merasa beruntung telah melewatkan masa SD saya tanpa perban, insiden patah tulang, atau cidera berarti lainnya.
Pulang dari Puskesmas, Illa masih menangis dengan tangan yang dibalut dan digantung perban putih. Tanganku makin gemetar. Membayangkan tangan kurusku mengalami hal yang sama. Betapa aku juga akan terus-terusan menangis dan terbatas melakukan banyak hal, juga menulis. Betapa aku mendadak merasa bersalah dengan hal-hal yang seharusnya tidak - atau belum - aku lakukan dengan tanganku. Betapa aku merasa tanganku menjadi lemas, bahkan untuk mengetik pekerjaan yang harus aku selesaikan saat itu. Betapa aku berkali-kali istighfar setelahnya. Aku mohon ampun untuk tangan khilafku ini, Tuhan.
Tuhan punya rencana. Bukan hanya aku yang diingatkan akan menjaga tanganku, tapi juga sebuah keluarga yang dikembalikan.
Ayah Illa yang sudah 6 tahun pisah dengan ibunya Illa, datang menengok Illa dengan ibunya, nenek Illa. Dari situ muncullah harapan dari mamaku agar mereka bisa balikan lagi. Ayah ibu Illa, memang sudah berpisah selama 6 tahun, entah karena masalah apa. Saat awal mereka berpisah, aku masih terlalu cuek untuk mengerti masalah mereka, tapi sepertinya memang bukan masalah besar karena seingatku tidak ada keributan yang berarti di antara mereka. Setelah perpisahan itu, ibunya Illa lalu pergi bekerja di Jakarta dan Illa tinggal bersama nenekku.
Pernah saat ibunya Illa pulang, ayah Illa menginap di rumah, mungkin mau ngajak balikan. Beberapa bulan kemudian ibunya Illa hamil, tapi entah bagaimana ceritanya juga ayah Illa tidak mau mengakui itu sebagai anaknya. Dan makin buruklah jarak di antara mereka. Setelah Prisma, adik Illa, berusia dua tahun, ibunya Illa pergi bekerja lagi ke Jakarta, meninggalkan Illa dan Prisma dengan neneknya. Dan ya, itu berlangsung sampai hari sebelum Illa jatuh di sekolah.
Tuhan punya rencana. Jatuh dan patahnya tangan Illa di sekolah ternyata bukan murni musibah seperti yang kami kira awalnya. Ada rencana Tuhan yang bekerja setelahnya: menyatukan lagi keluarga Illa. Aku, mama, dan nenekku senang dan mendukung niat ayah Illa untuk balikan lagi. Meski awalnya ibunya Illa masih ogah-ogahan, tapi akhirnya luluh juga setelah mama dan nenekku menasehatinya dengan alasan demi anak. Aku pun mengamininya. Ya, demi sebuah keluarga dan anak-anak, jangan sampai kita masih bersikeras dengan egoisme masing-masing dan masalah di masa lalu. Lebih baik menata lagi cerita berumah tangga dan membesarkan anak-anak yang sempat tak terpenuhi kasih sayang. Lebih baik CLBK seperti anak remaja ketimbang memaksakan berpisah, mengaku orang dewasa, tapi mengorbankan banyak hal. Pembelajaran yang bagus untukku berumah tangga kelak.
Satu lagi aku perlu bersyukur. Aku bersyukur untuk keluargaku yang utuh. Meski aku tahu mamaku yang cerewet - ups, perhatian maksudnya - juga sering bersitegang dengan bapakku yang lempeng, tapi aku masih memiliki mereka hingga sekarang, lengkap dengan adikku yang super cerewet – yang ini cerewet beneran.
******
Punya Anak
Kemarin, aku mengunjungi Bibi Khoti, saudara Mas Kasad, yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Bibi Khoti sendiri dulunya juga temanku mengaji saat masih kecil. Melihatnya “berbadan lebar” khas seorang ibu yang baru melahirkan duduk di samping bayi laki-laki mungil yang mempunyai bibir dan raut wajah yang begitu mirip dengannya ditemani Paman Wasis, suaminya, membuat pikiranku melayang berandai: nanti kalau aku punya anak, juga seperti itu?
Mas, tadi ade abis lihat bayinya bibi Khoti. Bayinya cakep deh, tapi ga mirip mas (ya iyalah!). Nanti ade pengen bikin yang mirip ade sama mas, ya. ;)
Sent to: MasQ
19:02
6/Apr/2011
*******
Purbalingga, 7 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar