Senin, 25 April 2011

Kembang Kopi

Kalau bukan karena disuruh suami, aku malas deh ke warung pagi-pagi begini hanya untuk beli teh dan gula. Apalagi jalannya ini lho, becek banget. Sandalku jadi berat bawa-bawa tanah. Sebenarnya aku bisa saja menolak disuruh Mas Toro, tapi menolak permintaanya ketika berada di rumah orang tuaku sendiri sepertinya sekarang ini, aku rasa bukan ide yang bagus.

Aku menarik celana panjangku agak tinggi menghindari genangan air. Semalam turun hujan lebat dan inilah sisa-sisanya. Ah, aku juga ingat semalam Mas Toro tidur duluan, mengacuhkanku. Mungkin dia kelelahan menyupir mobil kami dari Jogja. Kalia juga langsung tidur dengan neneknya.

Kiri kananku sekarang adalah tumbuhan tetean (teh-tehan) yang tumbuh cukup tinggi dan rimbun, membentuk pagar sepanjang jalan setapak yang berbatasan dengan kebon tetangga ini. Ini tentu bukan jalan setapak yang asing bagiku. Aku menghabiskan masa kecilku dengan berlarian di sini, juga bermain di kebon sebelah itu. Masa kecil bocah desa.

Mataku lalu menanggap gerombolan bunga putih di antara daun-daun lebar sebuah pohon yang tidak terlalu tinggi. Bunga kopi. Cantik. Aromanya khas. Mataku menatap cukup lama bunga-bunga putih bersih itu. Akan aneh jika aku menuruti keinginanku untuk memetiknya dan ada orang lihat. Warung, teh, gula. Otakku memerintahkanku kembali ke tujuan awal.

******
Aku sedang mengaduk teh manis di dapur dan seseorang menginjak kaki kiriku. Mas Toro. Pasti sengaja. Aku sedikit kaget dan menyentak kecil, “Ayah”. Ia menatapku lucu dan nyengir. Aku sendiri belajar memanggilnya ayah sejak lima tahun lalu, seperti permintaannya. Dan ia sendiri memanggilku Bunda. Buat contoh Kalia, katanya. Tapi aku masih suka merasa lucu.

“Bun, kok celanamu kotor begitu? Abis dari sawah?” tanyanya usil sambil melirik ke celanaku yang penuh bercak tanah. “Ini kan gara-gara Ayah nyuruh Bunda ke warung pagi-pagi, “ kataku sambil balik iseng menempelkan sendok teh ke hidungnya. Mas Toro meringis lagi. Ih, bikin gemas.

“Yah, tadi Bunda lihat kembang kopi di jalan setapak sebelah waktu mau ke warung. Cantik deh, “ceritaku seperti anak kecil. Aku mengikuti Mas Toro yang duduk di bangku panjang di depan meja makan sambil membawa teh manis yang kubuatkan tadi. “pasti Bunda pengen metik, “ tebak Mas Toro. “Hehe, iya, Yah,” kali ini aku yang nyengir. “Bunda ingat? Dulu kan ayah juga pernah kasih Bunda kembang kopi, tapi malah Bunda jadiin buat masak-masakan sama Sutri, “ katanya lalu menyeruput tehnya. Aku mengernyit, mencoba mengingat-ingat.

******

“Sut, aku tek nggolet janganan disit, ya,¬1“ kata gadis kecil berponi yang kemudian bangkit menuju deretan tanaman singkong. Tanaman singkong itu tumbuh subur, daunnya hijau menjari. Ia memetik beberapa lembar daun. Mbok2 nanti mau dimasak sama Nini Sipur, pikir si gadis kecil. Tentunya dimasak betulan, bukan masak-masakan seperti yang Nuryani, nama gadis kecil 6 tahun itu, dan Sutri, temannya, itu lakukan sekarang.

Dua bocah kecil ini memang sering bermain bersama di kebon di samping rumah Nuryani. Kebon yang ditumbuhi tanaman singkok karet, pohon kelapa, pohon pisang, pohon duku, tanaman talas, pohon kopi, dan tanaman singkong yang is petik daunnya tadi itu memang milik Nini Sipur, wanita tua yang hidup bersama suaminya yang seorang 3. Mereka berdua menempati sebuah rumah kayu kecil di bagian depan kebon ini, tepat menghadap jalan raya dan sejajar dengan rumah Nuryani, hanya dipisahkan jalan setapak. Kaki nini4 ini terkenal sebagai pasanga senja yang sayang terhadap anak-anak kecil di lingkungan mereka dan suka membagi-bagikan makanan. Nuryani sendiri paling senang saat pohon manggis dan jambu air di depan rumah mereka berbuah, ia akan menjadi yang pertama dipanggil untuk ikut memetik dan menikmati buahnya.

“Eh, kamu namanya siapa?” tiba-tiba seorang anak laki-laki 10 tahun berdiri di belakang Nuryani. Nuryani kaget. Ia membalik badan agak ragu. Namun, ia lalu menjawab dengan lantang, “Nuryani. Lha kamu siapa?” kata Nuryani ikut berbahasa Indonesia seperti ia meniru ibunya. Nuryani menatap penuh selidik anak laki-laki berwajah bulat dan berbadan agak gempal itu. “Aku Sutoro, cucunya Nini Sipur. Aku mau pindah ke sini. Rumahku yang kemarin di Sleman, “ceritanya tanpa diminta. Nuryani tidak tahu Sleman dimana, tapi ia enggan bertanya.

“Kamu lagi mainan apa? Aku ikutan, ya”, pinta Sutoro kemudian. Nuryani memandang takjub. Anak yang aneh, pikirnya. “Masak-masakan. Benar mau ikutan?” kata Nuryani. “Kalau mau ikutan, kamu harus ikut nyari janganan 5dulu, “ tantang Nuryani kemudian. Sutoro senang saja. Ia melihat gerombolan bunga-bunga putih di pohon yang tidak terlalu tinggi. “Itu mau? Ditaruh di rambutmu juga bagus, “ katanya sambil tersenyum memamerkan giginya.



*****

“Tapi Mak, aku nggak suka sama Mas Harno. Aku masih nunggu Mas Toro, “kata Nuryani menolak permintaan mamaknya untuk mendekati dan menikah dengan Harno, salah satu pemuda di desanya yang baru pulang dari Jakarta dan langsung membeli sepeda motor baru dan merenovasi rumah orang tuanya.

“Mamake sering ketemu Harno di Jakarta. Bocahe6 pekerja keras. Nggak kaya Mas Toro-mu itu yang nggak jelas kerja apa di Jogja. Wong kuliahnya saja pertanian, paling ya macul7 di kota, “kata mamak tidak mau kalah.

Nuryani diam. Ia kesal. Mboke, nenek Nuryani yang mendengar ribut-ribut dari kamarnya lalu mendekat. “Uwis lah Mar. Ora usah dipaksa. Lha wong Nuryani be urung tamat sekolahe8, “ kata Mboke. Nuryani merasa sangat terbela. Mamak diam saja. Sepertinya ia masih pada keinginannya.

******

Purbalingga, 16 Juni 2002

Kepada Mas Toro
di Jogja

Assalamu ‘alaikum wr. wb. Mas Toro, bagaimana kabar Mas di Jogja? Sehat-sehat saja kan?

Mas, Nur sudah lulusan hari Senin kemarin. Tapi Nur masih bingung mau kerja apa. Mamake maksa mau bawa Nur ke Jakarta kalau Nur nggak segera dapat kerja di sini. Padahal Nur nggak mau ke Jakarta. Bisa-bisa Nur dinikahkan sama Mas Harno di sana. Mamak ngeyel mau menjodohkan Nur sama Mas Harno, Mas. Nur nggak mau. Nur masih mau nuggu Mas.

Tapi Nur bingung, Mas Toro sendiri merasa ditunggu sama Nur nggak, Mas? Mas Toro kan dulu bilang katanya sayang sama Nur. Nur kangen, Mas…

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


Yang merindukanmu,


Nuryani

******

Jogjakarta, 25 Juni 2002

Kepada adindaku Nuryani
di Purbalingga

Assalamu ‘alaikum wr. wb. Puji syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan kasih sayangnya sehingga kau selalu dalam lindunganNya, begitu juga Masmu ini di sini.

Maafkan Mas, Dek. Mas memang sedang sibuk belakangan ini sehingga belum sempat mengirimkan surat kepadamu terlebih dahulu. Tapi Mas senang, Dek Nur masih mau mengirimi Mas surat. Mas senang baca surat Dek Nur sambil membayangkan wajah manis Dek Nur. Mas juga kangen sama Dek Nur.

Dan Dek Nur tahu? Mas juga nggak akan rela kalau sampai Dek Nur menikah dengan orang lain. Mas harap Dek Nur mau bersabar sedikit lagi. Mas di sini sedang berusaha mengembangkan bisnis coffe shop Mas. Insya Allah, kalau tabungan Mas sudah cukup, setelah lebaran nanti, Mas akan melamar dan menikahi Dek Nur. Dek Nur bisa beri tahu hal ini ke Mamak Dek Nur, supaya beliau tidak buru-buru menjodohkanmu dengan orang lain.

Yakinlah Dek, Mas akan selalu setia sama Dek Nur, kekasihku yang secantik kembang kopi nan putih.

Oh ya, kalau Dek Nur bingung mau kerja apa, bagaimana kalau Dek Nur sering-sering nulis surat untuk Mas saja. Mas akan senang sekali, apalagi kalau Dek Nur mau menulis surat yang lebih panjang biar Mas lebih lama bacanya. He he… Mas juga sedang menyiapkan pekerjaan istimewa untukmu, menjadi istri cantikku.

Salam sayang dan rindu selalu. Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

Kekasihmu,


Sutoro

******

“Nah, sudah ingat, kan?” kata Mas Toro sambil mencubit pinggangku. “He he. Iya, Yah, “ kataku kegelian.

“Lho Yah, Kalia kemana? Tadi bukannya setelah bangun tidur terus keluar rumah sama Ayah?” tanyaku ingat putri kecilku. “Iya. Tadi ketemu Rifki, anaknya Bu Yati depan rumah itu, terus diajak main, belum mau pulang, “cerita Mas Toro. Aku tersenyum.

“Apa nanti Kalia juga dikasih kembang kopi sama Rifki ya, Yah?” kataku membayangkan putri 6 tahun kami itu juga dipetikkan bunga kopi sama sepertiku. “Ha ha. Mungkin saja, “kata Mas Toro lalu mencubit pinggangku, lagi.

******
Keterangan:
1. Sut, aku nyari sayuran dulu, ya.
2. siapa tahu
3. penjual pisang
4. kakeh nenek
5. sayuran
6. dia
7. mencangkul
8. Sudah lah, Mar. Nggak Udah dipaksa. Lha orang Nuryani saja belum tamat sekolahnya.


Kata penulis: sebuah cerpen yang hmm, ckakakk, unyu-unyu. :P

Tidak ada komentar:

Posting Komentar