Minggu, 27 Maret 2011

Catatan Yang Ditunggu

Banyak yang terjadi seminggu ini. Mungkin banyak juga yang menunggu catatan saya, sekedar ingin tahu apa saja kejadian dan pikiran konyol yang hinggap di cewek aneh ini. Huh GR!


Ssttt, Ini Rahasia!

Kalau rahasia terus kenapa mau diceritakan dengan PD-nya begitu? Aku mengamini bahwa setiap orang punya rahasia. Dan berhak menyimpannya. Atau membaginya. Lho kalau dibagi-bagi untuk diceritakan namanya bukan rahasia lagi dong? Nyatanya, menyimpan rahasia itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan apalagi mengenyangkan. Yang ada kita hampir selalu dibayangi rasa was-was dan takut. Aduh, kalau rahasiaku terbongkar gimana? Kalau dia sampai tahu ini bisa gawat.

Ya, rahasia adalah sesuatu hal yang kita ingin orang-orang tertentu tidak tahu akan itu. Minggu lalu, rahasiaku yang berhubungan dengan pekerjaan yang aku jalani ketahuan. Rahasia yang ya seperti yang aku bilang tadi; bukan hal menyenangkan menyimpannya sendiri - maka sebelumnya aku ceritakan kepada kedua orang tuaku, yang aku yakini mengerti kondisiku – akhirnya ketahuan juga oleh seseorang yang tidak - atau belum - aku ingin dia tahu. Bisa jadi terkuaknya rahasia itu karena keteledoranku tidak menyimpan file-file pekerjaanku dengan rapi, atau ya bisa juga memang karena sudah waktunya untuk diketahui. Mau apa lagi? Mengelak? Itu sama saja memperpanjang masalah dan menumpuk-numpuk kebohongan yang tidak pernah terpikir sebelumnya.

Jadi kalau suatu saat, rahasia kalian diketahui orang lain, apapun itu – hei, kalian pastinya juga punya rahasia, kan? – usahakan bersikaplah tenang. Ceritakan yang perlu kalian ceritakan tentang apa dan kenapa kalian merahasiakan itu. Berikan pengertian, tunjukkan sikap bersalah dan minta maaf, tapi bukan kalah. Bangun lagi kepercayaan dengan menunjukan sikap memperbaiki loyalitas.

Tapi begini, selain diiringi ketidakterimaan dari pihak yang merasa dirugikan, terbongkarnya rahasia kita seringnya juga memnuculkan ketidakterimaan yang luar biasa dari dalam diri kita sendiri. Kenapa dia harus tahu rahasia ini sekarang? Bodohnya aku tidak bisa menyembunyikan ini dengan baik. Kenapa aku harus menanggung semua akibat yang berat ini? Semua pikiran itu pastinya muncul di benak kita. Jika dituruti dan disesali terus menerus, justru kita akan semakin terpuruk dan tampak konyol dengan insiden terbongkarnya rahasia itu. Pikirkan sisi positifnya, toh dengan terkuaknya rahasia itu, kita tidak perlu lagi was-was di siang hari dan malu di malam hari seperti orang yang terlilit hutang. Toh rahasia itu nantinya juga pasti akan diketahui juga, sama saja. Semakin cepat terbongkar semakin Tuhan ingin segera membebaskanmu dari ketakutan dan rasa tidak aman.

Ah, hidup tanpa rahasia yang berlebihan sepertinya akan lebih sehat dan nyaman.


Pulangkan Saja Aku Pada Ibuku

Minggu ini aku memutuskan untuk tidak ngekost lagi di Purbalingga. Aku sudah bisa dapat sinyal 3G di rumah. Hore! Ya, alasanku ngekost di Purbalingga awalnya memang karena tidak dapat sinyal 3G di rumah, membuat koneksi begitu lambat dan pekerjaan sulit terselesaikan dengan cepat. Jadi karena sekarang koneksi 3G sudah masuk desa, ya aku pulang saja. Pulangkan saja aku pada ibuku, atau ayahku, uuuuu…

Sisi baiknya jelas aku bisa lebih ngirit karena menghemat biaya makan. “Aku mending bayar kost sama Mama aja, deh”, celotehku dengan mamaku. Aku menyadari aku nggak bisa masa bodoh dengan masalah di rumah seperti jaman aku masih di sekolah. Entah itu masalah rekening listrik yang belum dibayar, elpiji yang habis, mamaku yang nggak punya uang untuk arisan, atau adikku yang rewel sekedar minta permen. Semoga aku lebih siap dan bisa lebih peka serta sabar di rumah.



Aku Nggak Suka Ada Cewek Cantik Berkeliaran Di Dekatmu

Aku nggak suka kamu bilang cewek lain cantik. Entah itu cantiknya masih di bawah aku atau bahkan lebih cantik dari aku – oh, tidak! Aku nggak suka kamu cerita tentang cewek lain dengan bersemangat. Entah itu cewek lewat yang tidak kamu kenal atau teman lamamu di SMA. Dan yang terbaru, aku nggak suka ada cewek cantik berkeliaran di dekatmu. Entah itu ibu guru atau ABG labil sekalipun. Aku nggak suka. Aku bisa mutung dan sebel banget karena itu. Aku posesif? Biarin! Itu karena aku sayang kamu.

Kamis, 24 Maret 2011

Cuaca

Cuaca tahun ini jadi tidak sesuai seperti yang aku pelajari di Sekolah Dasar
April sampai Oktober harusnya musim kemarau, lalu setelah itu musim hujan, kan?
Tapi kenapa aku merasa hujan menguasai bumi sepanjang tahun?
Apa kamu bisa menjelaskannya padaku?
Seperti kamu menjelaskan prosentase warna jingga pada pelangi
Atau seperti bagaimana kamu menerangkan hukum inertia saat naik bis
Boleh juga seperti kamu menguraikan kerja feromon pada orang jatuh cinta
Aku selalu suka caramu menerangkan hal sulit kepadaku



Yang aku ragu adalah apa kamu bisa menerangkan bagaimana melawan kecamuk rindu setiap hujan turun, sepanjang tahun
Karena kamu sendiri akan menjadi seperti anak kecil kesepian diantara jarak yang merisaukan ini, sama sepertiku

Hei, hujan sepertinya baru saja reda
Sekarang bisakah kamu jelaskan kemana awan-awan yang sebelumnya bergelantungan malas di langit itu?
Apa kamu mencurinya dan merakitnya menjadi pesawat untuk mengejutkanku saat kamu pulang nanti?

Sabtu, 19 Maret 2011

Menetaskan Uneg-Uneg

Dari kemarin pengen nulis, tapi nggak sempat-sempat. Uneg-uneg sudah menumpuk seperti cucian seminggu yang tidak kunjung dikucek. Apek! Jadi malam ini saya mau “menetaskan” uneg-uneg saya. Biar setelah itu rahim otak saya bersih dan lahir ide dan semangat baru yang lebih sehat.

Usia Untuk Dimaklumi Sebagai anak-Anak Makin Berkurang

Hari Rabu, 16 Maret kemarin saya ulang tahun. Emang tahun bisa diulang ya? Baiklah, katakan saja saya makin berumur. 19 tahun, itu usia yang aku genapi tahun ini. 19 tahun, hanya butuh satu tahun lagi untuk berumur 20 tahun. Usia yang entah bagaimana awalnya aku harap-harap cemaskan. Usia yang aku bilang sudah tidak bisa – dan tidak boleh - dikatakan anak-anak lagi.

Berapa banyak orang yang mulai menata hidup di usia 20 tahun? Seberapa banyak yang masih menganggapnya usia “have fun”? Sepertinya perbandingan jumlahnya seperti seluncuran.

Back to my 19th birthday. Nothing special. Just myself, laptop, and daily works. Oh ya, 70 ucapan selamat di FB dan 2 SMS. Aneh, orang berkurang umurnya kok malah diselamati. Tapi ya, aku bilang terima kasih saja untuk kesediaan mereka repot-repot menulis di wall FBku, juga aku amini saja setiap doa baik yang mereka kirimkan.

Ya, sepertinya memang aku butuh banyak doa dan kerja keras, tentunya, memasuki usia 19 tahun ini. Gimana nggak? Aku masih tetap kurus aja, tabungan masih segitu-gitu aja, HPku belum juga ganti, bahkan buku kuliah yang harus aku baca juga nggak maju-maju halamannya. Yang makin banyak justru masalah dan ketidakpuasan. Tahun ini aku harus lebih baik, pasti. Tapi apakah sehat hidup dengan pikiran “berat” seperti itu?

Rabu sore itu aku beromantis-romantis dengan diriku sendiri. Menekuk lutut dan memeluk tubuhku sendiri. Menelengkupkan wajah dan menyelami pikiranku, mengajaknya berdamai. Ayolah fikiranku yang keras kepala, berdamailah dengan hati banyak mau ini, lebih baik memantapkan langkah dan tersenyum ringan.



Tolong Dibantu Ya, Dihargai Ya, Prok Prok Prok

Aku bukan lagi mau main sulap-sulapan tapi…mau ngoceh. Apa ABG sekarang itu labil semua? Nggak bisa belajar menghargai orang lain? Sukanya SMS semaunya. Ngomong semaunya. Bertindak juga seenaknya. Terserah sih kalau ABG labil ketemu ABG labil, mau adu labil juga silahkan, tapi kalau jadinya malah makan ati orang diluar arena labil itu? What the hell!

Jadi, tolong ya, dibantu ya, belajarlah menghargai orang di sekitarmu. Sementara itu saya juga akan mencari cara berlaku “santai” terhadap kalian, adik-adik labilku. Prok prok prok.


Sayang, Kok Kamu Gitu Sih?

Pasti kalian juga sering mengatakan atau berfikir seperti ini: Sayang, kok kamu gitu sih, kepada orang tersayang kalian. Sebenarnya kalau mau lebih lengkap dan jujur, kalimat itu
bisa diteruskan menjadi: Sayang, kok kamu gitu sih? Kenapa kamu nggak kayak gini aja. Kenapa kamu nggak kayak kamu yang biasanya? Kenapa kamu nggak jadi seperti yang aku mau aja? Kenapa kamu berubah? Kenapa? Kenapa?

Akan ada banyak sekali “kok gitu sih” dan “kenapa” yang memenuhi otak kita ketika si dia mendadak “aneh” di mata kita. Terlebih kalau kita sendiri lagi sensi (baca: kelewat sensitif), semua omongan dan tindakannya menjadi sulit diterima. Dan sepertinya saya jadi pengen balik ke sub-judul di atas lagi; tolong ya, dibantu ya, Sayang, kalau aku lagi sensi, kamu jangan ikut-ikutan sensi.

Sayang, kok kamu itu sih? Kalau aku lagi sensi, kamu jangan ikut-ikutan sensi...
Sent to MasQ
18/Mar/2011
21:02

Maafin mas ya, Sayang…
Sender: MasQ
18/Mar/2011
21:20


Menonton TV Seminggu Sekali

Berapa jam kamu menonton TV sehari? Apa yang kamu dapat? Bagaimana perasaanmu?

Saya sejak kost dari awal masuk SMK 4 tahun lalu, hanya menonton TV seminggu sekali. Meski ya, pengecualian saat liburan panjang, menonton TV jadi cara mentok untuk membunuh waktu di rumah. Tapi saat normal seperti sekarang, saya hanya menonton TV seminggu sekali. Dan saya tidak harus merasa kehilangan apa pun. Entah itu lanjutan sinetron yang lagi seru (katanya) atau berita bencana terbaru langsung dari DPR atau Jepang.

Saya menonton TV seminggu sekali. Menonton Doraemon, Sinchan, Sule, dkk lalu tertawa. Ikut menonton sinetron lalu menaikkan alis, ceritanya maksa. Juga menonton berita lalu mengganti channel dan menemukan yang serupa, dramatis. Adik saya yang baru 3 tahun lebih suka menonton iklan, dan sepertinya saja jadi ikut-ikutan. Anyway, iklan “life is an adventure”-nya susu formula itu keren, ya?

Saya menonton TV seminggu sekali, dan justru merasa beruntung dikondisikan seperti ini. Saya tidak perlu meluangkan waktu dan pikiran untuk sinetron, infotainment, dan berita yang sejenis itu: berlarut-larut.

Ah, saya berharap ada sesuatu yang baik dari tayangan TV Indonesia sekarang ini, sesuatu yang mungkin bisa memaksa saya membeli TV dan memasangnya di kamar kost.


Purbalingga, 18 Maret 2011



Selasa, 08 Maret 2011

Sekali ini aku ingin berterima kasih kepadamu
untuk jarak yang (makin) kau rentangkan
dan lebih banyak kesempatan untuk merindukanmu

Sepertinya kau tahu benar menahan hatiku
Kau mudah menjelma serupa senja
Tenang dan membuatku ingin pulang

Kau pun pandai membuatku (begitu) menginginkanmu
Kau hitung lampu jalan saat perjalanan pulang, membuatku ingin menanam lebih banyak lampu
Kau sedih dan tertawa seperti anak kecil, membuatku ingin membawamu pulang dan bermain tebakan
Tapi kau juga seperti es krim di hari berangin, membuatku sering ingin meminta perpanjangan waktu
Kau dengan segala cara ajaibmu, membuatku bersikeras mencintaimu

Dan kau juga mengajakku menulis sebuah cerita, kau mulai dengan sebuah kata: satu
Lalu kita meneruskannya menjadi: satu penerimaan, satu pengertian, satu keterbukaan, satu pendewasaan, satu kesediaan, satu hidup untuk bersama
Bagaimana kalau cerita ini aku beri judul: satu-satu aku sayang kamu?

Kau tahu, hujan tahun ini terasa lebih cengeng
dan hari Sabtu seringnya seperti jam pelajaran kosong: membosankan
Itu gara-gara kamu!

Dan kamu tahu, sepertinya aku masih punya beberapa lembar ribuan
Aku akan traktir kamu es krim lagi kalau kamu cepat pulang

Ah, tapi sepertinya kamu memang lebih suka memberiku (banyak) waktu untuk merindukanmu.



Purbalingga, 8 Maret 2011

Catatan Harian Orang (Nggak) Penting!

Aku Pengen Nulis Buku, Beneran Deh!

Kamis kemarin, aku sama Mas Kasad datang ke Bazaar Buku Purbalingga di GOR Mahesa Jenar. Seingatku dulu waktu aku masih SMK juga pernah ada bazaar buku di tempat yang sama dan aku datang sama Via. Kasihan Via dia nggak bisa datang ke Bazaar Buku tahun ini karena harus balik kuliah ke Semarang. Eh, Vi, aku malah ketemu adikmu, Dian, lho!

Aku sama Mas Kasad muter-muter nggak begitu lama, berhubung sudah sore dan dia ada keperluan lain, jadi dia pulang duluan. Nggak rela juga sih ditinggal pulang duluan, tapi ya sudahlah. Setelah Mas Kasad pulang, aku lalu bergabung dengan teman-teman dari Kelas Menulis yang sudah asyik bertanya jawab dengan dua orang dari Penerbitan di tengah panggung – wuih naik panggung!

Aku pun segera masuk ke keasyikan bertanya jawab itu, aku bertanya tentang kesempatan menjadi penerjemah buku asing dan menerbitkan buku yang modelnya seperti buku harian, seperti yang biasa aku tulis ini. Dan ya, jawaban dan respon dari bapak-bapak penerbitan itu cukup membuatku tertarik dan bersemangat. Aku pengen nulis buku, beneran deh!


Menjanda

“Akan ‘menjanda’ selama lima bulan.
*hmm, baiklah ini memang status untuk ditertawakan. Hahaa..”

Itu adalah status yang aku tulis di Facebook hari Jum’at kemarin. Menjanda? Ya, itu cuma istilah yang aku buat untuk keadaanku lima bulan ke depan saat aku ditinggal Mas Kasad ke Cianjur. Meski ini bukan kali pertama ditinggal – dulu pernah ditinggal 3 bulan ke NTT, dan biasanya juga aku di Purbalingga dia di Jogja - tapi tetap saja rasanya sedih dan nggak enak. By the way, banyak yang ngasih komentar dan jempol untuk status itu lho. Hehee..

Menjanda. Biarin deh kali ini ditinggal, yang penting nantinya aku nggak mau ditinggal-tinggal lagi, apalagi sampai menjanda beneran. Tidaakk!

Dan untuk Mas Kasad, aku tetap berdoa yang terbaik untukmu. Dimanapun dan bagaimanapun, semoga Tuhan selalu memberikan kemudahan dan kasih sayangNya.



(Harus) Belajar (Lagi)

Kenapa sih judulnya dikurung-kurung kaya’ gitu? Takut pada kabur? Hahaa.. Suka aja. Dan ya memang itulah yang aku maksud: (harus) belajar (lagi). Intinya ada pada kata belajar. Lalu tambahan kata “harus” di depan dan “lagi” di akhir adalah detailnya – mungkin.

Setetalah hampir setahun tidak lagi menjadwalkan diri pada aktifitas belajar, dalam arti membaca buku pelajaran dan mengerjakan soal, sekarang aku mulai harus memaksa diriku melakukannya lagi. Sistem belajar di Universitas Terbuka yang mandiri memang mengkondisikan mahasiswanya “belajar sendiri”: pesan buku, baca buku, latihan soal, buka CD tutorial, buka tutorial online, lalu ujian. Kalau ada materi yang susah, punya teman kelompok, dan ada “kelebihan uang” baru boleh minta kelas tatap muka sama dosen. Seseorang mengatakan – dan menyemangati – padaku untuk dijalani dan dinikmati saja prosesnya. Pasti ada manfaatnya, tekannya. Ya, aku percaya kok kalau nggak ngapain juga capek-capek ndaftar.

Tapi – ini tapinya – mengkondisikan diri untuk belajar lagi itu nggak mudah, hei! Ya malas, nanti sajalah, aku mau ini dululah.. Terpaksa harus teriak-teriak ke dalam diri sendiri, “Hei, Alfy Aulia ayo belajar! Wong kamu udah rela-relain bayar sendiri masa nggak mau belajar?” Lalu, “OK aku belajar, tapi abis nulis catatan ini, ya.” Haduuh..



Malam Minggu Dan Hari Minggu Minggu Ini

Sebelum Minggu ini, biasanya aku menghabiskan malam Minggu dan hari Minggu di rumah. Tapi entahlah dengan malam Minggu dan hari Minggu minggu ini, aku memilih tidak pulang dan tetap di kost. Bermalam mingguan dengan buku “Tuhan Sang Penggoda”nya M.Arief Budiman, laptop, dan SMSan terasa tidak terlalu buruk tapi juga tidak terlalu menyenangkan. Menyisakan sedikit ruang kosong di hatiku – biasanya di rumah aku menonton TV dengan adikku lalu memasak mi instant dan dimakan bareng, biasanya…


Hari Minggu ini aku bangun siang, itu pun karena perutku terasa lapar. Setelah mandi sekenanya – dingin – aku jalan ke depan RS HI beli bubur ayam. Makan sendiri di kost. Sisi kosong hatiku ngoceh lagi, biasanya aku makan banyak sayur dan buah di rumah, biasanya aku..., biasanya... Halah biasanya-biasanya! Anggap saja ini sesuatu yang nggak biasanya karena kamu memang bukan orang biasa, orang aneh, pemberontak! Ya, mungkin begitu.


Malam Minggu. Hari Minggu. Semoga ada minggu-minggu yang lebih indah dan lebih baik dari minggu ini.



Boleh Aku Bicara Sedikit Tentang Tuhan?

Tuhan. Kapan pertama kali kamu mengenal nama itu? Bagaimana dengan hari ini? Aku pun menanyakan pertanyaan itu pada diriku sendiri. Dan jawabannya aku lupa kapan pertama kali aku mengenalnya – saat aku kecil mungkin – lalu hari ini…aku ingat Dia, meski tidak seintens aku mengingat masalah-masalahku sendiri.

Tuhan. Aku percaya dia ADA. Aku tersenyum membaca prolog di buku “Tuhan Sang Penggoda” – lagi-lagi buku itu – ketika mengingat ada seseorang yang menafikan ke-ADA-an Tuhan. Meski ya, semua orang punya kebebasan untuk berurusan dengan Tuhan, kepercayaan, dan sejenisnya.

Atheis:
“Tuhan itu tidak ada. Bodohlah orang yang mengakui Tuhan ada, sesuatu yangtidak masuk akal, tidak logis, tidak rasional.Tuhan itu angan-angan orang picik, orang kuno, kepercayaan masa lalu. Alam semesta ini hadir sesuai hukumnya sendiri, tak perlu ada Tuhan untuk menciptakannya. Kita lahir, kita hidup, kita mati: hukum alam memang begitu. Kamu tidak akan bisa membuktikan Tuhan itu ada karena Tuhan memang tidak pernah ada. Tidak pernah ada.”

Temannya:
“Tapi kok kamu menyebutnya. Berkali-kali malah…”

(Bagian 3: Mencari Rumah Tuhan. Tuhan Sang Penggoda, M. Arief Budiman)

Meski aku hanya seorang perempuan tanggung 19 tahun. Meski aku belum lama berjilbab dan hanya memakainya saat keluar rumah. Meski puasa Ramadhanku kemarin bolong 9 hari. Meski sholatku terseret-seret. Meski imanku kayak jungkat-jungkit. Meski mataku, lisanku, tanganku, kakiku masih susah sinkron bertaubat. Meski AlQur’anku lebih sering aku anggurkan. Meski sedekahku hanya kadang jika ada receh. Meski aku bukan sholehah yang anggun dan santun. Tapi aku percaya Tuhanku, Allah yang satu. Mengharap kasih sayangNya. Mengharap pertolonganNya.

Tuhan mungkin tidak pernah minta dibawa dalam sebuah tulisan, entah di awal, tengah, atau di akhir – seringnya. Namun, membawaNya pada sebuah tulisan, jika berhasil, akan menyiramkan keteduhan pada tulisan itu sendiri. Ini menurutku – bukan sedang menyanjung tulisanku sendiri lho, memangnya aku siapa?


Purbalingga, 6 Maret 2011

Sabtu, 05 Maret 2011

Temui Aku Di Purbalingga



Temui aku di Purbalingga

sore hari menjemput hati di sisa hujan

langit basah, wajahmu cerah



Temui aku di Purbalingga

malam hari menyalakan cinta di tengah kota

angin memainkan langkah, senyum mengembang



Temui aku di Purbalingga

pagi hari kotaku ada dalam kenangmu

harapan tak pergi ke mana, menunggu pun tak terlalu melelahkan bagiku



Sekali lagi, temui aku di Purbalingga.

Perjalanan Ke Warung Nasi

Kamis sore menjelang maghrib, saya keluar dari kost hendak beli nasi rames. Kost saya berada di sebuah perumahan penduduk yang bersih dan tenang. Jalan di sini tidak terlalu ramai karena bukan jalan besar. Di depan sana tepat mengarah ke jalan raya, ada sebuah gapura hijau bertuliskan Jalan Rambutan. Seingat saya di Kalikabong sini memang banyak nama jalan yang dinamai dengan nama buah-buahan.

Saya memperhatikan selokan di pinggir jalan, debit airnya tampak sedikit lebih besar dari biasanya, mungkin karena tadi siang baru turun hujan. Air di selokan itu tampak bersih dan mengalir lancar, batu dan permukaan selokan yang tidak rata membuat airnya tampak beriak-riak kecil. Selokan yang cantik. Seketika saya merasa beruntung dari orang manapun di Ibukota yang pasti tidak pernah mendapatkan pemandangan seperti ini di dekat rumahnya.

Kemudian saya melihat seorang ibu, belum terlalu tua, mengayuh sepeda dari arah jalan raya. Sepertinya ia habis membeli sesuatu, tampak dari kantong plastik putih yang dikaitkan pada stang sepedanya. Mungkin karena merasa saya perhatikan, ia pun tersenyum selintas kepada saya. Sepertinya ia warga dekat sini juga. Saya kembali bersyukur, karena yang seperti ini pun pasti akan sulit di temui di Ibukota.

Keluar dari mulut Jalan Rambutan, melewati gapura hijau itu, saya lalu berjalan di sebelah kanan trotoar Jalan Mayjend Soengkono, melawan arah. Saya berpapasan dengan mbak-mbak membawa tas kecil di tangan. Dari seragam biru kotak-kotak kecilnya, mereka adalah pekerja PT Rambut di Purbalingga, tapi entah PT yang mana, ada banyak kan? Mereka berjalan dengan cepat, mungkin karena sudah menjelang maghrib. Kira-kira mereka sampai di rumah jam berapa, ya? Saya dengan pekerjaan saya sekarang yang tidak mengharuskan pergi ke sebuah tempat bernama PT atau kantor, berangkat pagi pulang sore, merasa sangat beruntung.

Di kanan trotoar saya melihat sebuah toko pakaian memajang baju Timnas seukuran anak lima tahun. Saya teringat Panggih, adik saya yang bulan lalu sempat berceloteh, “Ma, ngesuk tuku,” ketika melihat teman mainnya ada yang memakai baju seperti itu. Bukan hal aneh sebenarnya, karena Panggih selalu bilang “Tuku!” pada apapun yang dianggapnya menarik, bahkan pada kucing di televisi. Pun ketika akhirnya mama mengajaknya ke pasar membeli baju, yang dibawa pulang adalah baju bergambar Upin-Ipin. Panggih tetap memakainya dengan senang, sedangkan saya jadi berfikir, apa tidak ada gambar di baju anak-anak yang lebih “made in Indonesia”. Bagaimana anak-anak mau mengenal “jagoan” yang asli Indonesia? Hmm, ngomong-ngomong “jagoan” Indonesia sekarang ini siapa, ya?

Agak jauh kemudian saya melihat mobil menepi di depan penjual martabak mini, seorang ibu berjilbab melongok keluar dari jendela mobil, tampaknya memesan martabak. Apakah kakinya di rantai di dalam mobil sehingga ia tidak bisa keluar dan ber-unggah-ungguh? Saya pun melintasinya dan mobil mewahnya cepat.
Setelah itu di seberang jalan, saya melihat Taman Makam Pahlawan. Kata orang, makam adalah “rumah masa depan” bagi yang melihatnya. Meski mungkin “rumah masa depan” saya bukan di makam pahlawan itu, saya pasti akan “dirumahkan” juga. Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Saya mengalihkan pandangan pada lampu jalan yang mulai menyala. Lampu itu ada banyak sepanjang jalan raya. Dimata imaginatifku, jalan ini menjadi silau dan semakin silau, aku tak bisa melawan dan tertelan cahaya, lalu mendadak gelap. Ah, akan seperti apa “kehidupan” setelah mati? Astaghfirullah…

Hampir dekat dengan warung nasi yang saya tuju, saya melihat di depan sebuah rumah, ada tiga orang baru turun dari sebuah sepeda motor. Saya mendakwa tiga orang itu adalah seorang ayah, ibu, dan anak lima tahunan mereka. Mereka lalu masuk rumah. Saya nanti juga akan menikah, mempunyai suami, anak, dan rumah sendiri. Pergi berjalan-jalan dengan sepeda motor seperti keluarga itu, pikirku. Seketika saya tersenyum sendiri. Semoga tidak ada orang yang melihat dan menganggap saya gila.

Akhirnya saya sampai juga di warung nasi yang saya tuju. Sebuah warung nasi yang bersih, saya suka tempat yang bersih. Dengan mengulurkan uang lima ribu rupiah saya mendapatkan menu yang cukup mengenyangkan dan bergizi, menurut saya. Saya bersyukur, karena bahkan di luar sana banyak yang makan tanpa memikirkan kecukupan gizi, ketepatan porsi dan waktu. Dan lebih bersyukur lagi, karena perjalanan saya ke warung nasi tidak hanya membawa pulang sebungkus nasi yang akan mengisi perut saya ini tapi juga inspirasi untuk menulis. Inilah hasilnya.