Selasa, 08 Maret 2011

Catatan Harian Orang (Nggak) Penting!

Aku Pengen Nulis Buku, Beneran Deh!

Kamis kemarin, aku sama Mas Kasad datang ke Bazaar Buku Purbalingga di GOR Mahesa Jenar. Seingatku dulu waktu aku masih SMK juga pernah ada bazaar buku di tempat yang sama dan aku datang sama Via. Kasihan Via dia nggak bisa datang ke Bazaar Buku tahun ini karena harus balik kuliah ke Semarang. Eh, Vi, aku malah ketemu adikmu, Dian, lho!

Aku sama Mas Kasad muter-muter nggak begitu lama, berhubung sudah sore dan dia ada keperluan lain, jadi dia pulang duluan. Nggak rela juga sih ditinggal pulang duluan, tapi ya sudahlah. Setelah Mas Kasad pulang, aku lalu bergabung dengan teman-teman dari Kelas Menulis yang sudah asyik bertanya jawab dengan dua orang dari Penerbitan di tengah panggung – wuih naik panggung!

Aku pun segera masuk ke keasyikan bertanya jawab itu, aku bertanya tentang kesempatan menjadi penerjemah buku asing dan menerbitkan buku yang modelnya seperti buku harian, seperti yang biasa aku tulis ini. Dan ya, jawaban dan respon dari bapak-bapak penerbitan itu cukup membuatku tertarik dan bersemangat. Aku pengen nulis buku, beneran deh!


Menjanda

“Akan ‘menjanda’ selama lima bulan.
*hmm, baiklah ini memang status untuk ditertawakan. Hahaa..”

Itu adalah status yang aku tulis di Facebook hari Jum’at kemarin. Menjanda? Ya, itu cuma istilah yang aku buat untuk keadaanku lima bulan ke depan saat aku ditinggal Mas Kasad ke Cianjur. Meski ini bukan kali pertama ditinggal – dulu pernah ditinggal 3 bulan ke NTT, dan biasanya juga aku di Purbalingga dia di Jogja - tapi tetap saja rasanya sedih dan nggak enak. By the way, banyak yang ngasih komentar dan jempol untuk status itu lho. Hehee..

Menjanda. Biarin deh kali ini ditinggal, yang penting nantinya aku nggak mau ditinggal-tinggal lagi, apalagi sampai menjanda beneran. Tidaakk!

Dan untuk Mas Kasad, aku tetap berdoa yang terbaik untukmu. Dimanapun dan bagaimanapun, semoga Tuhan selalu memberikan kemudahan dan kasih sayangNya.



(Harus) Belajar (Lagi)

Kenapa sih judulnya dikurung-kurung kaya’ gitu? Takut pada kabur? Hahaa.. Suka aja. Dan ya memang itulah yang aku maksud: (harus) belajar (lagi). Intinya ada pada kata belajar. Lalu tambahan kata “harus” di depan dan “lagi” di akhir adalah detailnya – mungkin.

Setetalah hampir setahun tidak lagi menjadwalkan diri pada aktifitas belajar, dalam arti membaca buku pelajaran dan mengerjakan soal, sekarang aku mulai harus memaksa diriku melakukannya lagi. Sistem belajar di Universitas Terbuka yang mandiri memang mengkondisikan mahasiswanya “belajar sendiri”: pesan buku, baca buku, latihan soal, buka CD tutorial, buka tutorial online, lalu ujian. Kalau ada materi yang susah, punya teman kelompok, dan ada “kelebihan uang” baru boleh minta kelas tatap muka sama dosen. Seseorang mengatakan – dan menyemangati – padaku untuk dijalani dan dinikmati saja prosesnya. Pasti ada manfaatnya, tekannya. Ya, aku percaya kok kalau nggak ngapain juga capek-capek ndaftar.

Tapi – ini tapinya – mengkondisikan diri untuk belajar lagi itu nggak mudah, hei! Ya malas, nanti sajalah, aku mau ini dululah.. Terpaksa harus teriak-teriak ke dalam diri sendiri, “Hei, Alfy Aulia ayo belajar! Wong kamu udah rela-relain bayar sendiri masa nggak mau belajar?” Lalu, “OK aku belajar, tapi abis nulis catatan ini, ya.” Haduuh..



Malam Minggu Dan Hari Minggu Minggu Ini

Sebelum Minggu ini, biasanya aku menghabiskan malam Minggu dan hari Minggu di rumah. Tapi entahlah dengan malam Minggu dan hari Minggu minggu ini, aku memilih tidak pulang dan tetap di kost. Bermalam mingguan dengan buku “Tuhan Sang Penggoda”nya M.Arief Budiman, laptop, dan SMSan terasa tidak terlalu buruk tapi juga tidak terlalu menyenangkan. Menyisakan sedikit ruang kosong di hatiku – biasanya di rumah aku menonton TV dengan adikku lalu memasak mi instant dan dimakan bareng, biasanya…


Hari Minggu ini aku bangun siang, itu pun karena perutku terasa lapar. Setelah mandi sekenanya – dingin – aku jalan ke depan RS HI beli bubur ayam. Makan sendiri di kost. Sisi kosong hatiku ngoceh lagi, biasanya aku makan banyak sayur dan buah di rumah, biasanya aku..., biasanya... Halah biasanya-biasanya! Anggap saja ini sesuatu yang nggak biasanya karena kamu memang bukan orang biasa, orang aneh, pemberontak! Ya, mungkin begitu.


Malam Minggu. Hari Minggu. Semoga ada minggu-minggu yang lebih indah dan lebih baik dari minggu ini.



Boleh Aku Bicara Sedikit Tentang Tuhan?

Tuhan. Kapan pertama kali kamu mengenal nama itu? Bagaimana dengan hari ini? Aku pun menanyakan pertanyaan itu pada diriku sendiri. Dan jawabannya aku lupa kapan pertama kali aku mengenalnya – saat aku kecil mungkin – lalu hari ini…aku ingat Dia, meski tidak seintens aku mengingat masalah-masalahku sendiri.

Tuhan. Aku percaya dia ADA. Aku tersenyum membaca prolog di buku “Tuhan Sang Penggoda” – lagi-lagi buku itu – ketika mengingat ada seseorang yang menafikan ke-ADA-an Tuhan. Meski ya, semua orang punya kebebasan untuk berurusan dengan Tuhan, kepercayaan, dan sejenisnya.

Atheis:
“Tuhan itu tidak ada. Bodohlah orang yang mengakui Tuhan ada, sesuatu yangtidak masuk akal, tidak logis, tidak rasional.Tuhan itu angan-angan orang picik, orang kuno, kepercayaan masa lalu. Alam semesta ini hadir sesuai hukumnya sendiri, tak perlu ada Tuhan untuk menciptakannya. Kita lahir, kita hidup, kita mati: hukum alam memang begitu. Kamu tidak akan bisa membuktikan Tuhan itu ada karena Tuhan memang tidak pernah ada. Tidak pernah ada.”

Temannya:
“Tapi kok kamu menyebutnya. Berkali-kali malah…”

(Bagian 3: Mencari Rumah Tuhan. Tuhan Sang Penggoda, M. Arief Budiman)

Meski aku hanya seorang perempuan tanggung 19 tahun. Meski aku belum lama berjilbab dan hanya memakainya saat keluar rumah. Meski puasa Ramadhanku kemarin bolong 9 hari. Meski sholatku terseret-seret. Meski imanku kayak jungkat-jungkit. Meski mataku, lisanku, tanganku, kakiku masih susah sinkron bertaubat. Meski AlQur’anku lebih sering aku anggurkan. Meski sedekahku hanya kadang jika ada receh. Meski aku bukan sholehah yang anggun dan santun. Tapi aku percaya Tuhanku, Allah yang satu. Mengharap kasih sayangNya. Mengharap pertolonganNya.

Tuhan mungkin tidak pernah minta dibawa dalam sebuah tulisan, entah di awal, tengah, atau di akhir – seringnya. Namun, membawaNya pada sebuah tulisan, jika berhasil, akan menyiramkan keteduhan pada tulisan itu sendiri. Ini menurutku – bukan sedang menyanjung tulisanku sendiri lho, memangnya aku siapa?


Purbalingga, 6 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar