Kamis sore menjelang maghrib, saya keluar dari kost hendak beli nasi rames. Kost saya berada di sebuah perumahan penduduk yang bersih dan tenang. Jalan di sini tidak terlalu ramai karena bukan jalan besar. Di depan sana tepat mengarah ke jalan raya, ada sebuah gapura hijau bertuliskan Jalan Rambutan. Seingat saya di Kalikabong sini memang banyak nama jalan yang dinamai dengan nama buah-buahan.
Saya memperhatikan selokan di pinggir jalan, debit airnya tampak sedikit lebih besar dari biasanya, mungkin karena tadi siang baru turun hujan. Air di selokan itu tampak bersih dan mengalir lancar, batu dan permukaan selokan yang tidak rata membuat airnya tampak beriak-riak kecil. Selokan yang cantik. Seketika saya merasa beruntung dari orang manapun di Ibukota yang pasti tidak pernah mendapatkan pemandangan seperti ini di dekat rumahnya.
Kemudian saya melihat seorang ibu, belum terlalu tua, mengayuh sepeda dari arah jalan raya. Sepertinya ia habis membeli sesuatu, tampak dari kantong plastik putih yang dikaitkan pada stang sepedanya. Mungkin karena merasa saya perhatikan, ia pun tersenyum selintas kepada saya. Sepertinya ia warga dekat sini juga. Saya kembali bersyukur, karena yang seperti ini pun pasti akan sulit di temui di Ibukota.
Keluar dari mulut Jalan Rambutan, melewati gapura hijau itu, saya lalu berjalan di sebelah kanan trotoar Jalan Mayjend Soengkono, melawan arah. Saya berpapasan dengan mbak-mbak membawa tas kecil di tangan. Dari seragam biru kotak-kotak kecilnya, mereka adalah pekerja PT Rambut di Purbalingga, tapi entah PT yang mana, ada banyak kan? Mereka berjalan dengan cepat, mungkin karena sudah menjelang maghrib. Kira-kira mereka sampai di rumah jam berapa, ya? Saya dengan pekerjaan saya sekarang yang tidak mengharuskan pergi ke sebuah tempat bernama PT atau kantor, berangkat pagi pulang sore, merasa sangat beruntung.
Di kanan trotoar saya melihat sebuah toko pakaian memajang baju Timnas seukuran anak lima tahun. Saya teringat Panggih, adik saya yang bulan lalu sempat berceloteh, “Ma, ngesuk tuku,” ketika melihat teman mainnya ada yang memakai baju seperti itu. Bukan hal aneh sebenarnya, karena Panggih selalu bilang “Tuku!” pada apapun yang dianggapnya menarik, bahkan pada kucing di televisi. Pun ketika akhirnya mama mengajaknya ke pasar membeli baju, yang dibawa pulang adalah baju bergambar Upin-Ipin. Panggih tetap memakainya dengan senang, sedangkan saya jadi berfikir, apa tidak ada gambar di baju anak-anak yang lebih “made in Indonesia”. Bagaimana anak-anak mau mengenal “jagoan” yang asli Indonesia? Hmm, ngomong-ngomong “jagoan” Indonesia sekarang ini siapa, ya?
Agak jauh kemudian saya melihat mobil menepi di depan penjual martabak mini, seorang ibu berjilbab melongok keluar dari jendela mobil, tampaknya memesan martabak. Apakah kakinya di rantai di dalam mobil sehingga ia tidak bisa keluar dan ber-unggah-ungguh? Saya pun melintasinya dan mobil mewahnya cepat.
Setelah itu di seberang jalan, saya melihat Taman Makam Pahlawan. Kata orang, makam adalah “rumah masa depan” bagi yang melihatnya. Meski mungkin “rumah masa depan” saya bukan di makam pahlawan itu, saya pasti akan “dirumahkan” juga. Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Saya mengalihkan pandangan pada lampu jalan yang mulai menyala. Lampu itu ada banyak sepanjang jalan raya. Dimata imaginatifku, jalan ini menjadi silau dan semakin silau, aku tak bisa melawan dan tertelan cahaya, lalu mendadak gelap. Ah, akan seperti apa “kehidupan” setelah mati? Astaghfirullah…
Hampir dekat dengan warung nasi yang saya tuju, saya melihat di depan sebuah rumah, ada tiga orang baru turun dari sebuah sepeda motor. Saya mendakwa tiga orang itu adalah seorang ayah, ibu, dan anak lima tahunan mereka. Mereka lalu masuk rumah. Saya nanti juga akan menikah, mempunyai suami, anak, dan rumah sendiri. Pergi berjalan-jalan dengan sepeda motor seperti keluarga itu, pikirku. Seketika saya tersenyum sendiri. Semoga tidak ada orang yang melihat dan menganggap saya gila.
Akhirnya saya sampai juga di warung nasi yang saya tuju. Sebuah warung nasi yang bersih, saya suka tempat yang bersih. Dengan mengulurkan uang lima ribu rupiah saya mendapatkan menu yang cukup mengenyangkan dan bergizi, menurut saya. Saya bersyukur, karena bahkan di luar sana banyak yang makan tanpa memikirkan kecukupan gizi, ketepatan porsi dan waktu. Dan lebih bersyukur lagi, karena perjalanan saya ke warung nasi tidak hanya membawa pulang sebungkus nasi yang akan mengisi perut saya ini tapi juga inspirasi untuk menulis. Inilah hasilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar