Warni masuk kamar, melihat beberapa lembar uang tergeletak di meja samping ranjangnya. Sepuluh ribu, Warni tepat menghitung lembar-lembar kusam itu.
“Andi saja jajannya bisa lebih dari tiga ribu sehari. Buat beli beras, janganan? Belum bayar sekolah Rani? Yang agak ngotot kerjanya sih ngapa?” Warni menyemprot Kanto yang duduk bersarung di kursi depan.
Suaminya itu menyaksikan gumpalan-gumpalan asap rokoknya berputar-putar. “Namanya rezeki War, nggak mesti, “ kini ia menyaksikan wajah Warni lebih menyala dari rokoknya.
Adzan maghrib diseru dari corong masjid desa. Warni menghentikan aktifitas mengaitkan rambut-rambut sintetis di pola kepala di depannya. Ia memandang pintu depan, belum ada yang mengetuknya dari tadi, Kanto belum pulang.
“Ma, Andi ke masjid sama bapa, “ Andi kecil merengek. “Andi sholat di samping Mama aja sini, “ Warni menggelar sajadah satu lagi di sampingnya. Rani mengucek rambut adiknya itu. Di luar hujan turun memanggil siapa saja ingin cepat pulang.
“Masya Allah, kenang apa, Pa?” Warni tergopoh membukakan pintu, mendapati telapak tangan kiri Kanto dibungkus sobekan kain putih, noda merah merembes jelas. “Kenang arit, “ Kanto menjawab pucat.
Di meja kamar tidak ada lembaran uang, hanya obat merah dan sobekan kain baru, tapi muka Warni tidak sedang menyala. “Besok nggak usah kerja tebu lagi, ngojek saja seperti biasa kalau sudah baikan. Kebon belakang juga jadi nggak keurus, “ Warni membalut tangan Kanto hati-hati. Ia turut merasakan perihnya, hampir sama dengan perih tidak punya uang yang sering ia rasakan.
(alfyaulia-3/6/11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar