Kamis, 10 November 2011

Hujan Semalaman


Ini lakon hujan semalaman
Atap rumah tak henti berdetak
Kucing tidur nyenyak
Sedang tikus gaduh berkejaran
Aku mencoba mengatupkan mata
Tapi otakku seperti dipenuhi serangga yang menyala

Aku dan hujan terjaga semalaman
Kita seperti teman yang sama tak beruntung
Telah banyak mencurahkan peluh, tapi pelangi tak kunjung datang
“Mungkin kita salah jalan, atau waktu,” sesalku
Mendengar itu hujan makin muram, membumbui petir malam yang gusar
Seperti jerit dari hati terdalam
“Dimana kebahagiaan sebenarnya?”


Kami berkeluh hingga lelah
Menceracau hingga sepi
Di akhir malam hujan pamit pulang
Akan mengumpulkan hasrat jatuh cinta lagi katanya
Setelahnya, pagi turun berkabut
Kucing tetap lelap dan anak-anak menarik selimut
Sedang sebagian mereka tak surut, demi urusan perut

Dan aku?
Aku bukan bagian dari golongan
Seringnya merasa gagal dan terbuang
Jadi kerap insomnia dan sakit kepala
Ingin berteriak tapi merasa lemah berkepanjangan
Semua mengesalkan!

Di puncak nadir tak ada lagi yang bisa diandalkan
Aku, dengan kefakiranku, merengek,
“Duh, Tuhan..”

Sejurus aku memeluk pergelangan tangan
Membenamkan kepala hingga rata
Jadi sujud yang lama

Subuh ini, setelah hujan semalaman
Aku mencoba menyampaikan permohonan:
Tuhan, karuniakan sikap sabar dan tidak berlebihan
Demi kebahagian yang tidak menggusarkan, Tuhan

Malam selanjutnya, hujan datang lagi
Kali ini ia menemaniku mengingat rasa syukur (masih) diberi hidup, semalaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar