Rabu, 26 Desember 2012

Drama Tangan


Rena rindu Rian. Jarak membuat perasaan harus tertahan.

Setahun ini Rena sering berjalan-jalan di taman kotanya. Menekur kenangan. Bulan-bulan dimana mereka masih berpegangan tangan.

“Katanya suhu tangan itu sama dengan suhu jiwa. Tanganmu hangat, pasti hatimu juga akan selalu hangat untukku kan?” rayu Rena menirukan dialog drama Korea. Rian tersenyum manis sekali.

Rena pun masih suka senyum-senyum sendiri mengingat kejadian sebelum Rian pergi ke seberang lautan.

Seperti kali ini, saking khusyuknya senyum-senyum, Rena tak sadar ada seseorang yang memperhatikan. Ia juga tak sadar di depannya ada undakan menurun. Dan wuzzz…


Sebelum Rena benar-benar terjatuh, seseorang tadi sudah menangkap tubuhnya.

“Bayu.” Lelaki itu mantap mengenalkan diri. Ganteng, rapi, dan wangi. Rena memicingkan matanya, mengendus diam-diam. Ia selalu suka cowok wangi. Wangi yang percaya diri, tidak pasaran.

Hari-hari berikutnya Rena dibuat semakin terkesan. Bayu mengajak makan, nonton, beli buku, jogging, naik sepeda hias. Semua hal yang ingin Rena lakukan dengan Rian. Dan hebatnya, Bayu selalu datang tepat waktu dengan Jazz-nya.

Ragu-ragu Rena membandingkan dengan Rian. Suka telatan dengan motor lawasnya. Takut-takut Rena rindu dengan semua itu.

Takutnya Rena karena merasa bersalah. Waktu, hati, gelisahnya jadi tercurah untuk Bayu. Sampai Rian menelepon datar, “Aku sudah tahu. Kalau kamu lebih bahagia, tak apa.”

Bukannya lega, Rena seribu kali lebih takut dan cemas kemudian. Bagaimana keadaannya, bagaimana keluarganya, bagaimana setelah ini. Bagaimana dirinya sendiri, bagaimana Bayu. Ia jadi ingin mengaku saja kepada Bayu.

Mungkin ia memang untuk Bayu. Mungkin yang terbaik memang begitu.

Tapi tidak. Sebelum Rena bicara, Bayu justru membuat pernyataan lebih menyesakkan: ia akan menikah.

Rena berlari tak percaya. Terantuk undakan lagi dan tidak ada yang menangkapnya. Ia menangis, dalam dan teriris.

Ia tak dipilih, setelah percaya akan dipertahankan. Kemana tanggung jawab para laki-laki itu. Satu saja.

Ya, satu saja.

Rena tersihir oleh pikirannya sendiri.

Satu yang masih mungkin. Menggagalkan pernikahan Bayu adalah bisa saja. Tapi memalukan.

Meminta maaf pada Rian juga bisa saja. Tapi sama malunya. Dan bagaimana caranya?

Rena menghadiri pernikahan Bayu dengan campur aduknya perasaan. Bayu lebih dulu menyalami Rena, meminta maaf.

Saat itu juga Rena tahu harus melakukan apa.

“Selamat, Bayu. Aku pergi dulu.”

Rena meluncur ke bandara.

Tangan.. Tangan hangat itu hanya milik Rian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar