Senin, 03 Juni 2013

Penjual Es Tung Tung dan Supir Taksi

Namanya Ario Donovan. Nama yang sebenarnya keren. Tapi teman-temannya lebih suka memanggilnya Dono sambil tertawa mengejek. Dono sendiri selalu membalas dengan tertawa lebar, yang tulus, memamerkan gigi-gigi tonggosnya. Pun ketika orang-orang berulah memanggilnya lebih mengejek, “si bodoh”.

Dono tidak benar-benar bodoh. Hanya perkembangan kecerdasan dan perilakunya yang tidak sempurna. Itu pun tidak sejak Dono lahir. Saat ia berusia 10 tahun, rumahnya kebakaran ketika tengah lelap tertidur. Ibunya berjuang keras membawanya keluar dari kobaran api. Dono selamat, tapi karena menghirup banyak asap, otaknya mengalami kerusakan permanen.  Sedang ibunya mengalami luka bakar dan trauma serius hingga akhirnya meninggal.

Dono kemudian diasuh seorang bibinya yang juga janda seperti ibunya. Bibi Darmi punya seorang anak perempuan berusia 8 tahun, tapi si kecil Anisa tidak pernah menyukai Dono. “Tidak apa-apa, Dono,” kata Bibi Darmi, persis seperti yang sering ibunya katakan ketika masih hidup, membuat Dono tergugu. “Kamu tolong jaga Anisa, ya,” pesan Bibi Darmi kemudian ketika kesehatannya memburuk. Puncaknya, saat Bibi Darmi meninggal karena sakit ketika Anisa berusia 15 tahun, Anisa habis-habisan menyalahkan Dono. Menurutnya, ibunya meninggal karena terlalu lelah mengurus Dono yang bodoh.

Anisa jadi jarang pulang ke rumah. Sementara Dono terus berjualan es limun di depan SMP Anisa, seperti yang ia lakukan sejak bibi Darmi sakit dan Anisa merampas tas sekolahnya. “Tidak apa-apa Dono,” hibur Dono pada dirinya sendiri seperti perkataan bibinya. Lama-lama Anisa tidak hanya jarang pulang, tapi benar-benar tidak pulang ke rumah. Dono malang sering menunggu gadis yang kata bibi Darmi tolong ia anggap seperti adiknya sendiri itu di depan pagar. Pernah sampai ia tertidur hingga pagi dan tidak ada jejak pulang. Dono menyerah dengan rasa bersalah.



Tahun-tahun berlalu dan Dono tetap berjualan es, dengan sedikit kemajuan bahwa kini ia berjualan es tung tung, bukan lagi es limun. Seorang baik hati yang membantunya adalah Jeki. Nama sebenarnya Suheri. Tapi ia lebih suka dipanggil Jeki. Dan ketika dipanggil demikian, ia akan tertawa tipis. Mengangkat alis biar keren.

Jeki seorang supir taksi. Apa yang mendorongnya membantu Dono adalah rasa bersalah di masa lalunya. Banyak orang yang hidup dengan rasa bersalah. Tapi bagi Jeki, kesalahannyalah yang mengawali rasa bersalah-rasa bersalah orang lain. Pada malam rumah Dono kebakaran, ia pamer merokok kepada teman-temannya tepat di belakang rumah kayu itu. Lalu ketika tukang ronda memergoki, mereka lari tunggang langgang. Meninggalkan puntung rokok yang masih menyala, merambat ke semak kering, kayu bakar, dan menghanguskan seisi rumah. Tidak ada yang tahu, tidak ada polisi yang menginterogasi. Warga menganggap itu petaka dari lampu teplok yang disentil angin.

Kebaikan Jeki terhadap Dono memang berputar soal es tung tung. Ketika es tung tung Dono masih tersisa banyak, Jeki sering membeli dan memakannya dengan gila di tepi jalan yang menghadap sebuah lembah. Mereka suka memandang matahari yang beberapa saat seperti tersangkut di pucuk pepohonan lalu tergelincir pulang. Kemudian mereka akan sama-sama memutuskan pulang. Dono benar pulang pada istrinya, Siti, seorang perempuan nrima yang tidak pernah melihat kekurangan Dono. Ia menerima dan mempredikati hidupnya sendiri bahagia tapi banyak mendengarkan gunjingan orang lain. Jeki beberapa kali membuntuti Dono, menyaksikan dari kaca taksinya indahnya kepulangan Dono disambut senyum istrinya. Sementara ia sendiri tidak pernah benar-benar pulang.



Usai mengatakan “ayo pulang” kepada Dono ia sebenarnya melipir ke panti pijat. Tentu saja plus plus karena di dekat lembah dingin begitu. Istri Jeki, Ratna, sudah lama meninggalkannya demi lelaki lain. Mungkin kini ia juga tersasar entah di panti pijat mana karena menurutnya lelaki pelarian mantan istrinya itu juga tidak kaya-kaya amat.

Tidak seperti biasanya, Jeki sedang tidak berselera. Punggungnya tidak pegal dan pikirannya sedang sedikit jernih, jadi baginya tidak ada alasan untuk masuk dan meminta kamar. Ia duduk di bangku depan saja sambil melambung-lambungkan pikirannya.

“Hidup Dono terlihat bahagia. Apa aku ikutan dia saja, ya? Jualan es tung tung, cari istri yang nrima. Punya anak…” Belum habis khayalan Jeki, tiba-tiba ia melihat seorang perempuan diseret keluar oleh seorang lelaki gemuk.

“Kamu mau nyuri dompetku, hah? Dasar pelacur tidak tahu diri! Sudah kubayar masih kurang juga? Wadon alas!”

“Aaampun, Pak. Aku nggak nyuri. Aku…”

Duk! Jeki melihat perempuan itu ditendang wajahnya. Ia membelalak dan bangkit.

“Hei, Pak!” Dan buk buk buk! Jeki menonjoki muka si lelaki gemuk dengan kalap. Baginya menendang wajah perempuan seperti itu sudah keterlaluan. Sepelacur dan sepencuri apapun dia.

“Heh! Jangan ikut campur!” si lelaki gemuk melawan dan akan meninju wajah Jeki. Jeki yang tak siap menangkis dengan telapak tangannya. Tak dinyana, tangannya menghantam batu. Lelaki itu ternyata hendak memukulnya dengan batu tajam. Tangan Jeki berdarah. Sedangkan si lelaki bangkit dengan pongah.

“Awas kalian berdua! Kulaporkan ke polisi!” ancam si lelaki gemuk yang bagi Jeki bau keringatnya seperti kambing. Jeki cuma meringis sinis. “Orang bodoh mau lapor polisi. Bakal celaka sendiri dia nanti.”

Jeki lalu membantu si perempuan yang tersungkur bangun. Sepertinya gadis baru karena ia belum pernah lihat.

Jeki jadi tertarik. Ia bilang pada tante Desi, pemilik panti, agar Santi, gadis baru itu istirahat dulu dan menemaninya saja. Mereka berdua lalu duduk di bangku yang awalnya diduduki Jeki sendirian.

“Mas, tangannya sakit?” Santi meraih tangan Jeki yang penuh noda darah. Ada luka sobek di telapak tangan itu. Santi memaksa membeli perban dan mengobatinya. Setelahnya, si gadis yang bagi bermake-up tidak terlalu menor itu bercerita.

“Saya dulunya pelacur di kota. Capek, lalu pindah kesini. Memang kerjaannya tidak jauh beda. Tapi saya pengennya lebih tenang. Apesnya, saya tadi itu penasaran sama dompet lelaki gemuk bau itu. Ada banyak sekali kartu kreditnya. Beda-beda namanya. Eh, saya dituduh mau nyuri terus diseret keluar. Huuh..”

Jeki hanya mesem. Dan terus mesem sampai ia rebahan di kamar kontrakannya. “Gadis itu manis,” pikirnya berbunga. Ia tidak tahu si lelaki gemuk dendam padanya. “Matikan saja dia! Ingat, tangan kanannya luka.”

Pagi kembali datang dan berjalan normal bagi Dono. Sampai ia merasa ada yang aneh dengan sepedanya ketika akan berangkat. Ia putar bannya tapi naas, tanganya terjepit ruji. Jari-jari besi itu seperti memakan tangannya, membuatnya berdarah-darah. Istrinya datang tergopoh-gopoh, lalu memasangkan perban dari sobekan dasternya dengan penuh cemas. Dono tetap memaksa berangkat. “Aku ba-baik-baik saja. Hehehe…” katanya sambil tertawa lebar.

Jeki yang sampai sore tidak kehabisan bunga-bunga di hatinya semangat memborong es tung tung Dono. Ia memakannya lebih gila dari biasanya. Dono tertawa lebar melihatnya.

“Eh, tanganmu kenapa, Don?” tanya Jeki menyadari tangan sahabatnya itu juga diperban seperti dirinya.

“Ah, tidak a-apa-apa. Aku baik-baik saja. He-hehe…” jawab Dono terpatah-patah. Cara bicaranya memang selalu tersendat begitu.

“Lihat, aku juga diperban. Haha..”

“Ka-kamu kenapa, Jeki?”

“Ah, tidak a-apa-apa. Aku baik-baik saja. He-hehe..” Jeki menirukan gaya Dono. Keduanya tertawa lebar, meski Dono sempat tertinggal beberapa detik karena butuh berfikir dulu.

Menghabiskan 3 contong es tung tung membuat Jeki ingin kencing. Ia pun segera berlari ke semak-semak, sedikit menurun ke lembah.

“Don, kalau panas coba masuk ke taksi saja. Di dalam dingin,” pesan Jeki seperti biasanya ketika  ia harus meninggalkannya buang air.

Biasanya Dono tidak pernah menuruti, takut mengotori taksi Jeki. Tapi kali ini melihat Jeki sedang senang, ia beranikan diri. Toh, sudah lama ia penasaran dengan taksi Jeki.

Dono pun masuk dan mengagumi setir serta dashboard taksi kuning itu. Namun, tiba-tiba dua orang lelaki besar merangsek dan menyeretnya keluar. Tanpa ba bi bu, mereka menendang, memukuli Dono, bahkan menginjak telapak tangan Dono yang diperban hingga berbunyi “krek”. Dono yang tidak tahu apa-apa terkapar. Sedang Jeki yang 10 menit kemudian menemukannya amat panik dan pontang-panting membawa Dono ke rumah sakit.

"Don, Dono.. Bertahan, Don..."

Namun, karena luka-luka dan patah tulang yang parah, Dono tiada. Istrinya menangis pilu. Tidak meraung, tapi air matanya terus menetes deras, deras sekali. Sedangkan Jeki, rasa bersalahnya besar dan semakin besar. Hatinya serasa ikut terkubur sedih saat Dono dimakamkan. Pun ketika Santi datang dan memegangi lengannya dengan berguncang-guncang.

“Dono.. Dono itu kakak sepupuku. Kakak yang menganggapku adik, meski aku jahat. Sekarang, sekarang kenapa aku harus menemukannya sudah begini?” isak Santi yang ternyata adalah Anisa.

Sepeninggal Dono, Anisa alias Santi memutuskan tinggal dengan Siti. Perempuan itu yang sebenarnya lebih dulu menawari Anisa untuk tinggal bersamanya setelah mengetahui bahwa ia adalah adik sepupu Dono. Dari Siti, Anisa kemudian banyak belajar tentang hidup. Menjadi perempuan sesungguhnya yang dihargai.

Sementara Jeki berusaha bangkit dari rasa bersalahnya. Ia tidak lagi menyupir taksi, melainkan mengambil alih sepeda dan kerja almarhum Dono sebagai penjual es tung tung. Ia berikan tabungannya kepada Siti untuk membuka warung. Ia tidak lagi suka mengunjungi panti pijat, melainkan sesekali membawakan Anisa lumpia kesukaannya. Ia berjanji akan menikahi Anisa dalam waktu dekat dan menganggap Siti sebagai mbekayu yang harus ia jaga sepeninggal Dono. Dono akan tetap hidup dalam hatinya, sebagai sahabat yang mengajarkan “tidak apa-apa” sepahit apapun hidup.

2 komentar:

  1. ceritanya mirip Babo yg Korea ya mba?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Miracle of Giving Fool ya? memang terinspirasi dari film itu juga. :)

      Hapus