Tak biasanya ya, aku mengawali catatanku dengan salam? Bukan
karena aku mau pidato lho. Dan bukan tanpa alasan pula. Hari ini aku belajar
banyak, termasuk nikmatnya saling mengucapkan salam sesama muslim.
Minggu pagi ini, sudah kuniatkan mendatangi pengajian di
Masjid Agung Darussalam Purbalingga. Aku berangkat sendiri, hanya diantar bapak
sampai pangkalan angkot di Gembrungan. Dua orang teman yang kuajak mengatakan
tidak bisa. Ah, tak apa. Toh, aku biasa pergi kemana-mana sendiri. Apalagi
niatnya baik, mengaji, insyaallah aman dan bertemu sesama jamaah di sana.
Sampai di Purbalingga, aku sempat berdiri beberapa saat di
alun-alun, membaca koran dinding yang baru diganti, juga mengamati beberapa
orang yang duduk-duduk dan berjalan di lingkaran batu refleksi di bawah pohon
beringin. Setelah kulihat beberapa orang memasuki masjid, kuputuskan
menyeberang dan masuk lewat jalan samping kanan masjid.
Sampai di pelataran samping, aku langsung masuk tempat
wudhu. Niatnya ingin tahyatul masjid
sekaligus dhuha mumpung masih pagi, baru
jam 9 kurang. Tapi ketika kulongok ke dalam, masjid sepertinya masih
dibersihkan dan masih sepi juga. Aku pun duduk di teras dekat pintu kanan
masjid. Disitu ada beberapa ibu juga sedang duduk, lalu datang beberapa ibu
lagi dan saling bersalaman, termasuk aku. Ini dia suasana pengajian.
“Saking pundi, Mba? Piyambekan?” seorang nenek menanyaiku. “Nggih piyambekan. Kula saking Kejobong.”
Dan si nenek berkacamata dengan bingkai keemasan itu mulai
mengajakku bicara, “Insyaallah kabeh wong
sing nang kene mlebu surga ya, Mba.”
“Nggih. Amiin,”
kataku sambil tersenyum.
Kemudian, serombongan ibu-ibu datang lagi. Saling
bersalaman. Lalu mereka, termasuk si nenek tadi mengambil sandal masing-masing,
membungkusknya dengan kresek yang
mereka bawa dan memasukkannya ke tas. Aku bengong tapi langsung menangkap
maksud mereka. Ya, biar sandalnya nggak hilang!
Dan segera otakku berputar. Aku bergegas ke warung untuk
membeli plastik. Ingat aku tidak bawa
minum, jadi sekalian beli minuman botol juga.
Saat kembali ke masjid, aku langsung naik ke lantas atas.
Dan disana, aku lihat si nenek sudah duduk di lantai, kuhampiri dan tersenyum.
“Adem ya, Mba. Ora
dikarpeti sih,” keluh si nenek. Aku hanya ber-nggih. Kulihat si nenek
mengeluarkan kresek kecil yang untuk
membungkus sandalnya tadi. Lalu ia pakai kresek
itu untuk menutupi kakinya. Aku terenyuh.
“Mbah, ngangge niki
mawon,” kuangsurkan bawahan mukena yang kuambil dari tasku. Awalnya si
nenek tampak sungkan, tapi lalu ia menerimanya dengan senang hati. Bahkan ia
meminta izin untuk memakainya agar menutupi seluruh kakinya. Ada perasaan
senang tersendiri melihatnya.
Si nenek yang memperkenalkan diri sebagai Mbah Masrohi dari
Penambongan itupun mulai bercerita, menasehati, dan mengomentari banyak hal. Ia
bercerita bahwa ia sebenarnya sudah sering ikut pengajian di Masjid Agung, tapi
biasanya pagi, jadi kali ini ia tidak membawa mukena. Ia juga bercerita ia tahu
pengajian ini dari radio, “Teng ngumah,
kula sering ngrungokaken radio, isine ceramah karo wong ngaji qur’an.”
“Kabeh wong sing nang
kene ya islam, mbuh kuwe Muhammadiyah apa NU. Insyaallah kabeh mlebu surga,”komentar
Mbah Masrohi ketika melihat beberapa wanita berjilbab lebar dan bercadar
datang. “Nggih,” kuamini lagi ucapan
Simbah.
Itu ketika pengajian belum dimulai, saat sudah dimulai pun, Mbah
Masrohi beberapa kali menepukku dan mengajak bicara. Suaranya yang lirik dan
serak khas orang tua kalah oleh suara penceramah yang bahkan tidak terlihat
dari lantai atas itu. Aku tetap berusaha memberikan perhatian, mengangguk,
tersenyum, dan..”nggih”.
Ngomong-ngomong soal isi ceramah, Kyai yang dari Jawa Timur
itu mengambil tema Sikap Rakyat Kepada Pemerintah. Intinya kita harus ber-husnudzon kepada Pemerintah selama
sikapnya tidak kelewat dholim kepada
rakyat. Dan jadilah masyarakat yang berakhlak baik dimulai dari keluarga. Itu
yang kutangkap.
Balik ke Simbah, satu yang kuingat betul, Mbah Nasrohi juga
mengajariku doa meringankan sakit. “Nurlillahi,
nurrosul, nurhidayati, nurfatahi, nur ngurangi penyakit,” lafalnya. Doa itu
dibaca setiap selesai sholat subuh dan maghrib lalu diteruskan Al Fatihah 100
kali, kemudian ditiupkan ke tangan dan dibalurkan ke seluruh tubuh, pesan
Simbah. Melihat fisik Mbah Masrohi yang masih sehat di usia senjanya, tampaknya
doa itu bisa diamalkan. Insyaallah.
Beberapa kali kulihat Simbah terkantuk lalu terjaga lagi, membenarkan
kerudungnya yang miring dan mengajak bicara seorang ibu di samping kirinya.
Sementara di samping kananku, kulirik seorang nenek yang terlihat lebih senja
dari Mbah Masrohi juga tengah terkantuk beralaskan jarit. Subhanallah. Jadi inget
umur sendiri. Hehe. Semoga sisa umur ini bisa lebih bermanfaat. :)
Pukul 11:15 WIB pengajian sesi pertama itu diakhiri untuk
istirahat dan sholat dzuhur. Lalu akan dilanjutkan sesi kedua hingga pukul
14:00 begitu jadwal yang disiarkan. Saat aku akan beranjak, Mbah Masrohi pun
melepas bawahan mukenaku dan mengucapkan terima kasih sambil bangkit
pelan-pelan.
Kupikir ia akan turun dengan ibu-ibu rombongannya, tapi kulihat
Simbah berjalan sendiri diantara jamaah lain yang berdesakan. Aku jadi tak
tega. Aku pun menunggunya di pinggir tangga. Kuperhatikan Simbah tampak senang,
lalu ia memegangi tanganku dan perlahan menuruni tangga. Rasanya seperti cucu
yang menemukan nenek baru. Hehe.
“Mba, maem disit yuh.
Tek nyrotokna,” ajak Mbah Masrohi di luar masjid. Aku jadi agak canggung
sendiri. “Nggih, matur nuwun, Mbah. Tapi
lagi rame sanget, sekedap malih nggih dzuhur. Wudhu rumiyin mawon, Mbah,”
tolakku halus. Simbah menurut dan kutemani ia wudhu. Cukup lama karena antri
dan kran air tidak lancar. Belajar sabar. Hehe.
Kemudian, kami sholat dzuhur berjamaah meski ketinggalan
satu rakaat. Selesai sholat, kulihat Simbah masih tekun berdoa. Subhanallah,
betapa sering aku terburu-buru ketika selesai sholat.
Setelah Simbah mengakhiri doa dan sujudnya, kupamiti ia yang
kudakwa pasti begitu penyayang kepada cucu-cucunya. “Mba, dolan maring umahe mbah mayuh, mengko tek mbecakna,” ajaknya.
Kukatakan aku masih ada perlu dan semoga kapan-kapan bisa ketemu lagi serta
mengunjungi rumahnya. Simbah tersenyum, menepuk pundakku lalu kusalami
tangannya.
“Assalamu ‘alaikum.” Ketika aku akan berdiri, Simbah
mengucapkan salam. Subhanallah, aku yang pamit malah aku yang disalami. “Wa
‘alaikum salam,” jawabku gugup.
Aku lalu menuju posko Kelas Menulis. Mungkin jalanku biasa,
tapi hatiku rasanya berjingkrak-jingkrak bungah saat itu. Sungguh pengalaman
yang memperkaya hati.
Nah, karena tulisan ini juga diawali salam, jadi mau kututup
dengan salam juga – sekali lagi bukan karena ini pidato. Hehe.
Wassalamu ‘alaikum warrahmatullahi wabarokatu.
Subhanallah.. Mbah Masrohi Penambongan ya.. nice. :D
BalasHapusBelajar kapanpun, apapun, dimanapun...
BalasHapus“Insyaallah kabeh wong sing nang kene mlebu surga ya, Mba.” Amin
@mas afit: kenal po mas? :D
BalasHapus@mas sukadi: amiin. :)