Senin, 24 Oktober 2011

Cerita Simbah

Assalamu ‘alaikum warrohmatullahi wabarrokatu.

Tak biasanya ya, aku mengawali catatanku dengan salam? Bukan karena aku mau pidato lho. Dan bukan tanpa alasan pula. Hari ini aku belajar banyak, termasuk nikmatnya saling mengucapkan salam sesama muslim.

Minggu pagi ini, sudah kuniatkan mendatangi pengajian di Masjid Agung Darussalam Purbalingga. Aku berangkat sendiri, hanya diantar bapak sampai pangkalan angkot di Gembrungan. Dua orang teman yang kuajak mengatakan tidak bisa. Ah, tak apa. Toh, aku biasa pergi kemana-mana sendiri. Apalagi niatnya baik, mengaji, insyaallah aman dan bertemu sesama jamaah di sana.

Sampai di Purbalingga, aku sempat berdiri beberapa saat di alun-alun, membaca koran dinding yang baru diganti, juga mengamati beberapa orang yang duduk-duduk dan berjalan di lingkaran batu refleksi di bawah pohon beringin. Setelah kulihat beberapa orang memasuki masjid, kuputuskan menyeberang dan masuk lewat jalan samping kanan masjid.




Sampai di pelataran samping, aku langsung masuk tempat wudhu. Niatnya ingin tahyatul masjid sekaligus dhuha mumpung masih pagi, baru jam 9 kurang. Tapi ketika kulongok ke dalam, masjid sepertinya masih dibersihkan dan masih sepi juga. Aku pun duduk di teras dekat pintu kanan masjid. Disitu ada beberapa ibu juga sedang duduk, lalu datang beberapa ibu lagi dan saling bersalaman, termasuk aku. Ini dia suasana pengajian.

Saking pundi, Mba? Piyambekan?” seorang nenek menanyaiku. “Nggih piyambekan. Kula saking Kejobong.”

Dan si nenek berkacamata dengan bingkai keemasan itu mulai mengajakku bicara, “Insyaallah kabeh wong sing nang kene mlebu surga ya, Mba.

Nggih. Amiin,” kataku sambil tersenyum.

Kemudian, serombongan ibu-ibu datang lagi. Saling bersalaman. Lalu mereka, termasuk si nenek tadi mengambil sandal masing-masing, membungkusknya dengan kresek yang mereka bawa dan memasukkannya ke tas. Aku bengong tapi langsung menangkap maksud mereka. Ya, biar sandalnya nggak hilang!

Dan segera otakku berputar. Aku bergegas ke warung untuk membeli plastik. Ingat aku  tidak bawa minum, jadi sekalian beli minuman botol juga.

Saat kembali ke masjid, aku langsung naik ke lantas atas. Dan disana, aku lihat si nenek sudah duduk di lantai, kuhampiri dan tersenyum.

Adem ya, Mba. Ora dikarpeti sih,” keluh si nenek. Aku hanya ber-nggih. Kulihat si nenek mengeluarkan kresek kecil yang untuk membungkus sandalnya tadi. Lalu ia pakai kresek itu untuk menutupi kakinya. Aku terenyuh.

Mbah, ngangge niki mawon,” kuangsurkan bawahan mukena yang kuambil dari tasku. Awalnya si nenek tampak sungkan, tapi lalu ia menerimanya dengan senang hati. Bahkan ia meminta izin untuk memakainya agar menutupi seluruh kakinya. Ada perasaan senang tersendiri melihatnya.

Si nenek yang memperkenalkan diri sebagai Mbah Masrohi dari Penambongan itupun mulai bercerita, menasehati, dan mengomentari banyak hal. Ia bercerita bahwa ia sebenarnya sudah sering ikut pengajian di Masjid Agung, tapi biasanya pagi, jadi kali ini ia tidak membawa mukena. Ia juga bercerita ia tahu pengajian ini dari radio, “Teng ngumah, kula sering ngrungokaken radio, isine ceramah karo wong ngaji qur’an.

Kabeh wong sing nang kene ya islam, mbuh kuwe Muhammadiyah apa NU. Insyaallah kabeh mlebu surga,”komentar Mbah Masrohi ketika melihat beberapa wanita berjilbab lebar dan bercadar datang. “Nggih,” kuamini lagi ucapan Simbah.

Itu ketika pengajian belum dimulai, saat sudah dimulai pun, Mbah Masrohi beberapa kali menepukku dan mengajak bicara. Suaranya yang lirik dan serak khas orang tua kalah oleh suara penceramah yang bahkan tidak terlihat dari lantai atas itu. Aku tetap berusaha memberikan perhatian, mengangguk, tersenyum, dan..”nggih”.

Ngomong-ngomong soal isi ceramah, Kyai yang dari Jawa Timur itu mengambil tema Sikap Rakyat Kepada Pemerintah. Intinya kita harus ber-husnudzon kepada Pemerintah selama sikapnya tidak kelewat dholim kepada rakyat. Dan jadilah masyarakat yang berakhlak baik dimulai dari keluarga. Itu yang kutangkap.

Balik ke Simbah, satu yang kuingat betul, Mbah Nasrohi juga mengajariku doa meringankan sakit. “Nurlillahi, nurrosul, nurhidayati, nurfatahi, nur ngurangi penyakit,” lafalnya. Doa itu dibaca setiap selesai sholat subuh dan maghrib lalu diteruskan Al Fatihah 100 kali, kemudian ditiupkan ke tangan dan dibalurkan ke seluruh tubuh, pesan Simbah. Melihat fisik Mbah Masrohi yang masih sehat di usia senjanya, tampaknya doa itu bisa diamalkan. Insyaallah.

Beberapa kali kulihat Simbah terkantuk lalu terjaga lagi, membenarkan kerudungnya yang miring dan mengajak bicara seorang ibu di samping kirinya. Sementara di samping kananku, kulirik seorang nenek yang terlihat lebih senja dari Mbah Masrohi juga tengah terkantuk beralaskan jarit. Subhanallah. Jadi inget umur sendiri. Hehe. Semoga sisa umur ini bisa lebih bermanfaat. :)

Pukul 11:15 WIB pengajian sesi pertama itu diakhiri untuk istirahat dan sholat dzuhur. Lalu akan dilanjutkan sesi kedua hingga pukul 14:00 begitu jadwal yang disiarkan. Saat aku akan beranjak, Mbah Masrohi pun melepas bawahan mukenaku dan mengucapkan terima kasih sambil bangkit pelan-pelan.

Kupikir ia akan turun dengan ibu-ibu rombongannya, tapi kulihat Simbah berjalan sendiri diantara jamaah lain yang berdesakan. Aku jadi tak tega. Aku pun menunggunya di pinggir tangga. Kuperhatikan Simbah tampak senang, lalu ia memegangi tanganku dan perlahan menuruni tangga. Rasanya seperti cucu yang menemukan nenek baru. Hehe.

Mba, maem disit yuh. Tek nyrotokna,” ajak Mbah Masrohi di luar masjid. Aku jadi agak canggung sendiri. “Nggih, matur nuwun, Mbah. Tapi lagi rame sanget, sekedap malih nggih dzuhur. Wudhu rumiyin mawon, Mbah,” tolakku halus. Simbah menurut dan kutemani ia wudhu. Cukup lama karena antri dan kran air tidak lancar. Belajar sabar. Hehe.

Kemudian, kami sholat dzuhur berjamaah meski ketinggalan satu rakaat. Selesai sholat, kulihat Simbah masih tekun berdoa. Subhanallah, betapa sering aku terburu-buru ketika selesai sholat.

Setelah Simbah mengakhiri doa dan sujudnya, kupamiti ia yang kudakwa pasti begitu penyayang kepada cucu-cucunya. “Mba, dolan maring umahe mbah mayuh, mengko tek mbecakna,” ajaknya. Kukatakan aku masih ada perlu dan semoga kapan-kapan bisa ketemu lagi serta mengunjungi rumahnya. Simbah tersenyum, menepuk pundakku lalu kusalami tangannya.

“Assalamu ‘alaikum.” Ketika aku akan berdiri, Simbah mengucapkan salam. Subhanallah, aku yang pamit malah aku yang disalami. “Wa ‘alaikum salam,” jawabku gugup.

Aku lalu menuju posko Kelas Menulis. Mungkin jalanku biasa, tapi hatiku rasanya berjingkrak-jingkrak bungah saat itu. Sungguh pengalaman yang memperkaya hati.

Nah, karena tulisan ini juga diawali salam, jadi mau kututup dengan salam juga – sekali lagi bukan karena ini pidato. Hehe.

Wassalamu ‘alaikum warrahmatullahi wabarokatu.

3 komentar:

  1. Subhanallah.. Mbah Masrohi Penambongan ya.. nice. :D

    BalasHapus
  2. Belajar kapanpun, apapun, dimanapun...

    “Insyaallah kabeh wong sing nang kene mlebu surga ya, Mba.” Amin

    BalasHapus
  3. @mas afit: kenal po mas? :D
    @mas sukadi: amiin. :)

    BalasHapus