Sabtu, 14 Januari 2012

Dalam

Irfan memasuki ruang dingin itu. “Gila! Ruang tunggu buat orang sakit harusnya nggak sedingin ini,” rutuknya sambil memasukkan tangannya ke saku jaket.

Dari tempatnya duduk, Irfan mengitarkan pandang. Rumah sakit masih lengang, dokter saja belum datang. “Huh!”

Namun, Irfan menangkap mata seseorang yang dikenalnya, baru masuk. Ia tercekat.



“Fani,” Irfan memberanikan memanggil gadis bermata indah itu. Gantian yang dipanggil tercekat.

Fani duduk di kanan Irfan, longkap satu bangku. Irfan merasa jelas ia membuat batas dengannya. Sama seperti saat ia meminta rehat darinya, lalu putus.

“Bagaimana kabarmu, Fan?” tanya Irfan bodoh. “Baik,” jawab Fani bohong. Bagaimana mungkin orang yang datang ke rumah sakit dalam keadaan baik, terlebih harus bertemu mantannya seperti itu.

Irfan baru sadar kemudian. Sama sepertinya, Fani juga pasti punya keluhan dengan organ dalamnya. Dan selanjutnya, suasana di ruang tunggu Poli Dalam rumah sakit itu lebih banyak mereka isi dengan diam.

Mereka sama sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Juga saling tebak.

Setelah sejam menunggu, Irfan masuk ruang pemeriksaan duluan. Saat keluar, ia tidak menemukan Fani lagi, padahal di ruang pemeriksaan tadi muncul ide untuk menanyakan sesuatu.

Beberapa menit kemudian, Fani kembali dari toilet. Di toilet ia juga menemukan ide untuk menanyakan sesuatu. Tapi ia tidak segera melihat Irfan keluar dari ruang pemeriksaan atau duduk di bangkunya.

Mereka sama menyesal. Sama gagal untuk sekedar menanyakan “kamu sakit, apa?”.

Hanya ruang Poli Dalam itu yang tahu, mereka masih mempunyai perasaan yang sama dalam.

2 komentar:

  1. Ndesooo.. di desa ndak pernah ketemu AC ya mas? AC ya dingin, kalo mau panas cium kompor saja sekalian. *orang lewat sewot*

    BalasHapus