Mukena baru berenda birunya ia
pakai. “Duh, kok kendor sih,” keluh Ayu dengan mukenanya.
Ia pasang bros berkilap-kilap di
bawah dagunya untuk mengencangkan mukena itu. ‘Sempurna,” gumam Ayu.
Tak disangka meski belum adzan Isya, masjid sudah ramai. Maklum, tarawih pertama, semangat jamaah masih full.
Tak disangka meski belum adzan Isya, masjid sudah ramai. Maklum, tarawih pertama, semangat jamaah masih full.
Ayu mengambil tempat di tengah,
tepat di bawah kipas angin. Biar tetap cling, pikirnya.
Dan lagi ia ingin dilihat Bu
Darmi, calon mertuanya. Ups, maksudnya ibu dari Yahya, lelaki yang ia taksir.
Saat bersalaman seusai sholat, Ayu
terus tersenyum. Memamerkan bibirnya, cincin di jarinya, wangi parfumnya. Apa
saja.
Ayu juga tidak mau ketinggalan
Subuh berjamaah. Meski dingin mencekik tulang, Ayu tetap berangkat, tetap
bersolek.
Tak terasa Ramadhan sudah separuh
jalan. Ayu masih tetap rajin tarawih, berjamaah Subuh, tadarus.
Masih suka berdandan sampai
kadang lupa berwudhu. Semua Ayu lakukan untuk menarik simpati.
Bukan simpati Allah, tapi
manusia. “Cah ayu, sholelah temen?”
puji Bu Darmi subuh tadi.
Ayu berbunga bukan main, bukankah
nama lengkapnya Ayu Sholehati. Pas sekali, pikirnya.
Namun, di puasa ke-16 Ayu roboh.
Perutnya perih melilit, tubuhnya demam.
Ayu absen tarawih, jamaah Subuh,
dan tadarus. Dalam hati ia kesal setengah mati.
Namun, tiba-tiba terbit satu pikiran
di benaknya. “Aku kan terkenal rajin, kalau aku nggak berangkat ke masjid,
orang-orang pasti bertanya-tanya. Terus pada njenguk kesini, deh. Hihi…”
Ayu pun ingin membuktikan
pikirannya sendiri itu. Malam selanjutnya, meski perutnya sudah terasa lebih
baik, Ayu tidak berangkat tarawih lagi.
Ayu kira dengan begitu Bu Darmi
dan jamaah lain akan menjenguknya. Tapi tidak.
Ayu kecewa, tapi ia bertahan
sampai malam ke empat. Dan tetap tidak ada yang datang.
‘Yu, kamu mbok sudah sembuh? Kok nggak berangkat tarawih?” hanya ibunya
sendiri yang menanyakan.
Ayu terpekur di kamarnya,
mengingat-ingat tingkah-polahnya. Pelan ia menyadari tingkahnya selama ini
salah.
Ia giat beribadah untuk dilihat
orang. Ia bahkan bersolek di masjid, tempat dimana ia seharusnya datang
sebersih dan seikhlas hati untuk Allah semata.
Ia bukan selebritis. Ia Ayu,
gadis biasa yang saat sakit tetap butuh pertolongan dari Allah, bukan jamaah
masjid.
Malam ke-20 Ramadhan Ayu
berangkat tarawih lagi. Ia tekun berwudhu dan melupakan dandan.
Ayu tetap tersenyum kepada Bu
Darmi dan jamaah lain. Kali ini lebih ikhlas.
Ia ingin sisa Ramadhannya yang
lebih cantik di mata Allah, bukan dirinya. Ayu juga bersyukur Allah mau membuka
mata hatinya.
---------------------------------------------------
#Ini FF yang aku baca kemarin di
Tausiyah Menulis – Bulan Seribu Tulisan. Acara sederhananya Kelas Menulis buat
sharing, silaturrahmi, dan buka bersama bareng. Lengkapnya ada disini.
Btw, berbunga banget deh rasanya
difavoritkan sama seseorang yang kita rasa dia tuh lebih qualified daripada kita. Makasih, Mbak Engky. Hehe..
Menulis memang menyehatkan, bikin
lebih bahagia, dan tambah eksis. Tulisan kadang membuat kita terkenal lebih
dulu sebelum bertemu. Dan saat bertemu, silahkan menikmati pujian, kritik,
maupun saran untuk semangat menulis yang lebih menyala.
Writing and sharing is amazing!
:))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar