Bu Lik Tarni dan Bu Lik Yani bilang sangat
penasaran dengan anak Desi. Desi cantik katanya, sedangkan Mas Rahmat,
suaminya, ganteng-tinggi-tegap, pasti anaknya nanti mirip bintang cilik. Rini mangkel
dalam hati, “Bintang cilik siapa? Adul?”
Namun, Rini sendiri tak luput juga membandingkan
Mas Arif, suaminya dengan Mas Rahmat. Ragu-ragu ia mengakui Mas Rahmat memang
terlihat lebih tegap. Rini menghibur hati bahwa bagaimanapun suami sendiri
lebih enak dilihat, begitu pula nanti anaknya, pasti lebih cakep untuknya dari
anak siapapun.
Baru saja Rini menenangkan diri, dua Bu Lik-nya
sudah heboh lagi. Mereka mengagumi kamar serba biru yang katanya Desi siapkan
khusus untuk bayinya. Rini ikut melongok dan ragu-ragu dalam hati mengakui
kagum juga.
Sebenarnya ia yang lebih dulu punya ide
menyiapkan kamar khusus untuk bayinya. Lalu Desi mengetahui ide itu saat
berkunjung ke rumahnya. Jadilah, Desi yang ikut-ikutan dan pol-polan menyiapkan kamar bayi.
Rini mangkel 100 kali lipat. Desi, sepupunya
itu dari jaman masih TK memang suka sekali mengikuti apapun yang dia lakukan.
Mulai dari dulu beli mainan sampai sekarang hamil juga rasa-rasanya Desi full meniru. Sering kali Rini menghibur
diri bahwa yang nggak keren adalah yang hanya ikut-ikutan. Nyatanya ia sebal
juga, terlebih jika yang ditiru Desi lebih bagus dari punyanya.
“Mas, ayo desain ulang kamar buat bayi kita.
Bikin jadi lebih bagus, Mas. Demi anak pertama kita, Maass…” Akhirnya Rini
merengek pada Mas Arif saat sudah di rumah. Mas Arif menanggapi santai, “Mau
yang seperti apa?”
“Seperti punya Desi!” jawab Rini mantap. Mas
Arif memandang wajah serius istrinya tercintanya itu lalu tertawa. “Kamu kok
malah jadi kayak Desi? Haha..”
Lelaki penyabar itu mengingat bagaimana kelakuan
Rini dan Desi, dua teman main kecilnya dulu itu. “Dulu Desi yang selalu merajuk
‘Seperti punya Rini!’ kalau kamu punya mainan, sekarang kenapa kamu yang jadi ngebet banget, Sayang? Biasanya juga
santai-santai saja.”
“Tapi sekarang beda, Mas! Dulu kan...”
“Ssstt, jangan keras-keras. Nanti si baby dengar lho,” alih Mas Arif sambil
memeluk perut istrinya.
“Ah, Mass..,” Rini sebal.
“Sayang, dulu dan sekarang memang beda. Dulu
kamu masih kecil, sekarang udah mau punya anak kecil. Ya ndak baik tho, kalau
‘beda’nya itu malah kamu kehilangan sifat dewasamu. Sifat yang bikin Mas jatuh
cintaaa sama kamu.” Mas Arif mengecup kening Rini.
“Ah, Mass..” sekarang Rini yang memeluk perut
suaminya manja dan membenarkan ucapannya itu. “Eh Mas, tapi boleh ya, kalau
kamar bayi kita dibuat serba biru juga? Baguss..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar