Senin, 13 Mei 2013

Matahari

Pertama kali datang ke kota ini aku mengagumi mataharinya. Matahari yang sama dengan yang terlihat di kotaku memang, tapi disini serasa lebih besar dan terik. Ya, Samarinda memang lebih dekat dengan khatulistiwa daripada Purbalingga. Dan baiknya, aku merasa lebih jauh dengan masa laluku di Kota Perwira. Masa lalu yang ingin kutinggalkan.

Adalah Harti, biar kali ini saja kusebut namanya lagi. Ia seorang buruh pabrik rambut palsu yang selingkuh di belakangku, dan ketika kucecar ia dengan lantang mengiyakan. Sakitnya ia mengagungkan selingkuhannya itu lebih baik dariku. Mau menjemputnya setiap sore dan bahkan menunggui ketika ia harus lembur. Sementara aku katanya, cuma bakul bakso yang otaknya seperti gerobak. Macet kalau tidak diopyak-opyak.

Dua minggu usai putus aku mengonggokkan gerobakku begitu saja. Bukan, bukan tidak terima dikatai otak gerobak, tapi justru aku yang kasihan dengan gerobak baksoku itu, dijadikan bahan makian karena kebodohanku. Sudah saatnya aku memecut diri. Maka ketika ada lowongan kerja pertambangan di Kalimantan, aku segera mengirimkan lamaran. Kuandalkan ijazah SMK-ku 3 tahun lalu.

Dua minggu selanjutnya aku diterima dan kuteguh-teguhkan langkah menyeberang lautan. Aku bilang pada mboke supaya aku didoakan saja, tidak perlu dicemas-cemaskan. 1,5 bulan aku menjalani penggemblengan dan pada bulan berikutnya sudah menerima gaji yang lumayan. Kerjaku sebagai operator bulldozer. Dengan alat berat itu aku mendorong, menghancurkan, dan meremukkan batuan yang keras hingga didapat batu bara yang siap angkut. Terik matahari adalah sahabatku. Ya, terik yang lebih menguatkan daripada terik saat mendorong gerobak bakso sambil memikirkan kekasihku dulu.

Setelah 3 bulan bekerja aku mendapatkan cuti seminggu. Cuti ini bisa saja aku gunakan untuk pulang ke kampung kelahiran, tapi toh uang untuk mboke sudah aku weselkan. Dan pulang mungkin hanya akan mengingatkanku akan kenangan terhina. Maka aku berjalan-jalan menyusuri Samarinda dengan motor yang baru kukredit sebulan ini. Dari pusat kota dan menyeberang jembatan Mahakam, kuarahkan motorku ke arah barat.

Di sisi kiri jalan beberapa kali kutemui ekskavator. Sepertinya untuk mengangkat tanah atau batuan juga. Aku jadi teringat keponakanku yang punya mainan berbentuk seperti ekskavator ini. Ia pasti akan takjub melihat yang asli seperti ini. Lalu ketakjubannya mungkin juga akan berlanjut ke sisi kanan jalan. Di sisi kanan yang bertepian langsung dengan sungai Mahakam, banyak kapal-kapal cukup besar bersandar. Ada yang terlihat begitu tua, ada pula yang seperti sedang dipugar. Banyak dari kapal-kapal itu yang digunakan untuk mengangkut batubara sampai ke muara sungai lalu dibawa sampai ke Jepang. Ya, kerukan kekayaan bumi Indonesia masih harus dilarikan ke negeri orang untuk menjadi bernilai guna. Haha.. mungkin ini adalah kesadaran yang aneh dari seorang yang juga terlibat dalam hal konyol tersebut. Aku menertawainya sementara aku juga butuh uangnya, butuh pengalihan dari rasa tak berdayaku.

Aku lalu membandingkan kekonyolan di kota ini dengan di Purbalingga. Sementara yang dikeruk disini adalah hasil sumber daya alam, di Purbalingga yang dikuras besar-besaran adalah sumber daya manusianya. Perempuan-perempuan buruh pabrik rambut yang bekerja siang malam. Dan persamaannya adalah sama-sama menguntungkan orang asing sementara orang daerahnya sendiri hanya berpuas dengan kebanggaan kusam sebagai pekerja. Haha.. Aku merasa semakin nggilani untuk menyadari hal-hal seperti itu.

Sore beranjak dan malam adalah waktu terbaik menikmati Samarinda. Saat malam, udara menjadi lebih sejuk dan debu-debu juga tidak terlalu rusuh beterbangan. Aku memang menyukai teriknya matahari, tapi siapa yang tidak terhibur dengan hawa sejuk yang nyaman. Dan rasa sejuk itu juga yang kudapat saat kutatap perempuan di sebelahku. Wajahnya lembut dan tidak berkarakter Bugis atau Dayak, jadi kutebak pasti orang Jawa. Mungkin asli Jawa Timur seperti kebanyakan orang Jawa disini. Ah, aku ingin mengetahui tentangnya lebih pasti dan lebih banyak.

“Maaf Mas, minta tissue-nya, yang disini habis.”

Ya Tuhan, Engkau baik sekali. Baru saja kumohon dan tissue di depannya yang habis jadi alasanku untuk mengajaknya bicara.

“Makan sendirian, Mbak?” tanyaku tidak tahu malu sambil mengangsurkan kotak tissue di sebelahku. Aku rasa aku dulu tidak seinisiatif ini saat melihat perempuan. Sepertinya wajah sejuknya itu yang memberikanku kekuatan, meski keluarnya hanya sebuah kalimat bodoh. Sendirian bagaimana, warung makan ini kan ramai.

“Iya Mas. Biasanya sih sama teman.  O ya, makasih Mas tissue-nya.” Tak kukira jawaban malaikat yang keluar dari mulutnya atas pertanyaan norakku itu. Hatiku makin berbesar dan merasa kuat untuk melontarkan kenorakan selanjutnya.

“Kerja dimana, Mbak?”

Lalu dua detik kemudian, tawanyalah yang berderai. Sepertinya ia merasa aneh dan heran, orang baru kenal kok sudah nanya-nanya kerja.

“Masih kuliah,” jawabnya akhirnya dengan senyum manis lalu pamit bangkit duluan. Ia sudah selesai makan. Oh Tuhan, kenapa cuma sebentar?

Kulihat ia membayar dan tampak menunggu. Pemilik warung tampak mengorek-ngorek lacinya untuk menggenapkan kembalian, lalu menggeleng. Aha, aku yakin Tuhan memberi kesempatan tambahan. Maka segera kuhampiri untuk ikut membayar. Bukan cuma agar si wajah sejuk segera dapat kembalian, tapi agar aku juga dapat perhatiannya lagi.

“Mbak, pulangnya kemana?”

Usai itu aku tahu namanya Dewi. Ia mahasiswa ekonomi dan aktivis lingkungan hidup yang gencar menyuarakan harus adanya keseriusan perbaikan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan. Ia perempuan yang kokoh dibalik wajah lembutnya. Dan aku dibuat merasa malu dengan pemikiran-pemikiran dan aksinya. Ia sosok yang menghargai perasaan dan pemikirannya dengan menjadikannya tindakan nyata. Berbeda sekali denganku.

Rasa maluku kutumbuh-alihkan jadi kagum dan menyayangi Dewi. Selalu kucuri-curi waktu mengiriminya SMS ingin tahu kabarnya dan memberitahu keadaanku meski entah ia peduli atau tidak. Yang penting aku senang. Aku merasa pelarianku pada tahap terbaik. Menemukan pengganti pengisi hati dan disambut hangat. Ia jadi sering bertanya-tanya tentang rutinitas kerjaku.

Baiknya sikap Dewi sampai membuatku berani berkhayal menikahinya. Aku membayangkan mengajak mboke naik pesawat kesini dan melamar gadis pujaanku itu. Aku berikan mahar terbaik dan ia menjadi nyonyaku, sebagaimana lelaki Samarinda dengan bangga “menyonyakan” istrinya di rumah.

Dewi, Dewi, Dewi… Aku cinta padamu. Kau bukan lagi bagian dari pelarianku, tapi seseorang yang ingin kujadikan bagian dari hidup baruku. Atau aku yang menjadi bagian dari hidup serumu. Yang mana saja aku suka. Aku ingin hidup denganmu.

Tapi oh sungguh, Dewi.. Hatiku seperti digerus bulldozer saat kau datang dengan seorang lelaki tegap. Kau kenalkan padaku dan aku menyalaminya dengan tangan yang serasa didudut tulang-tulangnya. Lelaki itu, Agus, brigadir polisi satu, adalah pacarmu.

Lalu bisa apa aku? Selain merasa hina untuk kedua kali dan ingin lari lagi. Tapi kemana? Mencari tempat yang lebih dekat lagi dengan matahari agar dapat mengalihkan lara dengan menikmati teriknya? Tuhan, aku mencintai mataharimu, tapi tidak bolehkah aku beruntung mencintai salah satu mahkluk indah ciptaanMu dan berbalas..

Aku merasa jalan cintaku kali ini jadi tidak ada bedanya dengan yang dulu. Aku seorang lelaki yang mengandalkan benda mati untuk bekerja, tapi saat itu juga perasaanku dieksploitasi. Dihidupkan lalu sekonyong-konyong dimatikan lagi dengan kejamnya. Dimatikan oleh kenyataan perempuanku memilih lelaki lain, yang lebih hidup kehidupannya daripada aku. Maka aku seperti ditakdirkan untuk menemani benda mati alat kerjaku saja. Setelah gerobak bakso, mungkin sekarang aku harus setia saja dengan bulldozerku. Ia akan membantu mendorong batuan besar di depanku sekaligus bongkahan sakit di dadaku. Dan teriknya matahari Samarinda akan menguatku punggungku. Pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar