Pertama kali datang ke kota ini aku mengagumi
mataharinya. Matahari yang sama dengan yang terlihat di kotaku memang, tapi
disini serasa lebih besar dan terik. Ya, Samarinda memang lebih dekat dengan
khatulistiwa daripada Purbalingga. Dan baiknya, aku merasa lebih jauh dengan
masa laluku di Kota Perwira. Masa lalu yang ingin kutinggalkan.
Adalah Harti, biar kali ini saja kusebut
namanya lagi. Ia seorang buruh pabrik rambut palsu yang selingkuh di belakangku,
dan ketika kucecar ia dengan lantang mengiyakan. Sakitnya ia mengagungkan
selingkuhannya itu lebih baik dariku. Mau menjemputnya setiap sore dan bahkan
menunggui ketika ia harus lembur. Sementara aku katanya, cuma bakul bakso yang
otaknya seperti gerobak. Macet kalau tidak diopyak-opyak.
Dua minggu usai putus aku mengonggokkan
gerobakku begitu saja. Bukan, bukan tidak terima dikatai otak gerobak, tapi
justru aku yang kasihan dengan gerobak baksoku itu, dijadikan bahan makian
karena kebodohanku. Sudah saatnya aku memecut diri. Maka ketika ada lowongan
kerja pertambangan di Kalimantan, aku segera mengirimkan lamaran. Kuandalkan
ijazah SMK-ku 3 tahun lalu.
Dua minggu selanjutnya aku diterima dan
kuteguh-teguhkan langkah menyeberang lautan. Aku bilang pada mboke supaya aku didoakan saja, tidak
perlu dicemas-cemaskan. 1,5 bulan aku menjalani penggemblengan dan pada bulan berikutnya
sudah menerima gaji yang lumayan. Kerjaku sebagai operator bulldozer. Dengan alat
berat itu aku mendorong, menghancurkan, dan meremukkan batuan yang keras hingga
didapat batu bara yang siap angkut. Terik matahari adalah sahabatku. Ya, terik
yang lebih menguatkan daripada terik saat mendorong gerobak bakso sambil memikirkan
kekasihku dulu.
Setelah 3 bulan bekerja aku mendapatkan cuti
seminggu. Cuti ini bisa saja aku gunakan untuk pulang ke kampung kelahiran,
tapi toh uang untuk mboke sudah aku
weselkan. Dan pulang mungkin hanya akan mengingatkanku akan kenangan terhina.
Maka aku berjalan-jalan menyusuri Samarinda dengan motor yang baru kukredit
sebulan ini. Dari pusat kota dan menyeberang jembatan Mahakam, kuarahkan
motorku ke arah barat.
Di sisi kiri jalan beberapa kali kutemui
ekskavator. Sepertinya untuk mengangkat tanah atau batuan juga. Aku jadi
teringat keponakanku yang punya mainan berbentuk seperti ekskavator ini. Ia
pasti akan takjub melihat yang asli seperti ini. Lalu ketakjubannya mungkin
juga akan berlanjut ke sisi kanan jalan. Di sisi kanan yang bertepian langsung
dengan sungai Mahakam, banyak kapal-kapal cukup besar bersandar. Ada yang
terlihat begitu tua, ada pula yang seperti sedang dipugar. Banyak dari
kapal-kapal itu yang digunakan untuk mengangkut batubara sampai ke muara sungai
lalu dibawa sampai ke Jepang. Ya, kerukan kekayaan bumi Indonesia masih harus
dilarikan ke negeri orang untuk menjadi bernilai guna. Haha.. mungkin ini
adalah kesadaran yang aneh dari seorang yang juga terlibat dalam hal konyol
tersebut. Aku menertawainya sementara aku juga butuh uangnya, butuh pengalihan
dari rasa tak berdayaku.
Aku lalu membandingkan kekonyolan di kota ini
dengan di Purbalingga. Sementara yang dikeruk disini adalah hasil sumber daya
alam, di Purbalingga yang dikuras besar-besaran adalah sumber daya manusianya. Perempuan-perempuan
buruh pabrik rambut yang bekerja siang malam. Dan persamaannya adalah sama-sama
menguntungkan orang asing sementara orang daerahnya sendiri hanya berpuas
dengan kebanggaan kusam sebagai pekerja. Haha.. Aku merasa semakin nggilani untuk menyadari hal-hal seperti
itu.
Sore beranjak dan malam adalah waktu terbaik
menikmati Samarinda. Saat malam, udara menjadi lebih sejuk dan debu-debu juga tidak
terlalu rusuh beterbangan. Aku memang menyukai teriknya matahari, tapi siapa
yang tidak terhibur dengan hawa sejuk yang nyaman. Dan rasa sejuk itu juga yang
kudapat saat kutatap perempuan di sebelahku. Wajahnya lembut dan tidak berkarakter
Bugis atau Dayak, jadi kutebak pasti orang Jawa. Mungkin asli Jawa Timur
seperti kebanyakan orang Jawa disini. Ah, aku ingin mengetahui tentangnya lebih
pasti dan lebih banyak.
“Maaf Mas, minta tissue-nya, yang disini habis.”
Ya Tuhan, Engkau baik sekali. Baru saja kumohon
dan tissue di depannya yang habis
jadi alasanku untuk mengajaknya bicara.
“Makan sendirian, Mbak?” tanyaku tidak tahu
malu sambil mengangsurkan kotak tissue
di sebelahku. Aku rasa aku dulu tidak seinisiatif ini saat melihat perempuan.
Sepertinya wajah sejuknya itu yang memberikanku kekuatan, meski keluarnya hanya
sebuah kalimat bodoh. Sendirian
bagaimana, warung makan ini kan ramai.
“Iya Mas. Biasanya sih sama teman. O ya, makasih Mas tissue-nya.” Tak kukira jawaban malaikat yang keluar dari mulutnya
atas pertanyaan norakku itu. Hatiku makin berbesar dan merasa kuat untuk
melontarkan kenorakan selanjutnya.
“Kerja dimana, Mbak?”
Lalu dua detik kemudian, tawanyalah yang
berderai. Sepertinya ia merasa aneh dan heran, orang baru kenal kok sudah nanya-nanya kerja.
“Masih kuliah,” jawabnya akhirnya dengan senyum
manis lalu pamit bangkit duluan. Ia sudah selesai makan. Oh Tuhan, kenapa cuma
sebentar?
Kulihat ia membayar dan tampak menunggu. Pemilik
warung tampak mengorek-ngorek lacinya untuk menggenapkan kembalian, lalu
menggeleng. Aha, aku yakin Tuhan memberi kesempatan tambahan. Maka segera
kuhampiri untuk ikut membayar. Bukan cuma agar si wajah sejuk segera dapat
kembalian, tapi agar aku juga dapat perhatiannya lagi.
“Mbak, pulangnya kemana?”
Usai itu aku tahu namanya Dewi. Ia mahasiswa
ekonomi dan aktivis lingkungan hidup yang gencar menyuarakan harus adanya
keseriusan perbaikan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan. Ia
perempuan yang kokoh dibalik wajah lembutnya. Dan aku dibuat merasa malu dengan
pemikiran-pemikiran dan aksinya. Ia sosok yang menghargai perasaan dan
pemikirannya dengan menjadikannya tindakan nyata. Berbeda sekali denganku.
Rasa maluku kutumbuh-alihkan jadi kagum dan
menyayangi Dewi. Selalu kucuri-curi waktu mengiriminya SMS ingin tahu kabarnya
dan memberitahu keadaanku meski entah ia peduli atau tidak. Yang penting aku
senang. Aku merasa pelarianku pada tahap terbaik. Menemukan pengganti pengisi
hati dan disambut hangat. Ia jadi sering bertanya-tanya tentang rutinitas
kerjaku.
Baiknya sikap Dewi sampai membuatku berani
berkhayal menikahinya. Aku membayangkan mengajak mboke naik pesawat kesini dan melamar gadis pujaanku itu. Aku
berikan mahar terbaik dan ia menjadi nyonyaku, sebagaimana lelaki Samarinda dengan
bangga “menyonyakan” istrinya di rumah.
Dewi, Dewi, Dewi… Aku cinta padamu. Kau bukan
lagi bagian dari pelarianku, tapi seseorang yang ingin kujadikan bagian dari
hidup baruku. Atau aku yang menjadi bagian dari hidup serumu. Yang mana saja
aku suka. Aku ingin hidup denganmu.
Tapi oh sungguh, Dewi.. Hatiku seperti digerus
bulldozer saat kau datang dengan seorang lelaki tegap. Kau kenalkan padaku dan
aku menyalaminya dengan tangan yang serasa didudut
tulang-tulangnya. Lelaki itu, Agus, brigadir polisi satu, adalah pacarmu.
Lalu bisa apa aku? Selain merasa hina untuk
kedua kali dan ingin lari lagi. Tapi kemana? Mencari tempat yang lebih dekat lagi
dengan matahari agar dapat mengalihkan lara dengan menikmati teriknya? Tuhan,
aku mencintai mataharimu, tapi tidak bolehkah aku beruntung mencintai salah
satu mahkluk indah ciptaanMu dan berbalas..
Aku merasa jalan cintaku kali ini jadi tidak
ada bedanya dengan yang dulu. Aku seorang lelaki yang mengandalkan benda mati
untuk bekerja, tapi saat itu juga perasaanku dieksploitasi. Dihidupkan lalu
sekonyong-konyong dimatikan lagi dengan kejamnya. Dimatikan oleh kenyataan
perempuanku memilih lelaki lain, yang lebih hidup kehidupannya daripada aku.
Maka aku seperti ditakdirkan untuk menemani benda mati alat kerjaku saja.
Setelah gerobak bakso, mungkin sekarang aku harus setia saja dengan
bulldozerku. Ia akan membantu mendorong batuan besar di depanku sekaligus
bongkahan sakit di dadaku. Dan teriknya matahari Samarinda akan menguatku
punggungku. Pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar