Oleh: Nurul Aulia Alfiyah
Geliat film di Purbalingga muncul di tahun 2004. Film berjudul “Orang Buta dan Penuntunnya” dari Laeli Leksono Film menjadi tonggak sejarah. Film yang bercerita tentang lika-liku kehidupan seorang pengemis buta dan penuntunnya mengais rezeki di tengah hiruk-pikuk kehidupan ini menjadi film pertama yang kemudian diputar dan menjadi bahan apreasi serta diskusi di lima Sekolah Menengah Atas di Purbalingga. Sayangnya film syarat makna ini tidak serta merta disambut baik.
Dari awal berkembang, CLC sudah memanfaatkan internet untuk media komunikasi dan publikasi mereka, terutama untuk program-program film yang mereka godok. Adalah Bowo Leksono, orang yang gencar melakukan hal itu dari tahun 2006.
Awalnya, pria yang pernah menjadi jurnalis Republika ini menggunakan milis Yahoo yang jumlah grupnya puluhan untuk mengkomunikasikan dan mempublikasikan program-program filmnya kepada rekan-rekannya yang berada di berbagai kota, terutama daerah Banyumas Raya, Jakarta, dan Yogyakarta. Bahkan ia mengaku masih suka menggunakan milis Yahoo tersebut, meski tidak seramai dulu lagi.
Tahun 2009, ketika Facebook mulai populer, Bowo Leksono pun tidak luput ikut menggunakan jejaring sosial itu. Ia menggunakan akun pribadinya dan group CLC Purbalingga untuk meneruskan dan memperluas komunikasinya dengan rekan-rekan film dan jaringan barunya. Ia juga menjadi lebih gencar melakukan publikasi untuk setiap program-program komunitasnya tersebut, acara-acara yang tengah digarap, film-film baru yang diproduksi, dan berbagai informasi tentang film dan Purbalingga.
Publikasi yang dilakukan Bowo Leksono tersebut tentu mendapatkan berbagai respon. Ada yang sekedar “memberi jempol”, bertanya, memberikan dukungan, mencandai, bahkan ada juga yang mengejek dan mengecam.
Untuk dua hal yang terakhir itu, pernah di awal tahun 2011, saat Bowo Leksono dan tim CLC tengah menggiring anak-anak SMA memproduksi film-film yang akan dikompetisikan di Festival Film Purbalingga (FFP) 2011 dan mengadakan pemutar film bertajuk “Bioskop Pojokan” di markas baru mereka, seseorang yang disinyalir tidak suka dengan komunitas ini menulis komentar di Facebook bahwa Bowo Leksono dengan kegiatan dan film-film yang diputarnya hanya mengotori otak remaja Purbalingga.
Keterbukaan media internet terutama jejaring sosial memang memungkinkan siapa saja memberikan respon yang berbeda-beda terhadap apa yang ia “santap”. Termasuk apa yang terjadi di atas.
Selain bisa saja menuai respon yang tidak diharapkan, publikasi dengan media internet juga diakui Bowo Leksono sendiri tidak lepas dari kekurangan. “Untuk level lokal, mereka hanya sekedar ngerti tanpa berusaha merespon apalagi menganggapp itu ada gunanya. Hanya orang-orang tertentu saja dan itu kebanyak justru dari orang luar Purbalingga yang kemudian merespon dengan serius,” tuturnya.
Namun, Bowo Leksono tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Baginya publikasi yang dilakukannya memang bertujuan agar orang tahu terlebih dahulu bahwa di Purbalingga ada kegiatan dan aktifitas film. Dalam mengabarkan kegiatan, menurut lelaki 35 tahun itu bukan agar mereka datang, tapi agar mereka tahu ada peristiwa kesenian modern di Purbalingga bernama film.
Contohnya dalam publikasi Festival Film Purbalingga saja, kebanyakan yang datang justru dari Jakarta, Purwokerto, Cilacap, dan Banjarnegara, dan mereka adalah orang-orang tertentu saja yang tertarik dengan film dan perkembangan budaya Purbalingga. Tentang banyaknya anak-anak SMA/SMK Purbalingga yang datang saat acara, mereka tahu justru lebih dari mulut ke mulut dan komunikasi semacam SMS di antara mereka sendiri.
Di samping secara tidak langsung mengundang ke kegiatan film yang diadakannya bersama CLC, Bowo Leksono juga memanfaatkan tanggapan-tanggapan di milis dan jejaring sosial untuk menakar suatu karya apakah film itu pantas dikirim ke luar, dalam arti diikutkan festival film nasional maupun internasional.
Ya, film-film Purbalingga memang telah banyak mengoleksi prestasi. Dari 104 film yang Bowo Leksono dan anak-anak muda Purbalingga produksi, beberapa di antaranya mendapatkan penghargaan dan apresiasi di berbagai festival film nasional dan internasional.
Yang pertama adalah film pendek berjudul “Peronika” yang disutradarai sendiri oleh Bowo Leksono di tahun 2004. Film yang berkisah keluguan pasangan rumah tangga menyikapi teknologi telepon seluler ini menjadi 12 besar Festival Film Indonesia (FFI) di tahun itu juga dan masuk European Film Festival 2007. Pemain dan Bowo Leksono pun mendapatkan penghargaan Aktor dan Dalang Mumpuni Ganesha Film Fest (Ganffest) 2008.
Film “Peronika” murni mengambil setting di Purbalingga dengan menonjolkan ciri khas Purbalingga dan budaya Banyumas terutama tata bahasa ngapak dan persoalan lokal yang unik.
Selanjutnya adalah “Pigura”. Film ini telah merebut 8 penghargaan, antara lain Film Terbaik Festival Film Remaja 2010 dan Penghargaan Khusus Dewan Juri Festival Film Indonesia 2010. Hebatnya lagi, film yang mengajarkan nilai kegigihan anak-anak ini disutradarai oleh Darti dan Yasin, dua murid SMPN 4 Satu Atap Karangmoncol. SMP ini memang salah satu sekolah di Purbalingga yang menaruh perhatian lebih pada minat film anak-anak didiknya.
Tanpa film ini kita tidak akan tahu Purbalingga, tepatnya Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, punya seni unik wayang suket yang pertama kali dibuat oleh Alm. Mbah Gepuk. Sekarang wayang suket masih dipertahankan keberadaannya oleh Badriyanto, cucunya, dan Ikhsanudin, anak muda yang belajar seni ini secara otodidak. Sayangnya, selain disimpan di Museum Wayang Purbalingga, potensi seni ini tidak banyak diperhatikan Pemkab.
Bisa dikatakan ketika film-film Purbalingga masih kering apreasi dari Pemerintah Kabupaten sendiri, film-film tersebut telah subur membawa nama Purbalingga ke tingkat nasional dan internasional. Dan secara tidak langsung mempublikasi dan mempromosikan potensi kota ini.
Film-film itu juga yang seharusnya bisa menjadi acuan Pemkab menilik masyarakatnya sendiri.
Melihat Purbalingga Dari Film
Purbalingga memang menyimpan banyak keunggulan, potensi, dan nilai budaya. Juga lengkap dengan masalah dan dinamikanya. Seringnya yang tampak “wah” di luar, keropos di dalamnya. Yang tampak sepele, menyimpan keunikan tersendiri. Itulah Purbalingga.
Dan film-film Purbalingga merangkum dan mengemas itu semua untuk masyarakat. Disaat sinetron menampilkan hal-hal yang “lebay”, tidak masuk akal, dan jauh dari jangkauan, film-film Purbalingga menawarkan tontonan yang lebih apa adanya dan edukatif.
Contohnya film “Trima Hidup Apa Adanya” oleh Bowo Leksono di tahun 2009. Film dokumenter ini mewakili betul kehidupan buruh wanita yang terbiasa bekerja lembur dan gaji di bawah UMK.
Anak-anak SMA Negeri Kutasari Purbalingga5 awal Desember ini juga mengangkat tema ini. Ratusan remaja lebih memilih tidak melanjutkan sekolah karena makin menjamurnya perusahaan bulu mata palsu dan wig (rambut palsu). Melalui riset mereka menemukan bahwa kemiskinan dan kemudahan berinvestasi yang diberikan Pemerintah Kabupaten Purbalingga kepada perusahaan-perusahaan bulu mata palsu dan wig (rambut palsu) itu menjadi faktor utama anak meninggalkan bangku sekolah dan memilih bekerja.
Sedangkan di film dokumenter yang digarap anak-anak SMA N 2 Purbalingga, tertangkap pembangunan dan pengembangan perusahan-perusahaan itu merangsek keberadaan sawah warga di dekatnya. Bahkan limbah-limbah pabrik tersebut yang dibuang langsung juga mengancam pengairan sawah menjadi tercemar.
Kedua film dokumenter yang masih dalam tahap post produksi tersebut nantinya akan sangat patut menjadi introspeksi Pemkab dalam banyak hal. Antara lain mengenai kebijakan pendidikan, investasi, pembangunan, lingkungan, dan hak masyarakat.
Tak hanya masalah sosial, film-film Purbalingga juga menyoroti ragam budaya dan kekayaan alam. Ada banyak film yang mengangkat tema ini antara lain Lengger Santi
(Bowo Leksono, 2007), Di Sini Panglima Besar Dilahirkan (Padmashita Kalpika Anindyajati, 2010), dan Curug Oh Curug (Elma Sulistiya Ningrum, 2009).
Bahkan anak-anak muda Purbalingga pun fasih menceritakan kehidupan, dunia sekitar, dan cita-cita mereka dalam film. Film-film apik itu antara lain Baju Buat Kakek (Misyatun, 2009) dan Sandal Jepit (Bani Dwi K, 2009).
Film ini khusus diputar di acara Kado buat Kota Tercinta, 24 Desember 2011, sebuah program tahunan setiap ulang tahun Purbalingga yang sudah memasuki jilid ketiga. Film berdurasi 45 dibuka dengan gambar lelaki tua penjual es dawet yang dijanjikan modal berdagang oleh sang Bupati tahun 2010 sebelum ia terpilih. Namun, nyatanya janji itu hanya janji tanpa realisasi.
Menurut dosen Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Bowo Sugiarto, SIP, M.Si yang menjadi pembicara pada forum diskusi usai pemutaran film itu, film dokumenter ini akan mempunyai legitimasi kuat bila ditonton oleh sebanyak-banyaknya orang.
Acara Kado buat Kota Tercinta yang digelar di gedung Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Purbalingga ini tidak hanya memutar film-film yang khusus merefleksikan kota Purbalingga, tapi juga menyajikan wajah Purbalingga dalam bentuk foto, sastra, musik, dan teater. Belakangan CLC memang semakin rajin menggawangi kegiatan berkesenian anak-anak muda Purbalingga yang tidak hanya film.
CLC, yang hampir setahun ini bermarkas di Posko Bambang Soesatyo yang tepat berada sisi barat pendapa bupati Purbalingga, dengan programnya “Kado buat Kota Tercinta” bukan sedang memojokkan Pemkab sebagai aksi balas dendam kejadian di masa lalu. Namun, justru mengingatkan dan mengkritisi pemerintah agar tidak tutup mata dengan berbagai suara masyarakat dan problematikanya.
Posko yang ditempati CLC memang milik Bambang Soesatyo, SE, MBA yang sekarang menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen. Bowo Leksono pernah menegaskan tidak ada kaitan politik dalam penggunaan posko ini untuk kegiatan CLC. Posko ini “dipinjamkan” semata untuk memberikan ruang berkegiatan bagi pemuda Purbalingga yang tidak sedikitpun dipikirkan Pemkab.
Selain digunakan sebagai markas kegiatan CLC, Bambang Soesatyo ini juga digunakan sebagai ruang kegiatan Kelas Menulis Purbalingga dan Komunitas Foto Purbalingga. Komunitas-komunitas ini juga aktif berkarya dan mengkritisi laju pemerintahan Kabupaten Purbalingga yang kadang mandeg dan membelok.
Bowo Leksono sendiri percaya sekeras apapun pemerintah pasti tetap ada celah yang bisa dimuati pesan-pesan kemasyarakatan. “Ibarat usaha meruntuhkan tembok Cina secara terus-menerus, meski tidak benar runtuh sekalipun, tetap akan terbentuk juga lubang keluar,” ungkap Bowo Leksono memberikan perumpamaan.
Maka andaikan Pemkab Purbalingga bisa lebih terbuka dan suportif dengan CLC dan program-programnya, pasti akan terjalin sinergi yang baik untuk masyarakat. Dimana masalah dan kebutuhan masyarakat menjadi lebih didengar dan diperhatikan lewat film, pemerintah lebih tepat menjalankan kebijakannya, dan nama Purbalingga makin terangkat karena karya-karyanya.
Pertanyaannya sekarang, apakah yang menyebabkan Pemkab Purbalingga masih enggan memberikan dukungannya kepada CLC setelah program dan karya-karyanya telah cukup banyak membawa nama baik Purbalingga ke mata nasional dan internasional lewat gairah film lokalnya?
Imbas dari publikasi yang dilakukan CLC dan respon yang didapatnya melalui media internet, secara tidak langsung juga akan menciptakan pencintraan (image) di mata para pengguna internet khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pencintraan itu berupa penilaian masing-masing orang yang bersifat terbuka, tergantung bagaimana interaksinya dengan objek tersebut, dalam hal ini adalah CLC.
Afit Setiadi, admin group Purbalingga Blogger Community di Facebook mengatakan ia tidak mempermasalahkan Bowo Leksono dan CLC melakukan publikasi dan menyebar informasi di group-nya. Lelaki yang juga menjadi admin group Komunitas Musisi ini mengaku dulu beberapa kali datang ke acara CLC, tapi karena alasan kesibukan kini ia tidak sempat datang lagi.
“Publikasi CLC sudah bagus kok. Cuma yang namanya menjaring ikan kan nggak semuanya bisa langsung dapat,” ungkap pemilik usaha desain kaos ngapak ini bermain perumpamaan.
Saya juga menanyai Ade Miswandono, salah satu anggota Purbalingga Blogger Community, apakah ia tahu tentang CLC dan kegiatannya. Ia menjawab singkat, “Hanya sekedar tahu, tapi tidak mengikuti.”
Itulah kekurangan publikasi CLC yang dilakukan melalui jejaring sosial bernama Facebook tersebut. Dengan kurangnya interest anak muda lokal tentang acara di kotanya sendiri, sulit menciptakan respon yang mumpuni di setiap publikasi yang dilakukan CLC melalui Facebook. Apalagi ketika sampai pada penciptaan image yang kuat.
Bowo Leksono sendiri juga mengakui bahwa salah satu kekurangan publikasi lewat media internet adalah image di masyarakat dan pemerintah menjadi kurang kuat. Kepercayaan mereka terhadap komunitas ini pun juga kurang. Sehingga masyarakat masih ada yang meragukan eksistensi komunitas ini, terlebih CLC memang belum menjadi sebuah organisasi yang diakui secara resmi.
“Dulu CLC pernah ditawari untuk menjadi organisasi resmi oleh Kementrian Pariwisata Kebudayaan dan Olahraga, tapi dengan syarat harus menyelenggarakan seminar terlebih dahulu, lalu membuat laporannya. Dan itu menjadi terlalu mahal ketika harus punya badan hukum, akta notaris, dan rajin bayar pajak juga,” ungkap Bowo Leksono.
Bowo Leksono yang lulusan Ilmu Hukum Universitas Diponegoro itu jelas mengerti bahwa CLC memang harus dibawa ke arah itu. Ia juga mengungkapkan keinginannya tersebut untuk menjadikan CLC sebagai organisasi resmi agar lebih mudah mendapatkan bantuan ketika ada proyek film atau event.
Tetapi, baginya ketika SDM (Sumber Daya Manusia) CLC masih belum kuat hal itu hanya akan percuma. Terlebih ketika harus bayar pajak rutin tapi CLC belum punya pemasukan. Selama ini untuk mendanai proyek yang sifatnya besar, CLC mengakali dengan minta bantuan JKFB (Jaringan Kerja Film Banyumas) yang memang lebih besar dan sudah resmi.
Bicara mengenai SDM yang menjadi salah satu unsur penting dalam sebuah organisasi, CLC juga tidak lepas dari isu kekurangan SDM dan minim regenerasi. Untuk pembagian tugas dalam CLC sendiri, yang utama ada 4 orang. Yaitu Bowo Leksono sebagai Direktur, Nanki Nirmanto di bagian
Asep Triyatno di bagian , dan Muhammad Febrianto di bagian Foto dan Dokumentasi.Asep Triyatno yang saya tanyai apakah dengan formasi seperti itu sudah dirasa cukup untuk CLC, mengatakan cukup tidak cukup. Ia menuturkan formasi tersebut hanya akan dirasa kurang ketika ada event besar yang digarap CLC seperti acara tahunan Festival Film Purbalingga misalnya. Untuk menutup kekurangan tersebut, biasanya CLC akan menarik volunteers untuk mensukseskan acara.
Ketika disinggung apa CLC tidak ingin menambah anggota resmi dengan menarik beberapa dari volunteers tersebut misalnya, Asep Triyatno yang beberapa waktu lalu ikut terlibat produksi film “Langit Biru” arahan Nia Dinata ini mengatakan bahwa CLC adalah organisasi berbasis komunitas jadi tidak ingin memaksakan siapapun untuk ikut kecuali dengan keinginan sendiri.
Dan ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada Bowo Leksono, ia tidak terlalu memusingkan hal tersebut. “Saya tidak berharap banyak secara kuantitas, misalnya dalam satu tahun saya harus dapat 10 atau 100 anggota baru seperti pada Pecinta Alam yang hanya hobi naik. Saya masih yakin regenerasi itu baru terjadi setiap 4 tahun sekali, baru CLC dapat 1 orang yang benar-benar serius,” ungkapnya.
Nanki Nirmanto adalah salah satu yang menjadikan film sebagai “sawahnya”, meski Bowo Leksono sendiri tidak menjamin dan menjanjikan materi dari CLC, karena itu sangat tergantung dari orangnya sendiri. Namun terbukti dengan keseriusan, Nanki Nirmanto telah cukup berhasil masuk industri film dengan menjadi asisten produksi di film Hollywood “The Philosopher” yang digarap di Indonesia beberapa waktu lalu.
Kembali menyoal publikasi, Bowo Leksono sebenarnya berharap ada satu tim atau satu orang yang mengurusi masalah publikasi CLC, setidaknya orang itu komunikatif dan figuratif/ mewakili CLC. Untuk sekarang, sisi figuratif itu memang masih dipegang oleh Bowo Leksono sendiri, tapi untuk isu regenerasi tersebut, ia mulai menugaskan Asep Triyatno ke festival-festival film agar ia bisa lebih dikenal, punya jaringan, dan nantinya bisa juga menjadi figur yang mewakili CLC, baik dalam media internet maupun acara-acara.
Selain itu, untuk publikasi melalui media internet yang lebih luas, Bowo Leksono juga membuat blog, akun Youtube, dan Kompasiana yang khusus untuk membagikan berita, info, dan video film maupun kegiatan CLC kepada seluruh pengguna internet. Hal ini tentu baik untuk memancing respon yang lebih luas ketimbang hanya berkutat di jejaring sosial Facebook.
CLC Harus Mematangkan Diri
Ketika saat ini CLC sebagai sebuah komunitas film sudah membanggakan dalam raihan prestasi, yang perlu dimatangkannya lagi adalah sisi keorganisasian, kepengurusan, dan publikasi yang dioptimalkan. “Publikasi massive menjadi kunci keberhasilan sebuah acara. Mau yang datang cuma 5 orang, kalau publikasi dan pemberitaannya besar-besaran, acara itu akan didengar di seluruh negeri,” ungkap Bowo Leksono dalam acara “Kado Buat Kota Tercinta” Sabtu lalu menegaskan misi publikasinya.
Dengan publikasi yang kuat, CLC juga bisa memperkuat image-nya dan siapa tahu menjadi lebih mendapat dukungan pemerintah. Terutama Pemkab Purbalingga sendiri yang masih hobi mencekal dan seolah tidak mau kalah dengan program-program pariwisatanya.
Padahal seperti yang telah dikatakan di atas, jika CLC dan Pemkab Purbalingga dapat menciptakan kemesraan yang saling menguntungkan, itu bisa menjadi sinergi baru untuk bersama-sama membangun kota kecil ini. Namun, bagaimanapun, harapan utama CLC kedepannya adalah bisa tetap aktif berkarya dan membawa lebih banyak manfaat untuk masyarakat lewat film-film berkualitas.
“Saya pengennya secara atmosfir film Purbalingga tetap ramai dan dihargai orang sendiri dulu sebelum dilempar keluar yang jelas akan lebih dihargai,” tekan lelaki yang menolak tawaran kuliah lagi di Jerman demi tetap menjaga nyala film di Purbalingga ini.
1. Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis XL Award 2011.
Cinema Lovers Community Dalam Sejarah
http://hiburan.kompasiana.com/film/2011/11/18/cinema-lovers-community-dalam-sejarah/(diakses tanggal 13 Desember 2011, pukul 19.00 WIB)Data Film Purbalingga 2004-2011
Film Pelajar Purbalingga
Dokumenter Buruh Di Bawah Usia
Film SMAN Rembang Sabet Juara Umum FFA
Peran dan Fungsi Komunitas Dalam Membuat Perubahan Sosial
great job!
BalasHapustulisan yang sangat bagus mba, tapi agak terlalu panjang untuk dipajang menjadi sebuh entri blog. Salam sukses selalu :)
BalasHapus@mas pradhika: itu untuk lomba karya tulis xl award 2011 mas, jadi emang panjaang. hehe
BalasHapusKeren mba...
BalasHapusSemoga kemajuan perfilman di purbalingga bisa menyebar ke daerah2 lain, termasuk di daerah sy.. palu
@mas andichairilfurqan: makasih. semangat! :D
BalasHapus