Senin, 26 Desember 2011

CLC Purbalingga: Internet Bantu Dongkrak Gairah Film Lokal, Pemkab Hobi Mencekal

CLC Purbalingga: Internet Bantu Dongkrak Gairah Film Lokal, Pemkab Hobi Mencekal1

Oleh: Nurul Aulia Alfiyah


“Mau pemerintah bubar kita juga tetap bisa jalan,” ungkap Bowo Leksono, Direktur CLC Purbalingga, santai tapi tegas. Tidak tampak raut kekhawatiran sama sekali di wajah lelaki tambun ini akan nasibnya beserta komunitasnya.

Purbalingga Kota Film

Purbalingga adalah sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tepatnya di kaki Gunung Slamet. Saat mencari informasinya di Google, Anda boleh percaya kota ini adalah kota pembuat wig (rambut palsu) dan bulu mata palsu terbesar di Indonesia2. Namun, selain itu Anda juga patut percaya Purbalingga adalah kota film, bahkan ada yang menyebut Purbalingga Hollywood-nya Indonesia3.

Geliat film di Purbalingga muncul di tahun 2004. Film berjudul “Orang Buta dan Penuntunnya” dari Laeli Leksono Film menjadi tonggak sejarah. Film yang bercerita tentang lika-liku kehidupan seorang pengemis buta dan penuntunnya mengais rezeki di tengah hiruk-pikuk kehidupan ini menjadi film pertama yang kemudian diputar dan menjadi bahan apreasi serta diskusi di lima Sekolah Menengah Atas di Purbalingga. Sayangnya film syarat makna ini tidak serta merta disambut baik.

Ada satu SMA yang menolak memberikan izin karena menganggap kegiatan tersebut tidak ada kaitannya dengan materi pembelajaran. Ini menjadi bibit pencekalan pertama bagi film Purbalingga oleh instansi Purbalingga sendiri saat itu.

Selain iklim yang kurang mendukung, Purbalingga memang tidak memiliki satu pun perguruan tinggi. Karenanya pada saat itu untuk mempeluas apreasi, film itu diputar di kampus Unsoed Purwokerto dan beberapa kantong budaya di kota itu.

Di 2005, pembuat film di Purbalingga makin menggeliat. Mereka terus semangat memproduksi dan memutar film-film pendek. Bahkan mereka mulai merambah Sekolah Menengah Pertama, meski masih menggunakan media televisi untuk memutar film-filmnya, belum menggunakan perlengkapan canggih seperti LCD proyektor apalagi meminjam gedung bioskop.

Sebenarnya sampai tahun 1990, Purbalingga masih mempunyai dua bioskop bernama Rayuan Theater dan Braling Theater di dekat pusat kota, serta Indra Theater di Kecamatan Bobotsari Purbalingga. Namun, bioskop-bioskop tersebut kemudian bangkrut, berubah menjadi pasar swalayan. Sampai sekarang Purbalingga belum lagi mempunyai gantinya.

Bahkan sebuah bangunan bernama “Entertainment Centre” diUsman Janatin Park, taman kota Purbalingga, yang sempat dikabarkan akan dijadikan bioskop pada tahun 2008 lalu masih teronggok menjadi bangunan yang tidak difungsikan. Padahal adanya bioskop adalah salah satu syarat kemudahan dan kemajuan apreasi film.

Namun, itu tidak menjadi pematah semangat bagi penggiat film Purbalingga. Ada lima komunitas film di Purbalingga yang kemudian membentuk komunitas bernama Cinema Lovers Community (CLC) pada 4 Maret 2006. Komunitas induk ini kemudian menggarap sebuah program pemutaran film bulanan bertajuk “Bioskop Kita”.

Untuk menggelar program itu, CLC meminjam Graha Adiguna di komplek Pendapa Bupati yang dinilai cukup representatif untuk pemutaran film. Sayangnya lagi, baru dua kali berjalan melalui perizinan yang dipersulit, program “Bioskop Kita” sudah dilarang dan tidak boleh lagi menggunakan gedung tersebut. Inilah awal mula hubungan tidak mesra para pembuat film Purbalingga dengan Pemerintah Kabupatennya sendiri.

Kejadian tersebut tidak lantas menyurutkan langkah parapenggiat film. Justru dari kejadian itu, mereka menemukan cara baru untuk bergerilya menggelar layar tancap di tujuh desa dari empat kecamatan pada Agustus 2006 demi terus mengkampanyekan film pendek sebagai tontonan edukatif kepada masyarakat. Pada September 2009, CLC juga mulai meluaskan gerilya sampai ke Cilacap dan Purwokerto untuk membangun jaringan dan menjadi awal dari JaringanKerja Film Banyumas (JKFB), sebuah komunitas film yang lebih besar.

Kembali ke CLC, tiap tahun mereka makin berkembang dengan merutinkan festival film untuk menampung film-film yang diproduksi anak-anak muda Purbalingga. Festival film pertama digelar dengan nama Parade Film Purbalingga (PFP) pada tanggal 7 Juli 2007 dengan tema “Satu Tahun Kita Bersedih” sebagai refleksi sikap pemerintah Purbalingga kepada para pembuat film.

Kemudian pada pada 16-18 Mei 2008, festival film kembali digelar dengan nama Purbalingga Film Festival (PFF), masih dengan segala masalah gedung, perizinan, dan bahkan interupsi aparat. Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Purbalingga yang seharusnya bisa menjadi naungan bagi kegiatan seni dan film di dalamnya, juga tidak menunjukan perhatian baik.

Melewatkan semua masalah itu, di tahun 2009, 2010, dan 2011, Purbalingga Film Festival (PFF) yang kemudian lebih di-Indonesiakan menjadi Festival Film Purbalingga (FFP) tetap berjalan, berprestasi, dan cukup menarik perhatian nasional lewat pemberitaan di surat kabar dan publikasi memanfaatkan media internet terutama jejaring sosial yang digencarkan.

Jejaring Sosial Untuk Publikasi Gencar

Dari awal berkembang, CLC sudah memanfaatkan internet untuk media komunikasi dan publikasi mereka, terutama untuk program-program film yang mereka godok. Adalah Bowo Leksono, orang yang gencar melakukan hal itu dari tahun 2006.

Awalnya, pria yang pernah menjadi jurnalis Republika ini menggunakan milis Yahoo yang jumlah grupnya puluhan untuk mengkomunikasikan dan mempublikasikan program-program filmnya kepada rekan-rekannya yang berada di berbagai kota, terutama daerah Banyumas Raya, Jakarta, dan Yogyakarta. Bahkan ia mengaku masih suka menggunakan milis Yahoo tersebut, meski tidak seramai dulu lagi.

Tahun 2009, ketika Facebook mulai populer, Bowo Leksono pun tidak luput ikut menggunakan jejaring sosial itu. Ia menggunakan akun pribadinya dan group CLC Purbalingga untuk meneruskan dan memperluas komunikasinya dengan rekan-rekan film dan jaringan barunya. Ia juga menjadi lebih gencar melakukan publikasi untuk setiap program-program komunitasnya tersebut, acara-acara yang tengah digarap, film-film baru yang diproduksi, dan berbagai informasi tentang film dan Purbalingga.

Publikasi yang dilakukan Bowo Leksono tersebut tentu mendapatkan berbagai respon. Ada yang sekedar “memberi jempol”, bertanya, memberikan dukungan, mencandai, bahkan ada juga yang mengejek dan mengecam.

Untuk dua hal yang terakhir itu, pernah di awal tahun 2011, saat Bowo Leksono dan tim CLC tengah menggiring anak-anak SMA memproduksi film-film yang akan dikompetisikan di Festival Film Purbalingga (FFP) 2011 dan mengadakan pemutar film bertajuk “Bioskop Pojokan” di markas baru mereka, seseorang yang disinyalir tidak suka dengan komunitas ini menulis komentar di Facebook bahwa Bowo Leksono dengan kegiatan dan film-film yang diputarnya hanya mengotori otak remaja Purbalingga.

Keterbukaan media internet terutama jejaring sosial memang memungkinkan siapa saja memberikan respon yang berbeda-beda terhadap apa yang ia “santap”. Termasuk apa yang terjadi di atas.

Selain bisa saja menuai respon yang tidak diharapkan, publikasi dengan media internet juga diakui Bowo Leksono sendiri tidak lepas dari kekurangan. “Untuk level lokal, mereka hanya sekedar ngerti tanpa berusaha merespon apalagi menganggapp itu ada gunanya. Hanya orang-orang tertentu saja dan itu kebanyak justru dari orang luar Purbalingga yang kemudian merespon dengan serius,” tuturnya.

Namun, Bowo Leksono tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Baginya publikasi yang dilakukannya memang bertujuan agar orang tahu terlebih dahulu bahwa di Purbalingga ada kegiatan dan aktifitas film. Dalam mengabarkan kegiatan, menurut lelaki 35 tahun itu bukan agar mereka datang, tapi agar mereka tahu ada peristiwa kesenian modern di Purbalingga bernama film.

Contohnya dalam publikasi Festival Film Purbalingga saja, kebanyakan yang datang justru dari Jakarta, Purwokerto, Cilacap, dan Banjarnegara, dan mereka adalah orang-orang tertentu saja yang tertarik dengan film dan perkembangan budaya Purbalingga. Tentang banyaknya anak-anak SMA/SMK Purbalingga yang datang saat acara, mereka tahu justru lebih dari mulut ke mulut dan komunikasi semacam SMS di antara mereka sendiri.

Di samping secara tidak langsung mengundang ke kegiatan film yang diadakannya bersama CLC, Bowo Leksono juga memanfaatkan tanggapan-tanggapan di milis dan jejaring sosial untuk menakar suatu karya apakah film itu pantas dikirim ke luar, dalam arti diikutkan festival film nasional maupun internasional.

Ya, film-film Purbalingga memang telah banyak mengoleksi prestasi. Dari 104 film yang Bowo Leksono dan anak-anak muda Purbalingga produksi, beberapa di antaranya mendapatkan penghargaan dan apresiasi di berbagai festival film nasional dan internasional.

Yang pertama adalah film pendek berjudul “Peronika” yang disutradarai sendiri oleh Bowo Leksono di tahun 2004. Film yang berkisah keluguan pasangan rumah tangga menyikapi teknologi telepon seluler ini menjadi 12 besar Festival Film Indonesia (FFI) di tahun itu juga dan masuk European Film Festival 2007. Pemain dan Bowo Leksono pun mendapatkan penghargaan Aktor dan Dalang Mumpuni Ganesha Film Fest (Ganffest) 2008.

Film “Peronika” murni mengambil setting di Purbalingga dengan menonjolkan ciri khas Purbalingga dan budaya Banyumas terutama tata bahasa ngapak dan persoalan lokal yang unik.

Selanjutnya adalah “Pigura”. Film ini telah merebut 8 penghargaan, antara lain Film Terbaik Festival Film Remaja 2010 dan Penghargaan Khusus Dewan Juri Festival Film Indonesia 2010. Hebatnya lagi, film yang mengajarkan nilai kegigihan anak-anak ini disutradarai oleh Darti dan Yasin, dua murid SMPN 4 Satu Atap Karangmoncol. SMP ini memang salah satu sekolah di Purbalingga yang menaruh perhatian lebih pada minat film anak-anak didiknya.


Pelajar Purbalingga tengah membuat film.

Tidak hanya film fiksi pendek, anak-anak muda Purbalingga juga pandai mendokumenterkan hal-hal di sekitar mereka. “Gulma Yang Bernilai Guna4” yang disutradari oleh Astri Rakhma Adisti dari SMAN Rembang Purbalingga telah menyabet 10 penghargaan, antara lain 4 penghargaan di Festival Film Anak (FFA) Medan 2011.

Tanpa film ini kita tidak akan tahu Purbalingga, tepatnya Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, punya seni unik wayang suket yang pertama kali dibuat oleh Alm. Mbah Gepuk. Sekarang wayang suket masih dipertahankan keberadaannya oleh Badriyanto, cucunya, dan Ikhsanudin, anak muda yang belajar seni ini secara otodidak. Sayangnya, selain disimpan di Museum Wayang Purbalingga, potensi seni ini tidak banyak diperhatikan Pemkab.

Bisa dikatakan ketika film-film Purbalingga masih kering apreasi dari Pemerintah Kabupaten sendiri, film-film tersebut telah subur membawa nama Purbalingga ke tingkat nasional dan internasional. Dan secara tidak langsung mempublikasi dan mempromosikan potensi kota ini.

Film-film itu juga yang seharusnya bisa menjadi acuan Pemkab menilik masyarakatnya sendiri.

Melihat Purbalingga Dari Film

Purbalingga memang menyimpan banyak keunggulan, potensi, dan nilai budaya. Juga lengkap dengan masalah dan dinamikanya. Seringnya yang tampak “wah” di luar, keropos di dalamnya. Yang tampak sepele, menyimpan keunikan tersendiri. Itulah Purbalingga.

Dan film-film Purbalingga merangkum dan mengemas itu semua untuk masyarakat. Disaat sinetron menampilkan hal-hal yang “lebay”, tidak masuk akal, dan jauh dari jangkauan, film-film Purbalingga menawarkan tontonan yang lebih apa adanya dan edukatif.

Contohnya film “Trima Hidup Apa Adanya” oleh Bowo Leksono di tahun 2009. Film dokumenter ini mewakili betul kehidupan buruh wanita yang terbiasa bekerja lembur dan gaji di bawah UMK.

Anak-anak SMA Negeri Kutasari Purbalingga5 awal Desember ini juga mengangkat tema ini. Ratusan remaja lebih memilih tidak melanjutkan sekolah karena makin menjamurnya perusahaan bulu mata palsu dan wig (rambut palsu). Melalui riset mereka menemukan bahwa kemiskinan dan kemudahan berinvestasi yang diberikan Pemerintah Kabupaten Purbalingga kepada perusahaan-perusahaan bulu mata palsu dan wig (rambut palsu) itu menjadi faktor utama anak meninggalkan bangku sekolah dan memilih bekerja.

Sedangkan di film dokumenter yang digarap anak-anak SMA N 2 Purbalingga, tertangkap pembangunan dan pengembangan perusahan-perusahaan itu merangsek keberadaan sawah warga di dekatnya. Bahkan limbah-limbah pabrik tersebut yang dibuang langsung juga mengancam pengairan sawah menjadi tercemar.

Kedua film dokumenter yang masih dalam tahap post produksi tersebut nantinya akan sangat patut menjadi introspeksi Pemkab dalam banyak hal. Antara lain mengenai kebijakan pendidikan, investasi, pembangunan, lingkungan, dan hak masyarakat.

Tak hanya masalah sosial, film-film Purbalingga juga menyoroti ragam budaya dan kekayaan alam. Ada banyak film yang mengangkat tema ini antara lain Lengger Santi

(Bowo Leksono, 2007), Di Sini Panglima Besar Dilahirkan (Padmashita Kalpika Anindyajati, 2010), dan Curug Oh Curug (Elma Sulistiya Ningrum, 2009).

Bahkan anak-anak muda Purbalingga pun fasih menceritakan kehidupan, dunia sekitar, dan cita-cita mereka dalam film. Film-film apik itu antara lain Baju Buat Kakek (Misyatun, 2009) dan Sandal Jepit (Bani Dwi K, 2009).

Film Purbalingga juga tidak sungkan mengkritisi pemerintahan kotanya sendiri. “Bupati (Tak Pernah) Ingkar Janji” adalah film dokumenter terbaru produksi Bowo Leksono bersama CLC Purbalingga yang khusus menyoroti kinerja Bupati dan Wakil Bupati Heru Sudjatmoko dan Sukento Rido M. selama 2 tahun ini. Janji mereka tentang perbaikan pendidikan, hak buruh, pembangunan infrastruktur, dan pemerhatian lingkungan hidup tidak terbukti bahkan disimpangkan.

Film ini khusus diputar di acara Kado buat Kota Tercinta, 24 Desember 2011, sebuah program tahunan setiap ulang tahun Purbalingga yang sudah memasuki jilid ketiga. Film berdurasi 45 dibuka dengan gambar lelaki tua penjual es dawet yang dijanjikan modal berdagang oleh sang Bupati tahun 2010 sebelum ia terpilih. Namun, nyatanya janji itu hanya janji tanpa realisasi.

Menurut dosen Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Bowo Sugiarto, SIP, M.Si yang menjadi pembicara pada forum diskusi usai pemutaran film itu, film dokumenter ini akan mempunyai legitimasi kuat bila ditonton oleh sebanyak-banyaknya orang.

Acara Kado buat Kota Tercinta yang digelar di gedung Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Purbalingga ini tidak hanya memutar film-film yang khusus merefleksikan kota Purbalingga, tapi juga menyajikan wajah Purbalingga dalam bentuk foto, sastra, musik, dan teater. Belakangan CLC memang semakin rajin menggawangi kegiatan berkesenian anak-anak muda Purbalingga yang tidak hanya film.

CLC, yang hampir setahun ini bermarkas di Posko Bambang Soesatyo yang tepat berada sisi barat pendapa bupati Purbalingga, dengan programnya “Kado buat Kota Tercinta” bukan sedang memojokkan Pemkab sebagai aksi balas dendam kejadian di masa lalu. Namun, justru mengingatkan dan mengkritisi pemerintah agar tidak tutup mata dengan berbagai suara masyarakat dan problematikanya.

Posko yang ditempati CLC memang milik Bambang Soesatyo, SE, MBA yang sekarang menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen. Bowo Leksono pernah menegaskan tidak ada kaitan politik dalam penggunaan posko ini untuk kegiatan CLC. Posko ini “dipinjamkan” semata untuk memberikan ruang berkegiatan bagi pemuda Purbalingga yang tidak sedikitpun dipikirkan Pemkab.

Selain digunakan sebagai markas kegiatan CLC, Bambang Soesatyo ini juga digunakan sebagai ruang kegiatan Kelas Menulis Purbalingga dan Komunitas Foto Purbalingga. Komunitas-komunitas ini juga aktif berkarya dan mengkritisi laju pemerintahan Kabupaten Purbalingga yang kadang mandeg dan membelok.

Bowo Leksono sendiri percaya sekeras apapun pemerintah pasti tetap ada celah yang bisa dimuati pesan-pesan kemasyarakatan. “Ibarat usaha meruntuhkan tembok Cina secara terus-menerus, meski tidak benar runtuh sekalipun, tetap akan terbentuk juga lubang keluar,” ungkap Bowo Leksono memberikan perumpamaan.

Maka andaikan Pemkab Purbalingga bisa lebih terbuka dan suportif dengan CLC dan program-programnya, pasti akan terjalin sinergi yang baik untuk masyarakat. Dimana masalah dan kebutuhan masyarakat menjadi lebih didengar dan diperhatikan lewat film, pemerintah lebih tepat menjalankan kebijakannya, dan nama Purbalingga makin terangkat karena karya-karyanya.

Pertanyaannya sekarang, apakah yang menyebabkan Pemkab Purbalingga masih enggan memberikan dukungannya kepada CLC setelah program dan karya-karyanya telah cukup banyak membawa nama baik Purbalingga ke mata nasional dan internasional lewat gairah film lokalnya?

Pencitraan Dalam Media Internet

Imbas dari publikasi yang dilakukan CLC dan respon yang didapatnya melalui media internet, secara tidak langsung juga akan menciptakan pencintraan (image) di mata para pengguna internet khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pencintraan itu berupa penilaian masing-masing orang yang bersifat terbuka, tergantung bagaimana interaksinya dengan objek tersebut, dalam hal ini adalah CLC.

Afit Setiadi, admin group Purbalingga Blogger Community di Facebook mengatakan ia tidak mempermasalahkan Bowo Leksono dan CLC melakukan publikasi dan menyebar informasi di group-nya. Lelaki yang juga menjadi admin group Komunitas Musisi ini mengaku dulu beberapa kali datang ke acara CLC, tapi karena alasan kesibukan kini ia tidak sempat datang lagi.

“Publikasi CLC sudah bagus kok. Cuma yang namanya menjaring ikan kan nggak semuanya bisa langsung dapat,” ungkap pemilik usaha desain kaos ngapak ini bermain perumpamaan.

Saya juga menanyai Ade Miswandono, salah satu anggota Purbalingga Blogger Community, apakah ia tahu tentang CLC dan kegiatannya. Ia menjawab singkat, “Hanya sekedar tahu, tapi tidak mengikuti.”

Itulah kekurangan publikasi CLC yang dilakukan melalui jejaring sosial bernama Facebook tersebut. Dengan kurangnya interest anak muda lokal tentang acara di kotanya sendiri, sulit menciptakan respon yang mumpuni di setiap publikasi yang dilakukan CLC melalui Facebook. Apalagi ketika sampai pada penciptaan image yang kuat.

Bowo Leksono sendiri juga mengakui bahwa salah satu kekurangan publikasi lewat media internet adalah image di masyarakat dan pemerintah menjadi kurang kuat. Kepercayaan mereka terhadap komunitas ini pun juga kurang. Sehingga masyarakat masih ada yang meragukan eksistensi komunitas ini, terlebih CLC memang belum menjadi sebuah organisasi yang diakui secara resmi.

“Dulu CLC pernah ditawari untuk menjadi organisasi resmi oleh Kementrian Pariwisata Kebudayaan dan Olahraga, tapi dengan syarat harus menyelenggarakan seminar terlebih dahulu, lalu membuat laporannya. Dan itu menjadi terlalu mahal ketika harus punya badan hukum, akta notaris, dan rajin bayar pajak juga,” ungkap Bowo Leksono.

Bowo Leksono yang lulusan Ilmu Hukum Universitas Diponegoro itu jelas mengerti bahwa CLC memang harus dibawa ke arah itu. Ia juga mengungkapkan keinginannya tersebut untuk menjadikan CLC sebagai organisasi resmi agar lebih mudah mendapatkan bantuan ketika ada proyek film atau event.

Tetapi, baginya ketika SDM (Sumber Daya Manusia) CLC masih belum kuat hal itu hanya akan percuma. Terlebih ketika harus bayar pajak rutin tapi CLC belum punya pemasukan. Selama ini untuk mendanai proyek yang sifatnya besar, CLC mengakali dengan minta bantuan JKFB (Jaringan Kerja Film Banyumas) yang memang lebih besar dan sudah resmi.

Bicara mengenai SDM yang menjadi salah satu unsur penting dalam sebuah organisasi, CLC juga tidak lepas dari isu kekurangan SDM dan minim regenerasi. Untuk pembagian tugas dalam CLC sendiri, yang utama ada 4 orang. Yaitu Bowo Leksono sebagai Direktur, Nanki Nirmanto di bagian Program Manager, Asep Triyatno di bagian Koordinator Entry, Database dan Mastering, dan Muhammad Febrianto di bagian Foto dan Dokumentasi.

Asep Triyatno yang saya tanyai apakah dengan formasi seperti itu sudah dirasa cukup untuk CLC, mengatakan cukup tidak cukup. Ia menuturkan formasi tersebut hanya akan dirasa kurang ketika ada event besar yang digarap CLC seperti acara tahunan Festival Film Purbalingga misalnya. Untuk menutup kekurangan tersebut, biasanya CLC akan menarik volunteers untuk mensukseskan acara.

Ketika disinggung apa CLC tidak ingin menambah anggota resmi dengan menarik beberapa dari volunteers tersebut misalnya, Asep Triyatno yang beberapa waktu lalu ikut terlibat produksi film “Langit Biru” arahan Nia Dinata ini mengatakan bahwa CLC adalah organisasi berbasis komunitas jadi tidak ingin memaksakan siapapun untuk ikut kecuali dengan keinginan sendiri.

Dan ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada Bowo Leksono, ia tidak terlalu memusingkan hal tersebut. “Saya tidak berharap banyak secara kuantitas, misalnya dalam satu tahun saya harus dapat 10 atau 100 anggota baru seperti pada Pecinta Alam yang hanya hobi naik. Saya masih yakin regenerasi itu baru terjadi setiap 4 tahun sekali, baru CLC dapat 1 orang yang benar-benar serius,” ungkapnya.

Nanki Nirmanto adalah salah satu yang menjadikan film sebagai “sawahnya”, meski Bowo Leksono sendiri tidak menjamin dan menjanjikan materi dari CLC, karena itu sangat tergantung dari orangnya sendiri. Namun terbukti dengan keseriusan, Nanki Nirmanto telah cukup berhasil masuk industri film dengan menjadi asisten produksi di film Hollywood “The Philosopher” yang digarap di Indonesia beberapa waktu lalu.

Kembali menyoal publikasi, Bowo Leksono sebenarnya berharap ada satu tim atau satu orang yang mengurusi masalah publikasi CLC, setidaknya orang itu komunikatif dan figuratif/ mewakili CLC. Untuk sekarang, sisi figuratif itu memang masih dipegang oleh Bowo Leksono sendiri, tapi untuk isu regenerasi tersebut, ia mulai menugaskan Asep Triyatno ke festival-festival film agar ia bisa lebih dikenal, punya jaringan, dan nantinya bisa juga menjadi figur yang mewakili CLC, baik dalam media internet maupun acara-acara.

Selain itu, untuk publikasi melalui media internet yang lebih luas, Bowo Leksono juga membuat blog, akun Youtube, dan Kompasiana yang khusus untuk membagikan berita, info, dan video film maupun kegiatan CLC kepada seluruh pengguna internet. Hal ini tentu baik untuk memancing respon yang lebih luas ketimbang hanya berkutat di jejaring sosial Facebook.

CLC Harus Mematangkan Diri

Ketika saat ini CLC sebagai sebuah komunitas film sudah membanggakan dalam raihan prestasi, yang perlu dimatangkannya lagi adalah sisi keorganisasian, kepengurusan, dan publikasi yang dioptimalkan. “Publikasi massive menjadi kunci keberhasilan sebuah acara. Mau yang datang cuma 5 orang, kalau publikasi dan pemberitaannya besar-besaran, acara itu akan didengar di seluruh negeri,” ungkap Bowo Leksono dalam acara “Kado Buat Kota Tercinta” Sabtu lalu menegaskan misi publikasinya.

Dengan publikasi yang kuat, CLC juga bisa memperkuat image-nya dan siapa tahu menjadi lebih mendapat dukungan pemerintah. Terutama Pemkab Purbalingga sendiri yang masih hobi mencekal dan seolah tidak mau kalah dengan program-program pariwisatanya.

Padahal seperti yang telah dikatakan di atas, jika CLC dan Pemkab Purbalingga dapat menciptakan kemesraan yang saling menguntungkan, itu bisa menjadi sinergi baru untuk bersama-sama membangun kota kecil ini. Namun, bagaimanapun, harapan utama CLC kedepannya adalah bisa tetap aktif berkarya dan membawa lebih banyak manfaat untuk masyarakat lewat film-film berkualitas.

“Saya pengennya secara atmosfir film Purbalingga tetap ramai dan dihargai orang sendiri dulu sebelum dilempar keluar yang jelas akan lebih dihargai,” tekan lelaki yang menolak tawaran kuliah lagi di Jerman demi tetap menjaga nyala film di Purbalingga ini.


1. Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis XL Award 2011.

2. http://archive.kaskus.us/thread/3275051


4. http://clc-purbalingga.blogspot.com/2011/10/film-sman-rembang-sabet-juara-umum-ffa.html


Foto: http://clc-purbalingga.blogspot.com/2011/11/film-pelajar-purbalingga.html

Daftar Pustaka

Cinema Lovers Community Dalam Sejarah

http://hiburan.kompasiana.com/film/2011/11/18/cinema-lovers-community-dalam-sejarah/(diakses tanggal 13 Desember 2011, pukul 19.00 WIB)

Data Film Purbalingga 2004-2011


Film Pelajar Purbalingga

http://clc-purbalingga.blogspot.com/2011/11/film-pelajar-purbalingga.html(diakses tanggal 20 Desember 2011, pukul 20.00 WIB)

Dokumenter Buruh Di Bawah Usia


Film SMAN Rembang Sabet Juara Umum FFA


Peran dan Fungsi Komunitas Dalam Membuat Perubahan Sosial


Wawancara dengan Bowo Leksono (Direktur CLC Purbalingga) di posko Bambang Susatyo, Purbalingga, Rabu, 13 Desember 2011.

5 komentar:

  1. tulisan yang sangat bagus mba, tapi agak terlalu panjang untuk dipajang menjadi sebuh entri blog. Salam sukses selalu :)

    BalasHapus
  2. @mas pradhika: itu untuk lomba karya tulis xl award 2011 mas, jadi emang panjaang. hehe

    BalasHapus
  3. Keren mba...
    Semoga kemajuan perfilman di purbalingga bisa menyebar ke daerah2 lain, termasuk di daerah sy.. palu

    BalasHapus
  4. @mas andichairilfurqan: makasih. semangat! :D

    BalasHapus