“Baik, aku tidak janji akan pulang lagi!” tegas si lelaki. Suaranya beradu bunyi pintu dibanting.
Suara tangis keras perempuan menyusul. Ia memaki, menjerit.
Kebanggaannya sebagai istri hancur. Suaminya ia dapati berbagi hati.
Malam itu, si perempuan meminta si lelaki pulang cepat dan diiyakan. Tapi teh kesukaan si lelaki habis, si perempuan hendak beli ke minimarket terdekat.
Naas, gelas kesayangan mereka mendadak jatuh. Si perempuan menggigit bibir.
Lebih naas lagi, si perempuan malah melihat lelakinya itu di minimarket, bukan masih di kantor seperti yang ia katakan di telepon. Ia sedang menuntun tangan perempuan lain berperut besar, tertawa.
Mereka terlihat seperti pasangan ideal biasa tengah berbelanja. Sedang bagi si perempuan itu adalah neraka baru!
Neraka yang menyulut api sampai ke rumah mereka. Si lelaki disambut tuduhan, sedang si perempuan dibalas beber kelelahan.
“Jangan berfikir macam-macam! Aku lelah.”
“Tapi kamu sendiri boleh macam-macam di luar? Kamu sudah sangat ingin punya bayi, begitu?!”
Pertengkaran yang panas dan geram. Namun..., sedih dan kosong kemudian setelah si lelaki pergi.
Tinggal si perempuan dan getir perasaannya. ”Jika memang itu hanya teman suamiku, seharusnya aku percaya.”
“Pun jika benar itu istri barunya..., seharusnya aku memeluk dan memenangkan hatinya!”
Sesal si perempuan di bingkai jendela kamar, tempat suaminya biasa menggodanya saat bulan bulat penuh. Sekarang ia dan purnama itu lesu.
Sedang di jendela lain, si lelaki juga sama lesu memandang bulan. Ia pulang ke rumah ibunya.
Bukan ke rumah teman perempuan atau istri barunya, yang memang tak pernah ada. Kini ia amat merindukan istri manja dan keras satu-satunya itu.
Juga teh hangat dari satu gelas kesayangan. Yang tidak diketahuinya telah pecah, berkeping.
Suara tangis keras perempuan menyusul. Ia memaki, menjerit.
Kebanggaannya sebagai istri hancur. Suaminya ia dapati berbagi hati.
Malam itu, si perempuan meminta si lelaki pulang cepat dan diiyakan. Tapi teh kesukaan si lelaki habis, si perempuan hendak beli ke minimarket terdekat.
Naas, gelas kesayangan mereka mendadak jatuh. Si perempuan menggigit bibir.
Lebih naas lagi, si perempuan malah melihat lelakinya itu di minimarket, bukan masih di kantor seperti yang ia katakan di telepon. Ia sedang menuntun tangan perempuan lain berperut besar, tertawa.
Mereka terlihat seperti pasangan ideal biasa tengah berbelanja. Sedang bagi si perempuan itu adalah neraka baru!
Neraka yang menyulut api sampai ke rumah mereka. Si lelaki disambut tuduhan, sedang si perempuan dibalas beber kelelahan.
“Jangan berfikir macam-macam! Aku lelah.”
“Tapi kamu sendiri boleh macam-macam di luar? Kamu sudah sangat ingin punya bayi, begitu?!”
Pertengkaran yang panas dan geram. Namun..., sedih dan kosong kemudian setelah si lelaki pergi.
Tinggal si perempuan dan getir perasaannya. ”Jika memang itu hanya teman suamiku, seharusnya aku percaya.”
“Pun jika benar itu istri barunya..., seharusnya aku memeluk dan memenangkan hatinya!”
Sesal si perempuan di bingkai jendela kamar, tempat suaminya biasa menggodanya saat bulan bulat penuh. Sekarang ia dan purnama itu lesu.
Sedang di jendela lain, si lelaki juga sama lesu memandang bulan. Ia pulang ke rumah ibunya.
Bukan ke rumah teman perempuan atau istri barunya, yang memang tak pernah ada. Kini ia amat merindukan istri manja dan keras satu-satunya itu.
Juga teh hangat dari satu gelas kesayangan. Yang tidak diketahuinya telah pecah, berkeping.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar