Siang ini Zahra pulang sekolah
dengan riang. Ia menunjukkan buku tipis dengan sampul bergambar masjid.
Buku Kegiatan Ramadhan. Aih,
ingatanku melayang.
19 tahun lalu, aku juga menggamit
buku itu dengan berdebar-debar.
“Matur nuwun Mas Faiz,” kuambil buku ramadhan yang sudah
ditandatangi guru ngajiku itu. Aku beringsut, bergantian dengan teman yang
lain.
Kusimpan senyum ustadz muda
berwajah bersih dan berpeci putih itu. Umurku 13 tahun saat itu.
Demi mendapatkan tanda tangan dan
senyumnya, aku selalu sholat subuh dan mengikuti kultum di masjid. Juga mengisi
kolom-kolom laporan sholatku dengan centangan penuh.
Ramadhan jadi terasa
menyenangkan. Apalagi saat lebaran, aku bersilaturrahmi ke rumah Ustadz Faiz
bersama ibu.
Aku bisa puas melihat senyumnya. Plus mencicipi lapis buatan ibunya.
Ibu Ustadz Faiz yang ramah
menggodaku agar cepat dewasa. Mau dijodohkan dengan putranya itu katanya.
Ibuku tergelak. Aku tersipu.
Benar-benar melayang rasanya.
Meski setahun kemudian… Ustadz Faiz menikah dengan seorang gadis dari pesantren.
“Ummi, ummi…,” Zahra menggelayut
di lenganku. Mata putri kecilku yang baru kelas 3 SD ini berbinar-binar.
“Ummi, Zahra mau buku ramadhan
ini penuh lho.”
“Oh ya? Bagus dong,” aku paham
pernyataan putriku ini, pasti ada maunya.
“Iya, biar nanti kalau pas
lebaran ke rumah Ustadz Fahmi, Zahra nggak malu.”
Masyaallah, Zahra kecilku ini
mirip sekali denganku. Dan lagi… Ustdaz Fahmi itu kan adiknya Ustadz Faiz.
Kulihat Zahra masih senyum-senyum
dengan buku ramadhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar