Jumat, 15 Juni 2012

Buku Ramadhan

Siang ini Zahra pulang sekolah dengan riang. Ia menunjukkan buku tipis dengan sampul bergambar masjid.

Buku Kegiatan Ramadhan. Aih, ingatanku melayang.

19 tahun lalu, aku juga menggamit buku itu dengan berdebar-debar.


Matur nuwun Mas Faiz,” kuambil buku ramadhan yang sudah ditandatangi guru ngajiku itu. Aku beringsut, bergantian dengan teman yang lain.

Kusimpan senyum ustadz muda berwajah bersih dan berpeci putih itu. Umurku 13 tahun saat itu.

Demi mendapatkan tanda tangan dan senyumnya, aku selalu sholat subuh dan mengikuti kultum di masjid. Juga mengisi kolom-kolom laporan sholatku dengan centangan penuh.

Ramadhan jadi terasa menyenangkan. Apalagi saat lebaran, aku bersilaturrahmi ke rumah Ustadz Faiz bersama ibu.

Aku bisa puas melihat senyumnya. Plus mencicipi lapis buatan ibunya.

Ibu Ustadz Faiz yang ramah menggodaku agar cepat dewasa. Mau dijodohkan dengan putranya itu katanya.

Ibuku tergelak. Aku tersipu.

Benar-benar melayang rasanya. Meski setahun kemudian… Ustadz Faiz menikah dengan seorang gadis dari pesantren.

“Ummi, ummi…,” Zahra menggelayut di lenganku. Mata putri kecilku yang baru kelas 3 SD ini berbinar-binar.

“Ummi, Zahra mau buku ramadhan ini penuh lho.”

“Oh ya? Bagus dong,” aku paham pernyataan putriku ini, pasti ada maunya.

“Iya, biar nanti kalau pas lebaran ke rumah Ustadz Fahmi, Zahra nggak malu.”

Masyaallah, Zahra kecilku ini mirip sekali denganku. Dan lagi… Ustdaz Fahmi itu kan adiknya Ustadz Faiz.

Kulihat Zahra masih senyum-senyum dengan buku ramadhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar