Ika men-scroll kotak chat Facebooknya. Matanya terarah satu nama, yang sayangnya tidak bertanda hijau.
“It would be nice if I found your name in the online chat again,” larinya ke kotak status, lalu logout.
Gadis bermata sipit itu memilih berselonjor di kasurnya. Matanya kini terarah pada dua ekor cicak di dinding kamar.
Keduanya cicak itu mendekat dari arah berlawanan, saling menggerak-gerakkan ekor. Salah satu cicak naik ke cicak lainnya, ekornya bergetar-getar.
“Hhh, cicak kawin!” Ika mendengus sebal, tapi merasa lucu. Tak disangka cicak yang di bawah melarikan diri.
Cicak satunya, yang mungkin si jantan, mengejar, menggangkat kepalanya seperti ingin menyerang. Cicak satunya lagi, mungkin betinanya, juga menggangkat kepalanya.
Keduanya mengeluarkan bunyi berisik. Cek cek cek ceekk…
Si cicak betina pergi, mendekat lampu di tengah langit-langit kamar. Kali ini cicak jantan tidak mengejar, ia berdiam memperhatikan dari seberang dinding.
Ika nyengir miris. “Apa cicak-cicak itu sedang main lakon?”
Ia menggelosorkan kepalanya dari sandaran ranjang ke bantal. Memeluk tangannya sendiri di dada.
“Jadi siapa meninggalkan siapa? Siapa menyakiti siapa?” Ika bergumam lirih. Langit-langit kamar jadi penuh wajah Hari.
Ika menjulurkan tangan, hendak menyentuh wajah kekasihnya itu, seperti saat mereka bertengkar dan Ika ingin meminta maaf tanpa bahasa. Tapi seperti menciduk air, wajah itu lalu buyar…
Ika pedih, memejamkan mata, membiarkan lelehan bening menggelosor di pipinya. Kepalanya berat, oleh ingatan, keinginan, sesal, cinta, benci, ragu, kecewa, rindu…
Cek ceekk… Pelan si cicak betina berbunyi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar