“Tapi aku nggak
punya bayangan kalau nggak sama dia, Cha. Sama siapa, gimana,” Runi
memulai lagi sesi curhatnya setelah terdiam lama.
“Ah, Mba’e aja yang nggak percaya diri,” timpal Icha. Mereka berdua berselonjor di kamar kost Runi. Di luar langit mengukuhkan mendung.
“Sama temenku aja gimana, Mba?” pancing Icha lagi. Meski Runi lebih tua 3 tahun darinya, Icha kadang yang jadi tempat curhat, kadang pula gantian.
“Ogah. Temenmu emang ada yang beres?” Makin tak terbayangkan bagi Runi untuk selingkuh dengan salah satu teman Icha.
“Iiih, Mbae. Ada lah. Ada tuh yang perhatian, baik. Tapi masih 19 tahun. Hehe...,” cengir Icha.
“Ogah banget,” tolak Runi keki.
“Ada lagi, Mba. 25an kayaknya umurnya. Guru,” Icha tak menyerah berpromosi.
“Teyuuss?” kali ini Runi pura-pura tertarik.
“Ntar aku kenalin, deh.”
“Ogah, ah. Nggak natural. Aku maunya yang ketemu secara alami, nyambung, tanpa tendesi,” Runi sengaja pasang syarat sulit.
“Jiaaah, Mbaee…”
Icha gemas sendiri. Baginya untuk ukuran perempuan 21 tahun, Runi terlalu lurus. Yang dilihatnya cuma Mas Akbar, tunangannya yang sekarang lagi marahan hebat. Bukan kali ini saja mereka bertengkar.
Icha bilang dengan mengenal lebih banyak cowok Runi bisa punya pembanding dan tahu apakah Mas Akbar itu yang terbaik. Atau setidaknya jadi tahu gimana caranya bersikap kepada lelaki yang 4 tahun memacarinya itu.
“Ah, nggak tahulah, Cha,” ia melempar pandang ke luar jendela. Langit sudah tuntas mendung, tinggal menumpahkan jutaan liter air.
Selepas Icha pulang, Runi memeluk lututnya sendiri di pojok kasur. Rindu.
***
“Kamu beneran mau nikah tahun depan, Ni?” Mas Hadi, mentor menulis Runi bertanya tiba-tiba. Icha dan Tria sedang keluar membeli cemilan, jadilah ruang itu terlalu lengang tanpa diisi pembicaraan.
“Eh, iya, kayaknya,” Runi tak yakin sendiri dengan jawabannya.
Ia lalu jadi ingin mendengarkan pendapat. “Mas, boleh tanya? Emang buat cowok, masalah finansial itu selalu jadi pertimbangan banget, ya?”
“Pastinya. Kita kan dibesarkan dengan budaya patriarki. Dimana beban lelaki jelas lebih besar. Mau perempuannya pinter kayak apa cari duit, tetep aja lelaki itu punya tugas ngempani.” Mas Hadi yang tahu arah pembicaraan Runi menjabarkan fakta begitu saja.
Runi kembali memeluk lutut, hal yang ia lakukan ketika memikirkan sesuatu.
“Sejatinya yang cowok cari dari perempuan itu bukan cantik. Tapi nyaman,” tandas Mas Hadi kemudian, membuat Runi menyadari apa yang hilang dari hubungannya.
Tak lama Icha dan Tria datang, membawa plastik belanjaan dengan berbasah-basahan. Hujan memang sedang hobi bertandang. Harusnya mampu membasahi hati siapa saja yang kaku.
“Hei, Cha, nggak perlu selingkuh cuma buat nyari perbandingan dan ngertiin perasaan cowok tahu!” mantap Runi saat mereka pulang bersama.
Dalam hati Runi berterima kasih untuk “kunci” yang ditunjukkan hari ini. Mungkin malam ini ia akan minta maaf duluan sebelum tidur.
-------------------------------------------------
#Also based on my true story. Thanks to Syifa and Mas Bangkit. :)
“Ah, Mba’e aja yang nggak percaya diri,” timpal Icha. Mereka berdua berselonjor di kamar kost Runi. Di luar langit mengukuhkan mendung.
“Sama temenku aja gimana, Mba?” pancing Icha lagi. Meski Runi lebih tua 3 tahun darinya, Icha kadang yang jadi tempat curhat, kadang pula gantian.
“Ogah. Temenmu emang ada yang beres?” Makin tak terbayangkan bagi Runi untuk selingkuh dengan salah satu teman Icha.
“Iiih, Mbae. Ada lah. Ada tuh yang perhatian, baik. Tapi masih 19 tahun. Hehe...,” cengir Icha.
“Ogah banget,” tolak Runi keki.
“Ada lagi, Mba. 25an kayaknya umurnya. Guru,” Icha tak menyerah berpromosi.
“Teyuuss?” kali ini Runi pura-pura tertarik.
“Ntar aku kenalin, deh.”
“Ogah, ah. Nggak natural. Aku maunya yang ketemu secara alami, nyambung, tanpa tendesi,” Runi sengaja pasang syarat sulit.
“Jiaaah, Mbaee…”
Icha gemas sendiri. Baginya untuk ukuran perempuan 21 tahun, Runi terlalu lurus. Yang dilihatnya cuma Mas Akbar, tunangannya yang sekarang lagi marahan hebat. Bukan kali ini saja mereka bertengkar.
Icha bilang dengan mengenal lebih banyak cowok Runi bisa punya pembanding dan tahu apakah Mas Akbar itu yang terbaik. Atau setidaknya jadi tahu gimana caranya bersikap kepada lelaki yang 4 tahun memacarinya itu.
“Ah, nggak tahulah, Cha,” ia melempar pandang ke luar jendela. Langit sudah tuntas mendung, tinggal menumpahkan jutaan liter air.
Selepas Icha pulang, Runi memeluk lututnya sendiri di pojok kasur. Rindu.
***
“Kamu beneran mau nikah tahun depan, Ni?” Mas Hadi, mentor menulis Runi bertanya tiba-tiba. Icha dan Tria sedang keluar membeli cemilan, jadilah ruang itu terlalu lengang tanpa diisi pembicaraan.
“Eh, iya, kayaknya,” Runi tak yakin sendiri dengan jawabannya.
Ia lalu jadi ingin mendengarkan pendapat. “Mas, boleh tanya? Emang buat cowok, masalah finansial itu selalu jadi pertimbangan banget, ya?”
“Pastinya. Kita kan dibesarkan dengan budaya patriarki. Dimana beban lelaki jelas lebih besar. Mau perempuannya pinter kayak apa cari duit, tetep aja lelaki itu punya tugas ngempani.” Mas Hadi yang tahu arah pembicaraan Runi menjabarkan fakta begitu saja.
Runi kembali memeluk lutut, hal yang ia lakukan ketika memikirkan sesuatu.
“Sejatinya yang cowok cari dari perempuan itu bukan cantik. Tapi nyaman,” tandas Mas Hadi kemudian, membuat Runi menyadari apa yang hilang dari hubungannya.
Tak lama Icha dan Tria datang, membawa plastik belanjaan dengan berbasah-basahan. Hujan memang sedang hobi bertandang. Harusnya mampu membasahi hati siapa saja yang kaku.
“Hei, Cha, nggak perlu selingkuh cuma buat nyari perbandingan dan ngertiin perasaan cowok tahu!” mantap Runi saat mereka pulang bersama.
Dalam hati Runi berterima kasih untuk “kunci” yang ditunjukkan hari ini. Mungkin malam ini ia akan minta maaf duluan sebelum tidur.
-------------------------------------------------
#Also based on my true story. Thanks to Syifa and Mas Bangkit. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar