Senin, 25 Juli 2011

Purwokerto-Jogja

Raharja Purwokerto-Jogja mulai berjalan, aku melihat bapakku mengangguk pamit pada mbah penjual kembang yang tadi diajaknya bicara, lalu menuju Astreanya. Aku masih menatap keluar jendela, beberapa detik suasana pagi pasar Sokaraja tertangkap mataku. Kemudian wajan ibuku melintas. “Hati-hati di bis. Waspada maring sapa bae,” pesannya semalam, juga pagi ini sebelum aku berangkat.

Aku memperhatikan isi bis, ada seorang lelaki berkacamata hitam di sebelah kanan, aku menebak ia mulai terkantuk di balik kacamatanya. Di depanku, seorang wanita muda tengah diajak ngobrol oleh seorang bapak. Aku bisa melihat wajah dan kepala mereka menyembul mengangguk-angguk dari kursiku. Masih tahap bertanya tujuan, aku menguping.

Aku juga memutar pandang ke belakang, ada segerombolan anak muda seumuranku, membawa ransel. “Hanya aku yang berangkat berjuang sendiri, sepertinya,”aku menghela nafas.

“Saya pernah kerja di agency model di Jakarta. Mba’e kalau tertarik, bisalah saya bantu lewat teman saya,” kata si bapak. “Bisa ya, Pak?” respon si wanita. Wah, sudah pada tahap promosi, aku menguping lagi obrolan di depanku.

Ganti aku melirik kursi kosong tepat di sampingku. “Biarlah tetap kosong,” aku berharap. Aku sedang tidak ingin diajak atau mengajak bicara siapapun, lebih senang mengamati saja.

Pengamen berisik, bakul permen, bakul sale, pengamen agak merdu, bakul tahu lontong, beberapa penumpang naik, pengamen lagi. Banyumas, Cilacap, Kebumen, dan…Jogja!

Ah, aroma harapan, pendidikan, masa depan! Aku merapatkan muka ke kaca jendela menghafal beberapa nama universitas yang mulai bersebaran gerbang dan spanduknya. Mimikku pasti lebih norak dari orang yang baru pertama melihat Monas.

“Jogja! Aku harus lolos masuk satu yang terbaik di sini. Beasiswa. Ya!” Aku mengepalkan tangan, jadi seperti scene film perjuangan yang pernah kutonton.

Giwangan, aku membaca tulisan di gerbang terminal sekaligus mendengar seruan yang sama dari mas karcis yang tadi menagih Rp. 30.000,- kepadaku. Penumpang yang tersisa mulai turun, sebagian sudah turun di Wates dan Ambar Ketawang. Si bapak di depanku juga sudah di pintu keluar. Tapi lho mana si mbak lawan ngobrolnya tadi? Wah, aku kelewatan episode mereka!

WC! Otakku cepat memerintahkan mencari tempat penting itu setelah turun dari bis. Mengikuti papan penunjuk di atas lapak penjual jajanan di dalam terminal, aku menemukannya di pojok dekat tangga.

Lega dari WC sekaligus sholat di mushola kecil di sampingnya, otakku selanjutnya memandu mengambil 1600-ku dari saku jaket untuk segera meng-SMS Pak dhe Harto minta dijemput. Tapi…

“Tidaakk, HPku baterenya habis. Mati!” Aku menjerit di otakku. Lemas, aku duduk di bangku di belakangku, lalu meminum habis isi botol minumanku yang memang tinggal sedikit. “Tenang. Ayo berfikir, Tika!” kali ini aku yang coba memandu otakku.

“Mau kemana, Mba?” Tahu-tahu sudah ada seseorang di sampingku, menanyaiku pula. “Condong Catur,” aku menjawab sambil menengok, lalu kaget sendiri.

Bapak mantan agency model yang tadi duduk di depanku! Otakku berfungsi lagi dan mendeskripsikannya dengan tepat. Aku tak mungkin salah, aku hafal suara dan gaya rambutnya.

“Saya dulu guru SD di Condong Catur. Ini saya mau kesana lagi, ada kepentingan. Nanti bareng saya naik mobil teman saya saja. Mba’e namanya siapa, ya? Saya Heri.”

What?” Perkenalan dan tawawan si bapak sangat janggal di nalarku. Bahkan seingatku, ia mengaku bernama Jalal kepada si wanita di bis. "Nggak beres nih orang.”

“Oh pak dhe, cepatlah datang.” Aku meringis, menggeser posisi dudukku. (Alfy Aulia)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar