Sabtu, 30 Juli 2011

Malam Selasa Kliwon

"Pancen mulutnya rusak. Bisa-bisanya dia nyebar gosip katanya kamu melas-melas sama Bu Khoti minta cepat dikawinkan dengan Dayat. Lha wong dia sendiri yang sudah pengen mantu kok. Itu anaknya sendiri centilnya nggak ketulungan," Bu Kasmi ngoceh-ngoceh sepulangannya dari warung. "Bu Warti lagi, Bu?" tanya Nisa ringan sambil menyelesaikan menyapu teras.

"Iya. Siapa lagi? Orang kayak gitu harusnya didukuni biar kawus," kata Bu Kasmi dengan gemas. "Biarkan saja lah, Bu. Toh gosipnya nggak benar," Nisa mencoba meredakan ibunya.

"Biarkan gimana? Wong sudah keterlaluan kok. Dari dulu! Senangnya fitnah keluarga kita. Benar harus didukuni biar kawus!" Bu Kasmi meninggalkan Nisa dengan raut angker. Nisa jadi khawatir dengan ibunya.

******

Nisa menatap layar HP-nya muram. Dari puluhan kata di SMS Mas Dayat tadi sore, satu kata saja yang membuatnya lemas: putus.

"Nis, kamu sama Dayat baik-baik saja, kan?" Ibu tiba-tiba menjejerinya duduk di ruang tengah. Nisa kaget, HP-nya nyaris menggelosor ke lantai.

"Oh, iya, Bu. Baik-baik saja kok," Nisa menjawab tergagap. "Awas lho kalau sampai putus! Kita bisa disoraki sama Si Warti," Bu Kasmi memperingatkan keras, lebih tajam dari biasanya.

"Bu, mau kemana? Sudah malam," Nisa memperhatikan ibunya hendak keluar. "Ada urusan. Nggak usah berisik!" Bu Kasmi menjawab singkat penuh penekanan, tak biasanya.

*****

Malam itu, tepat malam Selasa Kliwon, Bu Kasmi mendatangi Dukun Cipto di Desa Selarangan, "Mbah, tulung...” Si dukun manggut-manggut masygul.

Bu Kasmi tidak tahu, siangnya, lebih dulu darinya, Bu Warti telah mendatangi dukun yang sama. "Mbah, tulung buat sial tetangga saya, Kasmi dan Nisa, anaknya. Saya sudah lama dendam dengan mereka.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar