Senin, 26 Desember 2011

CLC Purbalingga: Internet Bantu Dongkrak Gairah Film Lokal, Pemkab Hobi Mencekal

CLC Purbalingga: Internet Bantu Dongkrak Gairah Film Lokal, Pemkab Hobi Mencekal1

Oleh: Nurul Aulia Alfiyah


“Mau pemerintah bubar kita juga tetap bisa jalan,” ungkap Bowo Leksono, Direktur CLC Purbalingga, santai tapi tegas. Tidak tampak raut kekhawatiran sama sekali di wajah lelaki tambun ini akan nasibnya beserta komunitasnya.

Purbalingga Kota Film

Purbalingga adalah sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tepatnya di kaki Gunung Slamet. Saat mencari informasinya di Google, Anda boleh percaya kota ini adalah kota pembuat wig (rambut palsu) dan bulu mata palsu terbesar di Indonesia2. Namun, selain itu Anda juga patut percaya Purbalingga adalah kota film, bahkan ada yang menyebut Purbalingga Hollywood-nya Indonesia3.

Selasa, 20 Desember 2011

Lama


Pukul 06:30 Sutono sudah siap menunggu bis di depan rumahnya. Ia masih ingat semalam ia menunggu lama di bengkel tapi motornya belum beres.

5, 10, 15 menit Sutono menunggu dan bis baru datang. Sutono menggerutu.

Di dalam bis yang penuh oleh anak sekolah dan perempuan PT itu ia tidak dapat tempat duduk. Ia menunggu setengah jam hingga semua anak sekolah turun untuk dapat tempat duduk disamping seorang bakul wedus. Sutono menggerutu lagi.

Takut Mati


Malam intim kurenungi
pikiran sendiri kurenangi
menekur jalan yang alpa
merasakan kefakiran yang kusut

Ada sakit badan tak terobati
ada duka menggerogoti hati
ada saja ketakutan akan mati

Kamis, 10 November 2011

Hujan Semalaman


Ini lakon hujan semalaman
Atap rumah tak henti berdetak
Kucing tidur nyenyak
Sedang tikus gaduh berkejaran
Aku mencoba mengatupkan mata
Tapi otakku seperti dipenuhi serangga yang menyala

Aku dan hujan terjaga semalaman
Kita seperti teman yang sama tak beruntung
Telah banyak mencurahkan peluh, tapi pelangi tak kunjung datang
“Mungkin kita salah jalan, atau waktu,” sesalku
Mendengar itu hujan makin muram, membumbui petir malam yang gusar
Seperti jerit dari hati terdalam
“Dimana kebahagiaan sebenarnya?”

aku laron

aku laron
yang dulu menyangka diri kunang-kunang
nyatanya aku lebih redup dari malam

aku laron
yang dulu merasa bisa jadi kupu-kupu
nyatanya bunga-bunga menolakku

aku laron
yang dulu bermimpi terbang tinggi
nyatanya sayapku ringkih, nyalipun tipis


Senin, 24 Oktober 2011

Cerita Simbah

Assalamu ‘alaikum warrohmatullahi wabarrokatu.

Tak biasanya ya, aku mengawali catatanku dengan salam? Bukan karena aku mau pidato lho. Dan bukan tanpa alasan pula. Hari ini aku belajar banyak, termasuk nikmatnya saling mengucapkan salam sesama muslim.

Minggu pagi ini, sudah kuniatkan mendatangi pengajian di Masjid Agung Darussalam Purbalingga. Aku berangkat sendiri, hanya diantar bapak sampai pangkalan angkot di Gembrungan. Dua orang teman yang kuajak mengatakan tidak bisa. Ah, tak apa. Toh, aku biasa pergi kemana-mana sendiri. Apalagi niatnya baik, mengaji, insyaallah aman dan bertemu sesama jamaah di sana.

Sampai di Purbalingga, aku sempat berdiri beberapa saat di alun-alun, membaca koran dinding yang baru diganti, juga mengamati beberapa orang yang duduk-duduk dan berjalan di lingkaran batu refleksi di bawah pohon beringin. Setelah kulihat beberapa orang memasuki masjid, kuputuskan menyeberang dan masuk lewat jalan samping kanan masjid.



Minggu, 09 Oktober 2011

Surat Sayang

Sayang, aku ingin melingkari setiap tanggal di kalenderku dengan spidol kuning cerah hingga genap 50 minggu kemudian.

Aku ingin menulis banyak cerita pendek dan puisi lalu dibukukan, dimana disana ada selipan inspirasi darimu.

Aku ingin menyisir rambutku dan tersenyum di cermin setiap sabtu malam, seperti saat kau berkunjung ke rumah.

Aku ingin pergi berhari minggu ke keramaian kota kecilku, dimana disana ada jejak dan ingatan kita.

Aku ingin menyeduh teh dan merasakan hangatnya gelasnya di tanganku, seperti saat kau menggenggam tanganku setelah meminum teh sama yang kubuat untukmu.

Aku ingin memandang langit, dan merasakan apapun perasaan yang datang, dimana kita sering memasrahkan harapan.

Aku ingin bangun dini hari lalu mencuci tangan dan wajahku, seperti kau tentramkan hatiku dengan mengajak bermesra denganNya.

Aku ingin mengunjungi rumahmu, melihat ibumu, dimana ada raut teduh yang sama sepertimu.

Pun, aku ingin melihat raut ibuku, yang padanya kau titipkan ketenangan akan cinta putrinya ini.

Sayang, aku ingin melalui waktu tanpamu ini semulus jalan saat kau mengantarku pulang.

Dan segera kita sampai pada waktu untuk bersama, dimana akan tumbuh harapan, juga keinginan baru yang lebih rahmah dan indah.


Note: Sayang, ini bukan wish list biasa, tapi juga surat sayangku untukmu. :)

Jumat, 30 September 2011

Kalem Saja

Menemu orang baik mudah,
tidak dengan yang benar ikhlas hatinya
Pun jatuh hati indah,
tapi tidak memasrahkannya segala

Aku (sedang) kehilangan rasa
Tapi aku bertanya, pernahkah benar aku memilikinya?
Sebab hati seperti jaksa
Banyak menuntut, kadang tak tega
Kadang silau, banyak godanya
Yah, begitulah

Diam bukan tak mengerti, Sayang
Matahari kalem saja mencintai bulan
Ada Tuhan di antara mereka
Juga di resahnya kita.

Sabtu, 24 September 2011

Random Pictures

These are random pictures from my random browsing. Yeah, sometimes pictures speak more than writing. Enjoy! :)





Sabtu, 03 September 2011

Pohon Maaf

Ini semacam kartu lebaran yang aku bikin 4 hari sebelum lebaran, terus aku upload di FB. Eh, malah kelupaan di-posting di blog, baru inget sekarang. =='
Meski telat, mohon maaf lahir batin, ya. Tetap semangat setelah lebaran! ;)

Senin, 29 Agustus 2011

Tuku Iwak

Hawa lebaran sudah terasa sejak tarawih semalam. Pagi ini, setelah pulang sholat Subuh di masjid, aku bareng Panggih diajak Uwa Trisno tuku iwak di Pasar Kutawis. Tuku iwak atau beli ikan sudah jadi kebiasaan menyambut lebaran disini, baik iwak ayam maupun iwak banyu.
Saat Uwa sibuk melihat dan menawar ikan Bawal, aku malah asyik “menjepret” aktifitas jual beli ikan, ketupat, dan orang-orang prepegan lainnya. Di rumah, emak juga sibuk menganyam janur jadi ketupat.
Ini dia foto-foto yang aku ambil secara random. Selamat menyambut Lebaran. :)
Pasar Kutawis, Bukateja.

Depan pasar penuh penjual dan pembeli ikan.

Minggu, 14 Agustus 2011

Kreditan

Darti menghampiri mobil pickup yang lebih mirip lapak pakaian itu. Dedi, anaknya, ia bopong tergesa.

Mborongi,Nah?” Ia menyapa Tonah yang sudah lebih dulu memilih-milih isi pickup, menjembreng sebuah baju muslim anak. “Ngredit lah, 5 bulan,” jawab Tonah. “Ikut milih Ded. Minta yang bagus untuk lebaran,” ia menjawil Dedi yang masih dibopong Darti. Anak 4 tahun itu justru minta turun.

“Danii,” Dedi memanggil ceria temannya. Darti menoleh, ada Sutin, ibu Dani yang tiba-tiba datang. “Eni, sini millih baju yang bagus. Dani juga pilihkan,” Sutin berkoar memanggil anaknya yang satu lagi di belakangnya.

“Bayar langsung harganya dikurangi, ya,” Darti menunjukkan setelah baju anak berwarna biru yang dipilihnya untuk Dedi kepada Munah si penjual pakaian kreditan keliling itu. Parno, anak Munah yang bertugas menyetir pickup, tengah menggoda Eni. “Enii, minta nomor HP kamu, ya.”

“Ya, itu jadi 30 ribu deh, tek korting 5 ribu,” jawab Munah. “Aku juga mau bayar langsung. Ini semua, bajuku, Eni, sama Dani jadi berapa?” Sutin menyela, melirik Darti tak mau kalah.

“Nanti SMS aku sekalian ngisikan aku pulsa, ya,” Eni melambai pada Parno. Disampingnya, Sutin tampak kerepotan membopong Dani dan baju-baju yang baru dibelinya. Darti tertawa melihat polah ibu-anak itu.

“Aku jadinya kredit saja lah. Sekalian sama daster ini, ya,” Darti mencolek Munah. Munah tertawa, ia pun menuliskan nama Darti di buku kreditnya sore itu.

******

“Ma, minta uang 30 ribu untuk bayar buka bersama dan zakat di sekolah,” pagi-pagi Eni menyodorkan tangannya pada Sutin yang sedang menyiapkan alat-alat membuat wig-nya di rumah. “Endasmu! Uang mama sudah habis untuk beli baju kamu dan Dani kemarin!” bentak Sutin.

Lha terus aku bayar zakat pakai apa?” Eni merengek. “Ora urus! Yang penting sudah bisa beli baju lebaran, juga buat Darti panas,” jawab Sutin bangga.

“Kalau begitu ya mending kemarin kredit saja lah, Ma. Tetangga panas wong kita sendiri yang ‘kebakaran’ nggak punya uang,” gadis SMP itu tak mau kalah pintar dari ibunya. Sutin mendelik.

Senin, 08 Agustus 2011

Alun-Alun Purbalingga Jepretku

Alun-alun Purbalingga, banyak sekali kenangan dan hal-hal menarik di sini. Terakhir, aku jadi suka sekali jepret-jepret dengan Nokia 5233ku. Memotret ratusan orang yang berseliweran, anak kecil, penjual mainan, berbagai penjual makanan, pohon beringin yang teguh, rumput yang rendah hati, layang-layang dan balon yang mengudarakan harapan. Banyak hal, banyak inspirasi. Bahkan beberapa kali alun-alun Purbalingga juga jadi setting puisi dan FF-ku.

Enjoy some of photos I took at Alun-Alun Purbalingga. :)

7 Agustus 2011




Bulan Sayang

Bulan tergelincir di pucuk pohon
malam ini
Beku menyisir perdu, mengigil
Aku biru
haru menyesak mata, hati
Ramadhan ini, aku masih terbangun

Kutekuni surat satusatu
Ayat didaras, rindu menderas
Kujemput subuh biar pagi
Hati ini
jadi bungah, aku masih diijabah

Siang sore sabar, belajar
Dan aku pulang
Pintu putih, hitam jadi binar
Tercuci, hati yang kerontang
Ramadhan ini, nikmatnya, Sayang.

Sabtu, 30 Juli 2011

Malam Selasa Kliwon

"Pancen mulutnya rusak. Bisa-bisanya dia nyebar gosip katanya kamu melas-melas sama Bu Khoti minta cepat dikawinkan dengan Dayat. Lha wong dia sendiri yang sudah pengen mantu kok. Itu anaknya sendiri centilnya nggak ketulungan," Bu Kasmi ngoceh-ngoceh sepulangannya dari warung. "Bu Warti lagi, Bu?" tanya Nisa ringan sambil menyelesaikan menyapu teras.

"Iya. Siapa lagi? Orang kayak gitu harusnya didukuni biar kawus," kata Bu Kasmi dengan gemas. "Biarkan saja lah, Bu. Toh gosipnya nggak benar," Nisa mencoba meredakan ibunya.

"Biarkan gimana? Wong sudah keterlaluan kok. Dari dulu! Senangnya fitnah keluarga kita. Benar harus didukuni biar kawus!" Bu Kasmi meninggalkan Nisa dengan raut angker. Nisa jadi khawatir dengan ibunya.

******

Nisa menatap layar HP-nya muram. Dari puluhan kata di SMS Mas Dayat tadi sore, satu kata saja yang membuatnya lemas: putus.

"Nis, kamu sama Dayat baik-baik saja, kan?" Ibu tiba-tiba menjejerinya duduk di ruang tengah. Nisa kaget, HP-nya nyaris menggelosor ke lantai.

"Oh, iya, Bu. Baik-baik saja kok," Nisa menjawab tergagap. "Awas lho kalau sampai putus! Kita bisa disoraki sama Si Warti," Bu Kasmi memperingatkan keras, lebih tajam dari biasanya.

"Bu, mau kemana? Sudah malam," Nisa memperhatikan ibunya hendak keluar. "Ada urusan. Nggak usah berisik!" Bu Kasmi menjawab singkat penuh penekanan, tak biasanya.

*****

Malam itu, tepat malam Selasa Kliwon, Bu Kasmi mendatangi Dukun Cipto di Desa Selarangan, "Mbah, tulung...” Si dukun manggut-manggut masygul.

Bu Kasmi tidak tahu, siangnya, lebih dulu darinya, Bu Warti telah mendatangi dukun yang sama. "Mbah, tulung buat sial tetangga saya, Kasmi dan Nisa, anaknya. Saya sudah lama dendam dengan mereka.”

Senin, 25 Juli 2011

Purwokerto-Jogja

Raharja Purwokerto-Jogja mulai berjalan, aku melihat bapakku mengangguk pamit pada mbah penjual kembang yang tadi diajaknya bicara, lalu menuju Astreanya. Aku masih menatap keluar jendela, beberapa detik suasana pagi pasar Sokaraja tertangkap mataku. Kemudian wajan ibuku melintas. “Hati-hati di bis. Waspada maring sapa bae,” pesannya semalam, juga pagi ini sebelum aku berangkat.

Aku memperhatikan isi bis, ada seorang lelaki berkacamata hitam di sebelah kanan, aku menebak ia mulai terkantuk di balik kacamatanya. Di depanku, seorang wanita muda tengah diajak ngobrol oleh seorang bapak. Aku bisa melihat wajah dan kepala mereka menyembul mengangguk-angguk dari kursiku. Masih tahap bertanya tujuan, aku menguping.

Aku juga memutar pandang ke belakang, ada segerombolan anak muda seumuranku, membawa ransel. “Hanya aku yang berangkat berjuang sendiri, sepertinya,”aku menghela nafas.

“Saya pernah kerja di agency model di Jakarta. Mba’e kalau tertarik, bisalah saya bantu lewat teman saya,” kata si bapak. “Bisa ya, Pak?” respon si wanita. Wah, sudah pada tahap promosi, aku menguping lagi obrolan di depanku.

Ganti aku melirik kursi kosong tepat di sampingku. “Biarlah tetap kosong,” aku berharap. Aku sedang tidak ingin diajak atau mengajak bicara siapapun, lebih senang mengamati saja.

Pengamen berisik, bakul permen, bakul sale, pengamen agak merdu, bakul tahu lontong, beberapa penumpang naik, pengamen lagi. Banyumas, Cilacap, Kebumen, dan…Jogja!

Ah, aroma harapan, pendidikan, masa depan! Aku merapatkan muka ke kaca jendela menghafal beberapa nama universitas yang mulai bersebaran gerbang dan spanduknya. Mimikku pasti lebih norak dari orang yang baru pertama melihat Monas.

“Jogja! Aku harus lolos masuk satu yang terbaik di sini. Beasiswa. Ya!” Aku mengepalkan tangan, jadi seperti scene film perjuangan yang pernah kutonton.

Giwangan, aku membaca tulisan di gerbang terminal sekaligus mendengar seruan yang sama dari mas karcis yang tadi menagih Rp. 30.000,- kepadaku. Penumpang yang tersisa mulai turun, sebagian sudah turun di Wates dan Ambar Ketawang. Si bapak di depanku juga sudah di pintu keluar. Tapi lho mana si mbak lawan ngobrolnya tadi? Wah, aku kelewatan episode mereka!

WC! Otakku cepat memerintahkan mencari tempat penting itu setelah turun dari bis. Mengikuti papan penunjuk di atas lapak penjual jajanan di dalam terminal, aku menemukannya di pojok dekat tangga.

Lega dari WC sekaligus sholat di mushola kecil di sampingnya, otakku selanjutnya memandu mengambil 1600-ku dari saku jaket untuk segera meng-SMS Pak dhe Harto minta dijemput. Tapi…

“Tidaakk, HPku baterenya habis. Mati!” Aku menjerit di otakku. Lemas, aku duduk di bangku di belakangku, lalu meminum habis isi botol minumanku yang memang tinggal sedikit. “Tenang. Ayo berfikir, Tika!” kali ini aku yang coba memandu otakku.

“Mau kemana, Mba?” Tahu-tahu sudah ada seseorang di sampingku, menanyaiku pula. “Condong Catur,” aku menjawab sambil menengok, lalu kaget sendiri.

Bapak mantan agency model yang tadi duduk di depanku! Otakku berfungsi lagi dan mendeskripsikannya dengan tepat. Aku tak mungkin salah, aku hafal suara dan gaya rambutnya.

“Saya dulu guru SD di Condong Catur. Ini saya mau kesana lagi, ada kepentingan. Nanti bareng saya naik mobil teman saya saja. Mba’e namanya siapa, ya? Saya Heri.”

What?” Perkenalan dan tawawan si bapak sangat janggal di nalarku. Bahkan seingatku, ia mengaku bernama Jalal kepada si wanita di bis. "Nggak beres nih orang.”

“Oh pak dhe, cepatlah datang.” Aku meringis, menggeser posisi dudukku. (Alfy Aulia)


Selasa, 19 Juli 2011

Bukan Drama Korea

“Terus Hye Mi ngejar bis itu. Pas bis berhenti, Hye Mi mengkalungkan medalion ke Sam Dong. Terus mereka… Aaa, beautiful ending ever!”

“…..”

“Hanu? Tidur, ya?”

“Hoahmm. Belum. Baru ngantuk. Hehe. Itu tadi udah tamat?”

“…..”

“Ra?”

“…..”

“Rara.. Hei, sekarang kamu yang tidur, ya?”

“Kenapa sih kamu nggak pernah bisa bersikap manis? Dikit aja. Aku kan pengen kamu bujuk pakai coklat, dinyanyiin lagu, diajak ke danau, dikejar pas naik bis. Atau apalah kayak di drama Korea.”

“Aku kan nggak pernag nonton drama Korea, Ra. Tau juga karena sering diceritain kamu. Eh, di film itu ada yang pinter Kimia kayak aku nggak?”

“….”

“Besok ulangan lho, Ra. Udah belajar?”

Klik. Tut tuut.

”Ra?”

*****

Teleponku ga diangkat lagi? Udah sibuk belajar, ya?

Sent to Rara

20: 13

19/07/2011

*****

Rara duduk di bangku belakang bis, dekat jendela. Bis belum jalan, masih di depan SMA-nya. Si kernet masih ber-ayo pulang neng. Rara menggerutu, “Lama banget. Panas!”

Rara merogoh tas, mencari buku Fisikanya yang tipis untuk kipasan. “Nggak ada?”

“Ra..” Hanu muncul tiba-tiba di jendela bis. Rara kaget. Hanu melongokkan wajah, dekat wajah Rara.

Rara deg-deg ah. “Akankah? Akankah?” Khayalan Rara terbang ke adegan terakhir Dream High. Mukanya dibuat innocent.

“Jangan teledor. Ini buku Fisikamu!” Hanu menepukkan buku ke jidat Rara. “Pengen mati, ya ninggalin buku di kelas? Besok kan ulangan Listrik Dinamis.”

“Hhh..” Rara spontan pasang muka kesal. Ia menarik kaca jendela bis. “Eehh..,” Hanu buru-buru menarik kepalanya.

“Kamu pengen bunuh aku, ya?” Hanu berteriak dari luar, memegangi lehernya yang nyaris kejepit kaca jendela bis. Rara memalingkan muka. “Dasar!”

Bis sudah jalan, tapi Rara masih kepanasan. Buku Fisikanya yang dari Hanu barusan ia kipas-kipaskan kasar. Dari dalam buku tiba-tiba menggelosor selembar kertas.

Maafin aku, Ra. Aku mungkin emang ga mau, ga bisa semanis cowok-cowok Korea di drama favoritmu, tapi…

masa gitu aja kamu marah banget sama aku?

Di belakang ada rangkuman. Belajar!

Aku sayang kamu, Ra, dengan caraku.
Hanu

Hati Rara seperti diremas, tapi juga mendadak sejuk. Ia membalik kertas itu.

Rangkuman Listrik Dinamis

Kuat arus listrik:

I=q/t=n.e/t

I= arus listrik (Ampere)

q= muatan listrik (Coulomb)

t= waktu (Second)

n= jumlah elektron

e= muatan elektron=1,6 x 10-19 C

“Hanu, Hanu.”

Minggu, 17 Juli 2011

Resepsi

Astri mematut dirinya di cermin, berkebaya putih dan bersanggul melati. Sempurna, andai saja ia bisa melengkapinya dengan seulas senyum khas pengantin. “Aku nggak pantas,” satu air matanya jatuh.

Bayu menekan dial di HP-nya lagi, sudah yang kelima kali, mantan kekasihnya tetap tidak bisa dihubungi. Ia gelisah di mobilnya, “Kita sudah hampir sampai di gedung resepsi, Mas Bayu,” suara Pak Gino, supirnya, membuatnya tetap harus bersiap.

“Makasih, Bang,” Laras menerima kembalian dari si abang bajaj. Ia merasa masih merasakan getaran kendaraan orange itu. Atau justru itu getaran kegugupannya sendiri? Laras membenahi dress marunnya, menarik nafas, mencoba tersenyum memasuki gedung berhias lengkungan janur kuning di depannya.

Rama masuk gedung dengan santai dan percaya diri. Ia menyempatkan melirik gadis penerima tamu, “Boleh juga. Astri lewat. Paling bentar lagi dia jadi ibu-ibu gendut bunting anak gue. Haha,” Rama tergelak di pikirannya sendiri.

Bayu mendapati Laras ada di barisan tamu-tamu yang hendak menyalaminya, masih sekitar 10 orang lagi. Mereka bersitatap, Laras menundukkan wajah. Perasaaan Bayu berkecamuk lagi, ia mengalihkan pandang pada Astri, pengantinnya.

“Selamat ya, Astri, Bayu,” Rama menyalami Astri terlebih dahulu, masih menampilkan percaya dirinya. Perasaan Astri makin tak karuan. Tak tahan lagi, ia pun ambruk. “Astriii…,” justru suara Rama yang berubah jadi panik.

Rama membiarkan Bayu membopong Astri di tengah kepanikan resepsi, ia tak keberatan, hanya mengikuti mereka dari belakang. Sudut matanya masih mencari Laras yang hilang dari barisan.

“Maaf aku tak jadi mengucapkan selamat. Tak seharusnya kamu membiarkan Astri begitu,” Laras mengirim SMS kepada Bayu dari bajaj orange lagi. “Sedih amat, Neng mukanya? Eneng cantik lho, nikah sama abang aja, yuk,” tak disangka si abang bajaj kali ini pandai menggoda. (Alfy Aulia)

Maap



#lanjutan komik Mambu.

Jumat, 15 Juli 2011

Ah,

Aku menulis lagi, Sayang
Kunamai puisi
Meski tak tentu berisi
Ah, biasa saja
Bukankah kepala-kepala picis lebih geger di negeri ini?

Sayang, apa kabar rindumu?
Lama tak kau dengung
Saya (jadi) prihatin
Sepertinya kau terlalu sibuk dengan urusan internal
Ah, kamu kan bukan presiden

Apa kabar janjimu, Sayang?
Aku tak mau merelokasikan hati
Tapi menunggu terlalu lama juga bikin sakit hati
Ah, masa aku turun ke jalan menuntut kepastian?
Para korban luapan saja masih mempertanyakan

Jadi bagaimana, Sayang?
Aku tak mungkin mengkorupsikan perasaaan ini, sungguh
Aku tak cukup punya nominal untuk memenangkan kasasi
jika aku kau perkarakan
Pun membayar rumah sakit jika ternyata aku butuh perawatan
Ah, apa hatimu juga sudah ikut kapitalis?

Kapan kamu pulang, Sayang?
Kita berbicara dan berdoa tentang negeri
dan hati kita lagi
Ah, aku sudah tak sabar lebaran datang

Mungkin Dandelion

Kau menarikku, tergesa
Di depan, laut jernih memantulkan alpha
Dan kau tak takut, kita mengadu bintang hingga larut
Aku tidur di pundakmu, dan kau pergi menyelam
Jauh ke dalam, jiwa kita yang lapang
Aku tergugu dan merasa aman

Cerah-tenang seperti morning glory
Oh, kau yang hidup di imaji



Kau kelu di tatap-muka biru, aku berkeluh
Sama melukis senyum, tapi merobek wajah kemudian
Kita seperti pendatang di Antartika
Aku mengajakmu pulang, tapi kuncinya mengabu di tanganmu
Kita memilih hilang di kerumuman, meski ingatan menarik-narik kerjujuran
Berjalan mengganjili diri, biar waktu yang menang

Pucat-retas seperti dandelion di padang
Ya, kita di realita

Selasa, 05 Juli 2011

Mambu



#iseng moto mentor n temen kelas menulis, terus tek jadiin komik ngasal. haha.:D

Coret-Coretku



#ini ceritanya gambar bapak-bapak yang bawa rumput di kepalanya. ide dapet pas bikin liputan di Limbasari, Purbalingga.



#ini juga dimuat di MAKSA #2. aku belum bisa ngewarnain bagus pake PS. jadi aku minta tolong Enu, adik kelasku, buat warnain gambar ini. :p

Nyusul



#belajar ngomik edisi kedua. edisi pertama lebih parah n ga sempet di-scan, udah lecek. ==
lumayan, dipasang di MAKSA #2, media kelas menulisku. :9

Vanilla Cake

Farah memungut kerang di pasir pantai, ombak mencandai kakinya. Cahaya bulan mengabarkan kerang itu cantik untukku, Farah tersenyum. Ganti angin mencandai rambutya. Seseorang memperhatikan tak jauh darinya.

Handi, yang memperhatikan itu, memasukkan kedua tangan ke saku jaketnya. Malam yang dingin untuk lelaki berkacamata itu.

Handi masih memperhatikan. Farah yang kini duduk di pasir menengok, tahu ada yang memperhatikannya sejak tadi. “Kemari,” Farah yakin dengan ajakannya.

Handi yang tak yakin, ia mendekat ragu, tapi akhirnya duduk juga di samping Farah. Hidungnya menangkap aroma vanilla yang lembut.

"Menurutku, bulan itu seperti roti croissant,” Handi membuka pembicaraan dengan tema aneh. “Karena itu memang crescent moon,” Farah tersenyum, memandang Handi.

“Menurutku lagi, awan-awan itu seperti kepala jamur,” masih aneh, Handi menunjuk gumpalan awan di kiri bulan. “Semakin dingin di sini. Ayo, aku punya kopi dan vanilla cake di kamar,” Farah bangkit menarik tangan Handi, tak peduli lagi dengan celotehannya. Tapi…

Saat menengok, justru yang ditariknya adalah lelaki berkepala jamur dengan senyum roti croissant! Dan…treeettttt… Alarm Farah menjerit membangunkannya. “Dasar Handi! Di mimpi pun tetap aneh dan tidak peka,”Farah merutuk di kamarnya, merasa lucu dengan mimpinya barusan.

“Harusnya tadi aku meminjami Farah jaketku. Kasihan dia kedinginan,” Handi menggaruk kepala di kamarnya, juga baru terbangun dari mimpi anehnya. (Alfy Aulia)

Kamis, 16 Juni 2011

Sorry,

Gazing at the moonlight

Looking for the reason you may sign

Whether it’s wrong or right

I’ll try to be tight

‘Cause the night you made for me

taught me many things;

Relationship doesn’t meant at all

if you can’t value the moment you’ve shared

Sorry doesn’t work, if you still hurt


Night is the place I let off my regrets

And the sky is the place you hang up your dreams

We’re different, I’m sure

But, why don’t we learn to accept, again?


May be in another time, you might hear me

Above the crowd of the disapproval;

forgive me.


(alfyaulia-16/6/11)


Skizofrenia

Olan menutup laptopnya. FF sudah dikirim ke Mas Bangkit, editornya. Ia lalu membopong laptopnya ke meja kamar dari ruang depan. Ia menguap, memilih tidak menutup mulutnya daripada laptopnya berdebum ke lantai.

Olan baru menarik selimut, HPnya bergetar kecil. “Check email. Aku kirim FF. Minta komentar,” bunyi SMS Iwan. “Besok pagi, ya. Aku udah matiin laptop, males nyalain lagi,” balas Olan, ia malas beneran.

“FF “Ketela” endingnya kurang tajam. Yang “Laut” aku suka,” Olan me-sent komentarnya setelah mengecek FF Iwan di email. Ia justru merasakan FF Iwan punya karakter yang sama dengan FF-nya.

Jam setengah sembilan malam, Olan masih memacari laptopnya. Dari layar Ms.Word ia beralih sebentar ke Beranda-nya, Iwan Ol. “Lagi mbenerin FF?,” Olan main tebak.

“Belum mood,” Iwan membalas dengan smiley melet. “Btw, apa kabar El?” Olan mulai memancing. “El? Hmm… Hanya senyum untuk dia,” Iwan memicingkan mata seperti smiley-nya.

“Aku tahu El, kaya’nya,” Olan memancing lagi, menunggu reaksi Iwan. “Haha,” Iwan tertawa di chatbox-nya. Olan lalu mengirimkan sebuah link profil FB, seseorang yang ia yakini sebagai El, berdasarkan observasinya.

“Bukan dia. Haha,” Iwan tertawa lagi.

“Tapi feelingku bilang gitu. Hayoo..,”Olan belum menyerah.

“Tapi bukan dia.”

“Haha,” kali ini Olan yang tertawa.

Strange is the songs in our conversation.”

“Maksudnya?”

“Maksudnya aku dan dia berinteraksi dalam bahasa aneh,”

“Hah? El itu alien, ya?”

Maybe.”

“Parah.”

“Jangan-jangan dia hanya ada dalam pikiranku saja. Haha. Skizofreniaku kumat.”

“Skizofreniaku?”

“Bukan apa-apa.”

“Wew! Gangguan otak? Dopamin? Gangguan jiwa?” Olan kaget sendiri dengan hasil googling-nya tentang penyakit aneh itu. “Ternyata bukan cuma Insomnia akut. Parah.”

“Haha,” lagi-lagi Iwan tertawa di chatbox-nya. “Biarlah itu menjadi sisi lain hidupku.”

Olan pamit dari chatbox-nya setelah Iwan bilang ia tengah cari inspirasi. Olan juga sedang ingin cari inspirasi. Inspirasi mengobati Skizofrenia mungkin. “Ah, mengucapkannya saja sulit.”

(alfyaulia-11/6/11)

Sabtu, 11 Juni 2011

Mainan Baru



Iseng maenin foto adekku.
Cast: Panggih Ahya Alika (adekku), Arlan (temannya Panggi).
Muka polosnya, ga tahaaann.. >_<
haha. :p

Monolog

Jam setengah sebelas malam, Olan menepuk bantal, merebahkan tubuh. Ia memeriksa HP-nya, sepi, tidak ada pesan masuk satupun.

Rasa lelah mengantarkan Olan tidur, tapi rasa lelah pula yang membuatnya terbangun dua jam kemudian, melihat HP dan tidak ada pesan dari si Insomnia. “Mungkin sedang bisa tidur cepat,” pikirnya, lalu mencoba kembali tidur sendiri.

“Seperti pesanmu yang akan bertransformasi, dari mortality menjadi immortality,” Olan membaca status Iwan di Beranda, sedikit mengerutkan dahi. “Jam segini?” Olan lalu meng-klik chatbox FB-nya menjadi aktif. Iwan Ol.

“Hai,” Olan menulis di chatbox. “Hai,” Iwan membalas dengan menyelipkan smiley senyum. “Jam segini Ol? Nggak kerja?” Olan penasaran. “Kerja. Ini nyolong internet kantor,” jawab Iwan, kali ini dengan smiley tawa.

Seperti biasa, mereka membahas menulis dan film. Iwan lalu mengirimi Olan sebuah link. “Apa?” Olan bertanya sebelum membuka link itu, ia sebenarnya tahu itu link blog Iwan. “Bagus nggak?” Iwan juga tahu Olan pasti akan membuka link itu.

Surat untuk El, judul tulisan di blog Iwan tersebut. Olan mencermati isinya. Ia juga menemukan puisi dengan tema serupa, Bait Rindu Untuk El.

“Dalam,” komentar Olan kemudian di chatbox. “Cuma itu?” Iwan tak puas. “Hmm, jelas menimbulkan pertanyaan. Siapa El? Boleh tahu?” pancing Olan kemudian. “Someone in somewhere,” jawab Iwan, membuat kepala Olan dijatuhi banyak tanda tanya, sekaligus tanda seru.

“Jika kau sudah sulit mengingatku, aku malah sudah malas mengingatmu. Aku bersumpah kau tak akan bahagia denganku. Haha,” Olan kembali ke Beranda dan menemukan status Haris. Olan membenarkan letak kacamatanya dan merasakan mukanya terasa panas.

Maybe ‘she’ he meant wasn’t me,” malamnya Olan bermonolog lagi dengan hatinya. Ia tidak ingin merasa bersalah atau menyesal. “Someone in somewhere, semua orang juga punya itu kan? Apa kabar someone in somewhere-ku ya? Someone yang mungkin bahkan tidak aku kenal saat ini. Apa dia sudah makan?” monolog Olan jadi agak ngelantur, ia menertawai sendiri pikiran randomnya.

“Ah, hidup memang bukan untuk ditebak-tebak kan? Dan godaan itu untuk dinikmati,” masih bermonolog, Olan mengingat lagi note FB-nya dulu. “Just go with the wind saja lah,” Olan menutup monolognya sendiri, lalu mewarnai dinding dan langit-langit kamarnya dengan warna matahari dan bintang, sesukanya.

(alfyaulia-9/6/11)

Terus Terang

Apa yang tidak bisa hilang?
Apa yang tidak bisa berakhir?
Keseharian ini tak abadi, terlebih hati

Pohon pertama di tengah kota masih kokoh
Tapi hati-hati yang berteduh di bawahnya, siapa tahu?

Lampu-lampu jalan, awan, dan kenangan
Berkelap-kelip, bergumul di kepalaku



Aroma yang kukenal, tertumpuk terlupakan
Hawa baru menyesak, merebut kesadaran

Maaf sayang, bukan aku mempermainkan
Tapi hati mengajak berkawan
Pada senyum baru yang tersimpul terang.

(alfyaulia-5/6/11)

Alergi

“Kamu mau pergi sama Arif?” Olan mengirim SMS sembari menyusuri trotoar kota seusai kelas menulis. “Nggak juga. Kenapa?” Iwan membalas dua menit kemudian. “Tawaran traktiran es krim masih berlaku lho ini. Aku di alun-alun, “ Olan mengetik SMSnya, memandang alun-alun kota yang cukup ramai hari Minggu itu.

Olan melihat Iwan dari tepi alun-alun. Bukannya segera memarkir motornya, Iwan malah tersenyum dan memutar jalan alun-alun sekali lagi. “Ngledek!” gerutu Olan lucu dalam hati.

“Hai,” Iwan duduk menjejeri Olan, tersenyum. “Cari es krim, yuk! Tapi aku ga bawa helm, muter ke situ sebentar mbok boleh?” Olan menunjuk minimarket di sisi barat alun-alun. “Nggak usah lah,” Iwan menolak. “Laahhh, ayoo,” Olan setengah merengek. “Aku lagi pilek,” itu cukup membuat Olan diam, mencuri pandang kemudian.

Iwan lalu membuka tasnya, menunjukkan beberapa lembar kertas. “Mau aku buat skenario film,” kata Iwan bersemangat. Origami, Olan membaca judul tulisan itu. “Menurutmu? Kasih aku saran, ya,” Iwan memberondong Olan. “Belum selesaaiii,” Olan menjawab gemas, melanjutkan membaca. Ia mengagumi tulisan Iwan.

“Aku sakit. Berangkat kerja setengah hari,“ Iwan membalas SMS Olan yang menanyakan kenapa ia tumben meng-SMS-nya tengah siang. “Masih pilek?” tanya Olan kemudian.

“Aku Alergi. Badanku merah-merah semua. Kemarin aku salah makan,” Iwan menerangkan sakitnya. “Istirahat dan minum air putih yang banyak ya, biar cepat baikan,” Olan melayangkan perhatian, lalu kembali ke layar laptop tanpa perhatian penuh.

“Dek, kapan ada waktu? Mas mau bicara,” SMS Haris menyusul. Olan menarik nafas. “Jangan sekarang. Nanti aku SMS lagi,” Olan membalas singkat SMS pacar complicated-nya itu.

“Masa aku ketularan ‘alergi’? Kenapa malas sekali untuk bicara lagi dengannya? Bagaimana aku harus memulai ‘tolong’, ‘maaf’, dan ‘terima kasih’ ?” Olan bermonolog dengan hatinya, mencoba mengingat wajah Haris, sulit.

(alfyaulia-8/6/11)

Sabtu, 04 Juni 2011

Kerja Keras

Warni masuk kamar, melihat beberapa lembar uang tergeletak di meja samping ranjangnya. Sepuluh ribu, Warni tepat menghitung lembar-lembar kusam itu.

“Andi saja jajannya bisa lebih dari tiga ribu sehari. Buat beli beras, janganan? Belum bayar sekolah Rani? Yang agak ngotot kerjanya sih ngapa?” Warni menyemprot Kanto yang duduk bersarung di kursi depan.

Suaminya itu menyaksikan gumpalan-gumpalan asap rokoknya berputar-putar. “Namanya rezeki War, nggak mesti, “ kini ia menyaksikan wajah Warni lebih menyala dari rokoknya.

Adzan maghrib diseru dari corong masjid desa. Warni menghentikan aktifitas mengaitkan rambut-rambut sintetis di pola kepala di depannya. Ia memandang pintu depan, belum ada yang mengetuknya dari tadi, Kanto belum pulang.

“Ma, Andi ke masjid sama bapa, “ Andi kecil merengek. “Andi sholat di samping Mama aja sini, “ Warni menggelar sajadah satu lagi di sampingnya. Rani mengucek rambut adiknya itu. Di luar hujan turun memanggil siapa saja ingin cepat pulang.

“Masya Allah, kenang apa, Pa?” Warni tergopoh membukakan pintu, mendapati telapak tangan kiri Kanto dibungkus sobekan kain putih, noda merah merembes jelas. “Kenang arit, “ Kanto menjawab pucat.

Di meja kamar tidak ada lembaran uang, hanya obat merah dan sobekan kain baru, tapi muka Warni tidak sedang menyala. “Besok nggak usah kerja tebu lagi, ngojek saja seperti biasa kalau sudah baikan. Kebon belakang juga jadi nggak keurus, “ Warni membalut tangan Kanto hati-hati. Ia turut merasakan perihnya, hampir sama dengan perih tidak punya uang yang sering ia rasakan.

(alfyaulia-3/6/11)

Insomnia



Iwan membenarkan letak sikunya menyangga kepalanya, menghela nafas. Tangan kanannya meraih HP di sisinya, jam setengah dua pagi.

“Insomnia (lagi),” Iwan memutuskan mengirim SMS itu. Di depan layar HP-nya Olan mengucek matanya. “Lagi?” pikirnya.

“Cuma kamu yang bikin aku terbangun dan membaca SMS jam segini,” Olan mengumpulkan kesadaran membalas SMS Iwan.

SMS-SMS balasan meluncur. Pagi berjingkat perlahan. “Ya sudah kamu tidur sana.” SMS terakhir Iwan dini hari itu membuat Olan tersenyum lucu. “Dasar!”

“Iwan?” Olan melihat nama itu online di chatbox FB-nya. “Jam segini Ol?” Olan mengetik tak sabar. Tapi kotak itu lantas berubah abu-abu, go off.

“Itu artinya (mungkin) tidak boleh menyapanya di jam siang. Hanya malam.” Status Olan itu hanya di-komen “Sookoor” oleh temannya.

Tips Atasi Insomnia. Olan me-link artikel itu di wall Iwan, meski tak berharap sungguh tips itu berhasil.

(alfyaulia-3/6/11)

Rabu, 01 Juni 2011

Cabang

Semalam keberuntungan bertemu seorang wanita

Rasa manis lebih dari es krim vanila

Rol-rol film bekerja di memori otak mereka


Kau tahu?

Rasa pandai berubah lebih dari ledakan bintang, supernova

Lembut menyusup, siapa tahu?


Rasa tak mesti dikatakan, lebih senang menunjukkan peduli

Lebih masuk akal daripada berjanji


Dan malam menjadi lebih insomnia

Atau pagi jadi lebih bekupun tak apa


Meski jalan jadi bercabang

Ya santai saja, sayang


Ini hanya tentang rasa, bukan orang ketiga.

Rasa Retoris



“Benar nggak apa-apa nggak pakai helm?” tanya Olan agak ragu. “Nggak apa-apa, nanti lewat jalan terobosan yang nggak ada polisinya. Agak lebih jauh, sih, “ jawab Iwan kalem. “Ya udah deh, ayo!” Olan membuntuti langkah Iwan ke parkiran.

“Masih suka nulis?” Iwan bertanya di perjalanan. Bintang semarak jadi lampu jalan. “Masih,” Olan menjawab di belakangnya. “Update blogmu?” tanya Iwan lagi. “Jarang,” Olan tersenyum sendiri.

“Eh, bentar dulu, mbok aku nggak dibukain pintu, “tahan Olan. Iwan memutar balik motornya, menunggu. “Tolong buka pintu depan. Iya. “Olan berbicara di telepon lalu menutupnya. Kemudian ia menghampiri Iwan. “Makasih ya, langsung ngrepotin, “ Olan menjabat tangan Iwan. “Nggak apa-apa, santai aja, “ Iwan tersenyum. Olan menyimpan senyum itu.

“Besok jadi nonton penutupan festival? Masih ada kesempatan untuk menyaksikan filmku besok lho.” Olan mengklik send di menu message FB-nya.

“Besok Minggu nggak kerja, kan?” tanya Iwan di depan kost Olan lagi. “Kerja apa saya hari Minggu masih harus sibuk?” Olan menjawab retoris. Iwan tersenyum, lagi. “Pit-pitan yuh ngesuk!” Iwan mengajak dengan girang. “Ha?” Olan kaget, menyembunyikan rasa senangnya.

Alun-alun kota warna-warni di Minggu pagi. Iwan menggoes sepedanya santai, tersenyum. Di belakang, Olan berusaha menyeimbangkan tubuhnya, jilbab merah jambunya berkibar lincah, seperti hatinya.

“Status complicated-mu di FB itu…?” Iwan menggantungkan pertanyaannya. “Kenapa?” Olan tak siap dengan pertanyaan itu. Dipandangnya wajah Iwan, mencoba menangkap maksud dan maunya.

“Apa itu mengganggu?” Olan masih bermain dengan retorisnya. Iwan hanya tersenyum, mengarahkan pandang ke langit. “Biar aku menjadi bintang di siang hari saja. Pun kamu tahu aku tetap ada kan?” Iwan memandang Olan, jauh menembus hatinya.

Selasa, 31 Mei 2011

Denyut

Kotaku menyeruak, hidup pagi ini
Semua bersegera, bersahut berpamitan
Dapur, sumur tergolek ditinggalkan
Hendak mengait upah bulanan

Jalanan digerus, dipaksa melebar
Para gadis sudah tak sabar
Angkutan menggembung sesak, berduyun
Kotaku berdenyut, dari desa kami datang

Kotaku kerlap-kerlip
Jadi syahdu sore ini
Angkot kuning gugup merapat
Sepeda motor siap tancap

Azan maghrib diseru, merenyuh
Laju motor jadi berebut, menyiput
Polisi, juga satpam berpeluit mengatur jalan
Macet langganan coba diuraikan

Hujan menimpali doa-doa rumahan
Pak becak menyambut selembar lima ribuan
Kotaku gegap, warna-warni
Dan akan dimulai lagi, esok hari.



alfy aulia @MAKSA #1

Tips Bertransportasi Umum di Purbalingga

Purbalingga punya beberapa jenis transportasi umum. Yang paling umum dari yang umum adalah angkot kuning dan bis warna-warni. Ada juga becak untuk yang lebih menginginkan privasi menikmati angin Purbalingga. Nah, untuk kebaikan bersama, berikut saya siapkan beberapa tips untuk kenyamanan dan kenyamanan anda naik transportasi umum di Purbalingga. Check this out!

Tips naik angkot:
1.Siapkan uang pas! Informasi:
- Tarif umum Rp. 2.500,-
- Tarif karyawan PT Rp. 2.000,-
- Tarif pelajar Rp. 1.500,-
Kalau lagi nggak kepepet banget, jangan bayar pakai uang Rp.50.000,- atau Rp. 100.000,-. Kasihan pak supirnya harus ngumpulin bayaran dari penumpang lain buat kasih kembalian dan kita juga bakal dipentelengin sama penumpang lain. Dan lagi jangan berani-berani bayar pakai kartu kredit, kartu debet, apalagi kartu jatah raskin.

2. Tentukan tujuan dan angkot yang harus anda naiki.
Ini penting, jangan sampa kita nggak tahu mau kenapa dan harus naik angkot nomor berapa. Apa kata Roy Suryo?
Informasi:
- Nomor 1 jurusan terminal Purbalingga – Bobotsari
- Nomor 2 jurusan terminal Purbalingga – Kaligondang
- Nomor 4 jurusan terminal Purbalingga – Bukateja
- Nomor 5 jurusan terminal Purbalingga – Kemangkon
- Nomor 7 jurusan terminal Purbalingga – Jompo
- Nomor 9 jurusan terminal Purbalingga - Kutasari
Untuk nomor-nomor yang belum disebutkan silahkan hubungi apotik terdekat.
Oh ya, kalau perlu bawa peta juga! Bukan apa-apa, biar kelihatan kayak turis aja.

3. Tetap jaga etika selama dalam angkot! Duduk manis, jangan tiduran, apalagi gelantungan! Jangan meludah atau nyelipin sampah sembarangan, apalagi njemur cucian!


Tips naik bis:
1.Bis Purbalingga itu terkenal doyan ngetem dan nggak tepat waktu. So, jangan biarin waktu kamu terbuang sia-sia cuma karena nunggu bis yang tak kunjung bergerak. Ini dia trik yang saya sesuaikan dengan hobi masing-masing:
- Untuk yang kutu buku, sedia selalu buku-buku setebal 5 cm di tasmu. Kamu bisa asyik membaca sambil menunggu, kalau lelah gunakan saja bukumu untuk bantalan. Untuk yang sedikit punya bakat bisnis, kamu juga bisa nyambi jualan buku. Kesadaran membaca masyarakat Purbalingga masih kurang, Cuy!
- Untuk yang suka banget ndengerin musik, main game, atau Pesbukan, jangan ketinggalan bawa mp3 player atau minimal HP 200ribuan. Boleh juga bawa iPod, iPad, Galaxy tab asal jangan buat buka yang nggak-nggak kayak Pak DPR yang terhormat. Alternatif lain bawa gameboy, PS2, Nintendo, atau home teater asal bukan odong-odong.
- Yang lainnya kalian bisa bikin komik, nulis puisi, ngapalin rumus limit trigonometri, meniliti ketebalan debu di bis. Pokoknya manfaatkan waktu secara cerdas ketimbang foto-foto narsis nggak jelas!

2. Bis Purbalingga juga terkenal karena baik hati mau mengangkut siapapun dan apapun sampai benar-benar penuh. Jangan pakai sepatu hak tinggi karena bisa nginjek orang lain pas desak-desakan! Jangan pakai baju putih karena lebih cepat kotor saat bersenggolan-sengolan! Jangan bawa sayuran pas ada yang bawa kambing, kasihan kambingnya lagi puasa.

3. Boleh makan dan minum di bis, tapi disarankan makan makanan kecil saja atau permen. Jangan malah makan nasi rames lengkap jengko pete karena pasti akan mengganggu penumpang lain.


Tips naik becak:
1. Pilih becak yang ada plastik penutup di samping kakan kiri dan depan. Sekarang lagi musim hujan plus angin kencang, Mas Mba. Jangan sampai sakit gara-gara naik becak, nggak ada asuransinya.

2. Pilih tukang becak yang lebih tua. Jangan pilih yang muda dan ganteng, nggak bakal ada! Tukang becak yang lebih tua biasanya lebih bijaksana saat tawar-menawar tarif, tinggal pasang muka imut seperti anaknya.

3. Pilih becak sebagai alternatif transportasi jarak dekat, maksimal jarak 2 km. Jangan sampai punya ide gila minta becak mengantarkanmu naik haji ke Mekah dari alun-alun Purbalingga!

OK, itu dia tips aman nyaman naik transportasi umum di Purbalingga. Akhir kata, semoga selamat sampai tujuan.



Ini juga dipajang di MAKSA #1.

Tarmi

“De..,” Toro menyentuh lembut pundak Tarmi, istrinya. Tarmi menoleh malas, konsentrasinya me-netting rambut-rambut bulu mata kecil di depannya terganggu. “Apa, Mas?” tanya Tarmi, sama sekali tidak selembut sentuhan Toro dipundaknya.

Toro sedikit ciut, tapi belum menyerah. “Dee..,” ia mencoba lagi, kali ini merengkuh kedua pundak Tarmi.

“Mas, ini besok harus sudah selesai.” Belum sempat Toro membisikkan maunya, Tarmi sudah menyentaknya. Gairahnya terpaksa dipadamkan, lagi.

“De..,” Toro menyentuh lembut pundak wanita itu. Wanita itu menoleh manja, tersenyum. Segera ia letakkan baju-baju yang hendak dilipatnya.

Di tengah dekapannya, Toro bergumam, “Kenapa Tarmi tidak bisa sepertimu?”
”Apa, Mas?” Tini, gadis itu bertanya. “Ah, tidak”, Toro bangkit, ia tetap harus pulang malam ini.


FF ini dipajang di MAKSA #1 di FFP 2011. :D

Rabu, 04 Mei 2011

Masih

Kita masih berbagi langit yang sama
:menatap bintang dan bertanya kabar
Kita masih di 24 jam yang sama
:menarik berat waktu, tersendat

Kita masih menyanyi lagu yang sama
:berceloteh dan merajuk
Kita masih membaui aroma yang sama
:kasih sayang, meski tak selalu semerbak



Kita masih menyukai rasa yang sama
asam, manis, dan rasa yang tertinggal di bibir setelahnya
Dan aku masih merindukan tangan yang melingkar di pundakku

Masih ingin ditemani duduk
Masih ingin menjadi anak kecil yang kau bujuk
Masih ingin bercinta dan bersajak.

Senin, 25 April 2011

Bunuh Saja

Aku membencimu, rutuk seorang wanita nanar
Untuk purnama yang kau cabik dengan acuh
Untuk hati yang kau bui sehingga rapuh

Malam parau telah diintimi lenguhan
Pun malam keruh telah digauli makian
Menyisakan malam-malam kerontang
yang tak lagi perawan



Lelaki berdiam di balik layar buram
Tidak mengambil peran
Tidak pula memutus siksaaan
Tersimpul mempecundangi cerita
dan perasaaan

Aku membencimu, wanita menjerit menghunus pedang
Air mata datang dari hatinya yang radang
Hati yang ditaburi bunga, namun kemudian ditancapi nisan

Aku membencimu, sekali lagi wanita mengerang
Tubuhnya kuru layu
Romatismenya padam
Ia memilih membunuh cintanya, sendiri

Wanita mengkerandakan ekspektasi
Menelan pahit realita
Rekonsiliasi yang ditampar keras
Egoisme belaka
lelaki fakir hati.
Purbalingga, 19 April 2011

Episode Intim

Diri mematut di depan cermin kusam
Melepaskan topeng satir melelahkan
Merupa dewasa tapi masih menceracau kekanakan
Melucuti atribut kesombongan,
rasa tinggi yang tak membuahkan selain borok terbakar
Menanggalkan pakaian bermotif nafsu,
dunia yang melenakan

Lalu,
diri terbaring alpha,
seperti tertelanjangi,
tapi ringan saja
Tak peduli dikangkangi ketidakterimaan



Sesaat diri ingin beromantis dengan bentuknya sendiri
Memeluk fikir dan mencumbui jiwa terdalam
Hingga klimaks memuntahkan energi dendam
Meregenerasi diri dengan kromosom keikhlasan

Malam ini,
diri menyimpul puas
Lalu meringkuk terlelap di pojokan
Setelah membisik satu kesepakatan;
esok aku ingin hidup lebih segar.



Purbalingga, 14 April 2011

Atap Seng

Seringkali kita terlibat pertengkaran-pertengkaran kecil
Aku bilang ayo, kamu bilang nanti
Aku cari perhatian, kamu pilih diam
Gemas!
Juga kesal dan marah, kadang
Ingin mencubit lenganmu,
atau menangis di sampingmu
Boleh juga makan es krim bersamamu lagi
Aku hanya minta jangan acuhkan aku,
sebab hujan bisa menjadi begitu deras, kadang pula ragu
Tinggal aku yang mendaraskan ayat-ayat sepi kerinduan, untukmu



Sayang, bila nanti kita bertengkar lagi,
dalam satu atap seng,
yang berdetak-detak ketika hujan
akan lebih baik kita menyelesaikannya sebelum hujan reda,
lalu menghangatkan malam kita, berdua

Kembang Kopi

Kalau bukan karena disuruh suami, aku malas deh ke warung pagi-pagi begini hanya untuk beli teh dan gula. Apalagi jalannya ini lho, becek banget. Sandalku jadi berat bawa-bawa tanah. Sebenarnya aku bisa saja menolak disuruh Mas Toro, tapi menolak permintaanya ketika berada di rumah orang tuaku sendiri sepertinya sekarang ini, aku rasa bukan ide yang bagus.

Aku menarik celana panjangku agak tinggi menghindari genangan air. Semalam turun hujan lebat dan inilah sisa-sisanya. Ah, aku juga ingat semalam Mas Toro tidur duluan, mengacuhkanku. Mungkin dia kelelahan menyupir mobil kami dari Jogja. Kalia juga langsung tidur dengan neneknya.

Kiri kananku sekarang adalah tumbuhan tetean (teh-tehan) yang tumbuh cukup tinggi dan rimbun, membentuk pagar sepanjang jalan setapak yang berbatasan dengan kebon tetangga ini. Ini tentu bukan jalan setapak yang asing bagiku. Aku menghabiskan masa kecilku dengan berlarian di sini, juga bermain di kebon sebelah itu. Masa kecil bocah desa.

Mataku lalu menanggap gerombolan bunga putih di antara daun-daun lebar sebuah pohon yang tidak terlalu tinggi. Bunga kopi. Cantik. Aromanya khas. Mataku menatap cukup lama bunga-bunga putih bersih itu. Akan aneh jika aku menuruti keinginanku untuk memetiknya dan ada orang lihat. Warung, teh, gula. Otakku memerintahkanku kembali ke tujuan awal.

******
Aku sedang mengaduk teh manis di dapur dan seseorang menginjak kaki kiriku. Mas Toro. Pasti sengaja. Aku sedikit kaget dan menyentak kecil, “Ayah”. Ia menatapku lucu dan nyengir. Aku sendiri belajar memanggilnya ayah sejak lima tahun lalu, seperti permintaannya. Dan ia sendiri memanggilku Bunda. Buat contoh Kalia, katanya. Tapi aku masih suka merasa lucu.

“Bun, kok celanamu kotor begitu? Abis dari sawah?” tanyanya usil sambil melirik ke celanaku yang penuh bercak tanah. “Ini kan gara-gara Ayah nyuruh Bunda ke warung pagi-pagi, “ kataku sambil balik iseng menempelkan sendok teh ke hidungnya. Mas Toro meringis lagi. Ih, bikin gemas.

“Yah, tadi Bunda lihat kembang kopi di jalan setapak sebelah waktu mau ke warung. Cantik deh, “ceritaku seperti anak kecil. Aku mengikuti Mas Toro yang duduk di bangku panjang di depan meja makan sambil membawa teh manis yang kubuatkan tadi. “pasti Bunda pengen metik, “ tebak Mas Toro. “Hehe, iya, Yah,” kali ini aku yang nyengir. “Bunda ingat? Dulu kan ayah juga pernah kasih Bunda kembang kopi, tapi malah Bunda jadiin buat masak-masakan sama Sutri, “ katanya lalu menyeruput tehnya. Aku mengernyit, mencoba mengingat-ingat.

******

“Sut, aku tek nggolet janganan disit, ya,¬1“ kata gadis kecil berponi yang kemudian bangkit menuju deretan tanaman singkong. Tanaman singkong itu tumbuh subur, daunnya hijau menjari. Ia memetik beberapa lembar daun. Mbok2 nanti mau dimasak sama Nini Sipur, pikir si gadis kecil. Tentunya dimasak betulan, bukan masak-masakan seperti yang Nuryani, nama gadis kecil 6 tahun itu, dan Sutri, temannya, itu lakukan sekarang.

Dua bocah kecil ini memang sering bermain bersama di kebon di samping rumah Nuryani. Kebon yang ditumbuhi tanaman singkok karet, pohon kelapa, pohon pisang, pohon duku, tanaman talas, pohon kopi, dan tanaman singkong yang is petik daunnya tadi itu memang milik Nini Sipur, wanita tua yang hidup bersama suaminya yang seorang 3. Mereka berdua menempati sebuah rumah kayu kecil di bagian depan kebon ini, tepat menghadap jalan raya dan sejajar dengan rumah Nuryani, hanya dipisahkan jalan setapak. Kaki nini4 ini terkenal sebagai pasanga senja yang sayang terhadap anak-anak kecil di lingkungan mereka dan suka membagi-bagikan makanan. Nuryani sendiri paling senang saat pohon manggis dan jambu air di depan rumah mereka berbuah, ia akan menjadi yang pertama dipanggil untuk ikut memetik dan menikmati buahnya.

“Eh, kamu namanya siapa?” tiba-tiba seorang anak laki-laki 10 tahun berdiri di belakang Nuryani. Nuryani kaget. Ia membalik badan agak ragu. Namun, ia lalu menjawab dengan lantang, “Nuryani. Lha kamu siapa?” kata Nuryani ikut berbahasa Indonesia seperti ia meniru ibunya. Nuryani menatap penuh selidik anak laki-laki berwajah bulat dan berbadan agak gempal itu. “Aku Sutoro, cucunya Nini Sipur. Aku mau pindah ke sini. Rumahku yang kemarin di Sleman, “ceritanya tanpa diminta. Nuryani tidak tahu Sleman dimana, tapi ia enggan bertanya.

“Kamu lagi mainan apa? Aku ikutan, ya”, pinta Sutoro kemudian. Nuryani memandang takjub. Anak yang aneh, pikirnya. “Masak-masakan. Benar mau ikutan?” kata Nuryani. “Kalau mau ikutan, kamu harus ikut nyari janganan 5dulu, “ tantang Nuryani kemudian. Sutoro senang saja. Ia melihat gerombolan bunga-bunga putih di pohon yang tidak terlalu tinggi. “Itu mau? Ditaruh di rambutmu juga bagus, “ katanya sambil tersenyum memamerkan giginya.



*****

“Tapi Mak, aku nggak suka sama Mas Harno. Aku masih nunggu Mas Toro, “kata Nuryani menolak permintaan mamaknya untuk mendekati dan menikah dengan Harno, salah satu pemuda di desanya yang baru pulang dari Jakarta dan langsung membeli sepeda motor baru dan merenovasi rumah orang tuanya.

“Mamake sering ketemu Harno di Jakarta. Bocahe6 pekerja keras. Nggak kaya Mas Toro-mu itu yang nggak jelas kerja apa di Jogja. Wong kuliahnya saja pertanian, paling ya macul7 di kota, “kata mamak tidak mau kalah.

Nuryani diam. Ia kesal. Mboke, nenek Nuryani yang mendengar ribut-ribut dari kamarnya lalu mendekat. “Uwis lah Mar. Ora usah dipaksa. Lha wong Nuryani be urung tamat sekolahe8, “ kata Mboke. Nuryani merasa sangat terbela. Mamak diam saja. Sepertinya ia masih pada keinginannya.

******

Purbalingga, 16 Juni 2002

Kepada Mas Toro
di Jogja

Assalamu ‘alaikum wr. wb. Mas Toro, bagaimana kabar Mas di Jogja? Sehat-sehat saja kan?

Mas, Nur sudah lulusan hari Senin kemarin. Tapi Nur masih bingung mau kerja apa. Mamake maksa mau bawa Nur ke Jakarta kalau Nur nggak segera dapat kerja di sini. Padahal Nur nggak mau ke Jakarta. Bisa-bisa Nur dinikahkan sama Mas Harno di sana. Mamak ngeyel mau menjodohkan Nur sama Mas Harno, Mas. Nur nggak mau. Nur masih mau nuggu Mas.

Tapi Nur bingung, Mas Toro sendiri merasa ditunggu sama Nur nggak, Mas? Mas Toro kan dulu bilang katanya sayang sama Nur. Nur kangen, Mas…

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


Yang merindukanmu,


Nuryani

******

Jogjakarta, 25 Juni 2002

Kepada adindaku Nuryani
di Purbalingga

Assalamu ‘alaikum wr. wb. Puji syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan kasih sayangnya sehingga kau selalu dalam lindunganNya, begitu juga Masmu ini di sini.

Maafkan Mas, Dek. Mas memang sedang sibuk belakangan ini sehingga belum sempat mengirimkan surat kepadamu terlebih dahulu. Tapi Mas senang, Dek Nur masih mau mengirimi Mas surat. Mas senang baca surat Dek Nur sambil membayangkan wajah manis Dek Nur. Mas juga kangen sama Dek Nur.

Dan Dek Nur tahu? Mas juga nggak akan rela kalau sampai Dek Nur menikah dengan orang lain. Mas harap Dek Nur mau bersabar sedikit lagi. Mas di sini sedang berusaha mengembangkan bisnis coffe shop Mas. Insya Allah, kalau tabungan Mas sudah cukup, setelah lebaran nanti, Mas akan melamar dan menikahi Dek Nur. Dek Nur bisa beri tahu hal ini ke Mamak Dek Nur, supaya beliau tidak buru-buru menjodohkanmu dengan orang lain.

Yakinlah Dek, Mas akan selalu setia sama Dek Nur, kekasihku yang secantik kembang kopi nan putih.

Oh ya, kalau Dek Nur bingung mau kerja apa, bagaimana kalau Dek Nur sering-sering nulis surat untuk Mas saja. Mas akan senang sekali, apalagi kalau Dek Nur mau menulis surat yang lebih panjang biar Mas lebih lama bacanya. He he… Mas juga sedang menyiapkan pekerjaan istimewa untukmu, menjadi istri cantikku.

Salam sayang dan rindu selalu. Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

Kekasihmu,


Sutoro

******

“Nah, sudah ingat, kan?” kata Mas Toro sambil mencubit pinggangku. “He he. Iya, Yah, “ kataku kegelian.

“Lho Yah, Kalia kemana? Tadi bukannya setelah bangun tidur terus keluar rumah sama Ayah?” tanyaku ingat putri kecilku. “Iya. Tadi ketemu Rifki, anaknya Bu Yati depan rumah itu, terus diajak main, belum mau pulang, “cerita Mas Toro. Aku tersenyum.

“Apa nanti Kalia juga dikasih kembang kopi sama Rifki ya, Yah?” kataku membayangkan putri 6 tahun kami itu juga dipetikkan bunga kopi sama sepertiku. “Ha ha. Mungkin saja, “kata Mas Toro lalu mencubit pinggangku, lagi.

******
Keterangan:
1. Sut, aku nyari sayuran dulu, ya.
2. siapa tahu
3. penjual pisang
4. kakeh nenek
5. sayuran
6. dia
7. mencangkul
8. Sudah lah, Mar. Nggak Udah dipaksa. Lha orang Nuryani saja belum tamat sekolahnya.


Kata penulis: sebuah cerpen yang hmm, ckakakk, unyu-unyu. :P

Jumat, 08 April 2011

Keluarga Punya Cerita

Keluarga. Dulu saya pernah membuat catatan tentang keluarga. Tentang saya dan hubungan di dalamnya. Kali ini saya ingin mengangkat tema itu lagi – haduh, bahasanya mulai tinggi.

Keluarga. Tema yang tidak akan habis dibahas. Sama dengan cinta. Bahkan cinta pun pertama kali tumbuh dalam keluarga. Keluarga. Ya, kita mulai dan tumbuh di sini.



******

Ibuku cerewet, sangat!

Pernah berkeluh kesah tentang ini? Kita, seorang anak, pasti sering menganggap ibu kita cerewet, bahkan kadang sangat. Pada dasarnya kita hanya tidak suka pada perkataan yang diulang-ulang dan panjang. Dan itulah yang para ibu sering lakukan: melarang dan mengingatkan banyak hal, berulang-ulang. Berapa kali ibu kita mengingatkan untuk bangun pagi dan sholat subuh? Berapa kali ibu mengatakan: jangan malas-malasan, jangan meletakan barang sembarangan, jangan, jangan , dan jangan. Berulang kali.

Kadang saya sering berteriak-teriak dalam hati: mamaku cerewet, sangat! Di rumah, begitu banyak aturan tidak tertulis yang dibuat dan “dibacakan” setiap hari. Apa saya yang memang ndableg, ya? Di dapur ibuku sering tiba-tiba muncul di belakangku, “Nuang minumnya yang benar! Itu tumpah, dilap! Gelasnya jangan ditaruh di pinggir meja, nanti jatuh. Gelasnya jangan ganti-ganti terus!” Waktu makan, “ Ambil nasi yang banyak, katanya mau gemuk. Makan jangan camak-cimik gitu, pantes kurus terus.” Lalu di pintu depan, “Pintunya ditutup, ayam suka masuk! Sandalnya ditaruh yang benar, tempatnya tadi dimana? Kalau habis cuci kaki jangan lupa kesed dulu, jadi banyak tlepak kaki di dalam.” Dan seabarek “kecerewetan” lain. Bagaimana kalau setelah ini kita ganti kata “cerewet” itu dengan kata “perhatian”. Jadi, “ibuku perhatian sekali”. Terdengar lebih adem dan menyenangkan.

******

Tuhan Punya Rencana

Hari senin kemarin, “Illa tangannya patah di sekolah, “ lilik – adik mamaku – berdiri di depan pintu dengan wajah pucat dan lemas. Mamaku yang sedang makan siang di ruang depan langsung kaget, “Inalillahi, patah kenapa?” mamaku panik. Aku yang sedang mengetik di dekat mamaku pun kaget, tanganku mendadak lemas. Adegan selanjutnya adalah aku dan mamaku langsung melihat kondisi Illa, sepupuku, yang sedang menangis memegangi tangan kirinya yang tampak menonjol di dekat pergelangan tangan. Masih panik, bapakku segera menyiapkan sepeda motor dan berangkatlah mereka ke Puskemas. Aku, mamaku, dan nenekku berdoa di rumah. Tetap panik dan nelangsa.

Dari keterangan lilikku, Illa jatuh saat sedang bermain lompat karet. Mungkin ia jatuh saat tidak dapat menjangkau karet yang terlampau tinggi lalu jatuh dengan tangan beradu dengan tanah kasar, tertekuk. Temannya lalu memanggil wali kelas mereka – guru yang lain sibuk masing-masing di kantor guru. Wali kelas datang dan melakukan tindakan yang menurutku keliru, menarik tangan Illa – mungkin dikiranya keseleo? Lilikku lalu datang ke sekolah setelah beberapa teman Illa memanggilnya ke rumah – kenapa bukan si wali kelas? Diceritai begitu, aku merasa miris. Bukankah guru tidak hanya bertanggungjawab atas proses pembelajaran tapi juga pengawasan dan hubungan dengan orang tua murid? Dan saya pernah bersekolah di SD tersebut selama dua tahun sebelum kemudian pindah ke Jakarta. Saya jadi merasa beruntung telah melewatkan masa SD saya tanpa perban, insiden patah tulang, atau cidera berarti lainnya.

Pulang dari Puskesmas, Illa masih menangis dengan tangan yang dibalut dan digantung perban putih. Tanganku makin gemetar. Membayangkan tangan kurusku mengalami hal yang sama. Betapa aku juga akan terus-terusan menangis dan terbatas melakukan banyak hal, juga menulis. Betapa aku mendadak merasa bersalah dengan hal-hal yang seharusnya tidak - atau belum - aku lakukan dengan tanganku. Betapa aku merasa tanganku menjadi lemas, bahkan untuk mengetik pekerjaan yang harus aku selesaikan saat itu. Betapa aku berkali-kali istighfar setelahnya. Aku mohon ampun untuk tangan khilafku ini, Tuhan.

Tuhan punya rencana. Bukan hanya aku yang diingatkan akan menjaga tanganku, tapi juga sebuah keluarga yang dikembalikan.

Ayah Illa yang sudah 6 tahun pisah dengan ibunya Illa, datang menengok Illa dengan ibunya, nenek Illa. Dari situ muncullah harapan dari mamaku agar mereka bisa balikan lagi. Ayah ibu Illa, memang sudah berpisah selama 6 tahun, entah karena masalah apa. Saat awal mereka berpisah, aku masih terlalu cuek untuk mengerti masalah mereka, tapi sepertinya memang bukan masalah besar karena seingatku tidak ada keributan yang berarti di antara mereka. Setelah perpisahan itu, ibunya Illa lalu pergi bekerja di Jakarta dan Illa tinggal bersama nenekku.

Pernah saat ibunya Illa pulang, ayah Illa menginap di rumah, mungkin mau ngajak balikan. Beberapa bulan kemudian ibunya Illa hamil, tapi entah bagaimana ceritanya juga ayah Illa tidak mau mengakui itu sebagai anaknya. Dan makin buruklah jarak di antara mereka. Setelah Prisma, adik Illa, berusia dua tahun, ibunya Illa pergi bekerja lagi ke Jakarta, meninggalkan Illa dan Prisma dengan neneknya. Dan ya, itu berlangsung sampai hari sebelum Illa jatuh di sekolah.

Tuhan punya rencana. Jatuh dan patahnya tangan Illa di sekolah ternyata bukan murni musibah seperti yang kami kira awalnya. Ada rencana Tuhan yang bekerja setelahnya: menyatukan lagi keluarga Illa. Aku, mama, dan nenekku senang dan mendukung niat ayah Illa untuk balikan lagi. Meski awalnya ibunya Illa masih ogah-ogahan, tapi akhirnya luluh juga setelah mama dan nenekku menasehatinya dengan alasan demi anak. Aku pun mengamininya. Ya, demi sebuah keluarga dan anak-anak, jangan sampai kita masih bersikeras dengan egoisme masing-masing dan masalah di masa lalu. Lebih baik menata lagi cerita berumah tangga dan membesarkan anak-anak yang sempat tak terpenuhi kasih sayang. Lebih baik CLBK seperti anak remaja ketimbang memaksakan berpisah, mengaku orang dewasa, tapi mengorbankan banyak hal. Pembelajaran yang bagus untukku berumah tangga kelak.

Satu lagi aku perlu bersyukur. Aku bersyukur untuk keluargaku yang utuh. Meski aku tahu mamaku yang cerewet - ups, perhatian maksudnya - juga sering bersitegang dengan bapakku yang lempeng, tapi aku masih memiliki mereka hingga sekarang, lengkap dengan adikku yang super cerewet – yang ini cerewet beneran.


******

Punya Anak

Kemarin, aku mengunjungi Bibi Khoti, saudara Mas Kasad, yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Bibi Khoti sendiri dulunya juga temanku mengaji saat masih kecil. Melihatnya “berbadan lebar” khas seorang ibu yang baru melahirkan duduk di samping bayi laki-laki mungil yang mempunyai bibir dan raut wajah yang begitu mirip dengannya ditemani Paman Wasis, suaminya, membuat pikiranku melayang berandai: nanti kalau aku punya anak, juga seperti itu?

Mas, tadi ade abis lihat bayinya bibi Khoti. Bayinya cakep deh, tapi ga mirip mas (ya iyalah!). Nanti ade pengen bikin yang mirip ade sama mas, ya. ;)

Sent to: MasQ
19:02
6/Apr/2011

*******


Purbalingga, 7 April 2011