Oleh: Nurul Aulia Alfiyah
Oleh: Nurul Aulia Alfiyah
Darti menghampiri mobil pickup yang lebih mirip lapak pakaian itu. Dedi, anaknya, ia bopong tergesa.
“Mborongi,Nah?” Ia menyapa Tonah yang sudah lebih dulu memilih-milih isi pickup, menjembreng sebuah baju muslim anak. “Ngredit lah, 5 bulan,” jawab Tonah. “Ikut milih Ded. Minta yang bagus untuk lebaran,” ia menjawil Dedi yang masih dibopong Darti. Anak 4 tahun itu justru minta turun.
“Danii,” Dedi memanggil ceria temannya. Darti menoleh, ada Sutin, ibu Dani yang tiba-tiba datang. “Eni, sini millih baju yang bagus. Dani juga pilihkan,” Sutin berkoar memanggil anaknya yang satu lagi di belakangnya.
“Bayar langsung harganya dikurangi, ya,” Darti menunjukkan setelah baju anak berwarna biru yang dipilihnya untuk Dedi kepada Munah si penjual pakaian kreditan keliling itu. Parno, anak Munah yang bertugas menyetir pickup, tengah menggoda Eni. “Enii, minta nomor HP kamu, ya.”
“Ya, itu jadi 30 ribu deh, tek korting 5 ribu,” jawab Munah. “Aku juga mau bayar langsung. Ini semua, bajuku, Eni, sama Dani jadi berapa?” Sutin menyela, melirik Darti tak mau kalah.
“Nanti SMS aku sekalian ngisikan aku pulsa, ya,” Eni melambai pada Parno. Disampingnya, Sutin tampak kerepotan membopong Dani dan baju-baju yang baru dibelinya. Darti tertawa melihat polah ibu-anak itu.
“Aku jadinya kredit saja lah. Sekalian sama daster ini, ya,” Darti mencolek Munah. Munah tertawa, ia pun menuliskan nama Darti di buku kreditnya sore itu.
******
“Ma, minta uang 30 ribu untuk bayar buka bersama dan zakat di sekolah,” pagi-pagi Eni menyodorkan tangannya pada Sutin yang sedang menyiapkan alat-alat membuat wig-nya di rumah. “Endasmu! Uang mama sudah habis untuk beli baju kamu dan Dani kemarin!” bentak Sutin.
“Lha terus aku bayar zakat pakai apa?” Eni merengek. “Ora urus! Yang penting sudah bisa beli baju lebaran, juga buat Darti panas,” jawab Sutin bangga.
“Kalau begitu ya mending kemarin kredit saja lah, Ma. Tetangga panas wong kita sendiri yang ‘kebakaran’ nggak punya uang,” gadis SMP itu tak mau kalah pintar dari ibunya. Sutin mendelik.
"Pancen mulutnya rusak. Bisa-bisanya dia nyebar gosip katanya kamu melas-melas sama Bu Khoti minta cepat dikawinkan dengan Dayat. Lha wong dia sendiri yang sudah pengen mantu kok. Itu anaknya sendiri centilnya nggak ketulungan," Bu Kasmi ngoceh-ngoceh sepulangannya dari warung. "Bu Warti lagi, Bu?" tanya Nisa ringan sambil menyelesaikan menyapu teras.
"Iya. Siapa lagi? Orang kayak gitu harusnya didukuni biar kawus," kata Bu Kasmi dengan gemas. "Biarkan saja lah, Bu. Toh gosipnya nggak benar," Nisa mencoba meredakan ibunya.
"Biarkan gimana? Wong sudah keterlaluan kok. Dari dulu! Senangnya fitnah keluarga kita. Benar harus didukuni biar kawus!" Bu Kasmi meninggalkan Nisa dengan raut angker. Nisa jadi khawatir dengan ibunya.
******
Nisa menatap layar HP-nya muram. Dari puluhan kata di SMS Mas Dayat tadi sore, satu kata saja yang membuatnya lemas: putus.
"Nis, kamu sama Dayat baik-baik saja, kan?" Ibu tiba-tiba menjejerinya duduk di ruang tengah. Nisa kaget, HP-nya nyaris menggelosor ke lantai.
"Oh, iya, Bu. Baik-baik saja kok," Nisa menjawab tergagap. "Awas lho kalau sampai putus! Kita bisa disoraki sama Si Warti," Bu Kasmi memperingatkan keras, lebih tajam dari biasanya.
"Bu, mau kemana? Sudah malam," Nisa memperhatikan ibunya hendak keluar. "Ada urusan. Nggak usah berisik!" Bu Kasmi menjawab singkat penuh penekanan, tak biasanya.
*****
Malam itu, tepat malam Selasa Kliwon, Bu Kasmi mendatangi Dukun Cipto di Desa Selarangan, "Mbah, tulung...” Si dukun manggut-manggut masygul.
Bu Kasmi tidak tahu, siangnya, lebih dulu darinya, Bu Warti telah mendatangi dukun yang sama. "Mbah, tulung buat sial tetangga saya, Kasmi dan Nisa, anaknya. Saya sudah lama dendam dengan mereka.”
Raharja Purwokerto-Jogja mulai berjalan, aku melihat bapakku mengangguk pamit pada mbah penjual kembang yang tadi diajaknya bicara, lalu menuju Astreanya. Aku masih menatap keluar jendela, beberapa detik suasana pagi pasar Sokaraja tertangkap mataku. Kemudian wajan ibuku melintas. “Hati-hati di bis. Waspada maring sapa bae,” pesannya semalam, juga pagi ini sebelum aku berangkat.
Aku memperhatikan isi bis, ada seorang lelaki berkacamata hitam di sebelah kanan, aku menebak ia mulai terkantuk di balik kacamatanya. Di depanku, seorang wanita muda tengah diajak ngobrol oleh seorang bapak. Aku bisa melihat wajah dan kepala mereka menyembul mengangguk-angguk dari kursiku. Masih tahap bertanya tujuan, aku menguping.
Aku juga memutar pandang ke belakang, ada segerombolan anak muda seumuranku, membawa ransel. “Hanya aku yang berangkat berjuang sendiri, sepertinya,”aku menghela nafas.
“Saya pernah kerja di agency model di Jakarta. Mba’e kalau tertarik, bisalah saya bantu lewat teman saya,” kata si bapak. “Bisa ya, Pak?” respon si wanita. Wah, sudah pada tahap promosi, aku menguping lagi obrolan di depanku.
Ganti aku melirik kursi kosong tepat di sampingku. “Biarlah tetap kosong,” aku berharap. Aku sedang tidak ingin diajak atau mengajak bicara siapapun, lebih senang mengamati saja.
Pengamen berisik, bakul permen, bakul sale, pengamen agak merdu, bakul tahu lontong, beberapa penumpang naik, pengamen lagi. Banyumas, Cilacap, Kebumen, dan…Jogja!
Ah, aroma harapan, pendidikan, masa depan! Aku merapatkan muka ke kaca jendela menghafal beberapa nama universitas yang mulai bersebaran gerbang dan spanduknya. Mimikku pasti lebih norak dari orang yang baru pertama melihat Monas.
“Jogja! Aku harus lolos masuk satu yang terbaik di sini. Beasiswa. Ya!” Aku mengepalkan tangan, jadi seperti scene film perjuangan yang pernah kutonton.
Giwangan, aku membaca tulisan di gerbang terminal sekaligus mendengar seruan yang sama dari mas karcis yang tadi menagih Rp. 30.000,- kepadaku. Penumpang yang tersisa mulai turun, sebagian sudah turun di Wates dan Ambar Ketawang. Si bapak di depanku juga sudah di pintu keluar. Tapi lho mana si mbak lawan ngobrolnya tadi? Wah, aku kelewatan episode mereka!
WC! Otakku cepat memerintahkan mencari tempat penting itu setelah turun dari bis. Mengikuti papan penunjuk di atas lapak penjual jajanan di dalam terminal, aku menemukannya di pojok dekat tangga.
Lega dari WC sekaligus sholat di mushola kecil di sampingnya, otakku selanjutnya memandu mengambil 1600-ku dari saku jaket untuk segera meng-SMS Pak dhe Harto minta dijemput. Tapi…
“Tidaakk, HPku baterenya habis. Mati!” Aku menjerit di otakku. Lemas, aku duduk di bangku di belakangku, lalu meminum habis isi botol minumanku yang memang tinggal sedikit. “Tenang. Ayo berfikir, Tika!” kali ini aku yang coba memandu otakku.
“Mau kemana, Mba?” Tahu-tahu sudah ada seseorang di sampingku, menanyaiku pula. “Condong Catur,” aku menjawab sambil menengok, lalu kaget sendiri.
Bapak mantan agency model yang tadi duduk di depanku! Otakku berfungsi lagi dan mendeskripsikannya dengan tepat. Aku tak mungkin salah, aku hafal suara dan gaya rambutnya.
“Saya dulu guru SD di Condong Catur. Ini saya mau kesana lagi, ada kepentingan. Nanti bareng saya naik mobil teman saya saja. Mba’e namanya siapa, ya? Saya Heri.”
“What?” Perkenalan dan tawawan si bapak sangat janggal di nalarku. Bahkan seingatku, ia mengaku bernama Jalal kepada si wanita di bis. "Nggak beres nih orang.”
“Oh pak dhe, cepatlah datang.” Aku meringis, menggeser posisi dudukku. (Alfy Aulia)
“Terus Hye Mi ngejar bis itu. Pas bis berhenti, Hye Mi mengkalungkan medalion ke Sam Dong. Terus mereka… Aaa, beautiful ending ever!”
“…..”
“Hanu? Tidur, ya?”
“Hoahmm. Belum. Baru ngantuk. Hehe. Itu tadi udah tamat?”
“…..”
“Ra?”
“…..”
“Rara.. Hei, sekarang kamu yang tidur, ya?”
“Kenapa sih kamu nggak pernah bisa bersikap manis? Dikit aja. Aku kan pengen kamu bujuk pakai coklat, dinyanyiin lagu, diajak ke danau, dikejar pas naik bis. Atau apalah kayak di drama Korea.”
“Aku kan nggak pernag nonton drama Korea, Ra. Tau juga karena sering diceritain kamu. Eh, di film itu ada yang pinter Kimia kayak aku nggak?”
“….”
“Besok ulangan lho, Ra. Udah belajar?”
Klik. Tut tuut.
”Ra?”
*****
Teleponku ga diangkat lagi? Udah sibuk belajar, ya?
Sent to Rara
20: 13
19/07/2011
*****
Rara duduk di bangku belakang bis, dekat jendela. Bis belum jalan, masih di depan SMA-nya. Si kernet masih ber-ayo pulang neng. Rara menggerutu, “Lama banget. Panas!”
Rara merogoh tas, mencari buku Fisikanya yang tipis untuk kipasan. “Nggak ada?”
“Ra..” Hanu muncul tiba-tiba di jendela bis. Rara kaget. Hanu melongokkan wajah, dekat wajah Rara.
Rara deg-deg ah. “Akankah? Akankah?” Khayalan Rara terbang ke adegan terakhir Dream High. Mukanya dibuat innocent.
“Jangan teledor. Ini buku Fisikamu!” Hanu menepukkan buku ke jidat Rara. “Pengen mati, ya ninggalin buku di kelas? Besok kan ulangan Listrik Dinamis.”
“Hhh..” Rara spontan pasang muka kesal. Ia menarik kaca jendela bis. “Eehh..,” Hanu buru-buru menarik kepalanya.
“Kamu pengen bunuh aku, ya?” Hanu berteriak dari luar, memegangi lehernya yang nyaris kejepit kaca jendela bis. Rara memalingkan muka. “Dasar!”
Bis sudah jalan, tapi Rara masih kepanasan. Buku Fisikanya yang dari Hanu barusan ia kipas-kipaskan kasar. Dari dalam buku tiba-tiba menggelosor selembar kertas.
Maafin aku, Ra. Aku mungkin emang
ga mau, ga bisa semanis cowok-cowok Korea di drama favoritmu, tapi…masa gitu aja kamu marah banget sama aku?
Di belakang ada rangkuman. Belajar!
Aku sayang kamu, Ra, dengan caraku.
Hanu
Hati Rara seperti diremas, tapi juga mendadak sejuk. Ia membalik kertas itu.
Rangkuman Listrik Dinamis
Kuat arus listrik:
I=q/t=n.e/t
I= arus listrik (Ampere)
q= muatan listrik (Coulomb)
t= waktu (Second)
n= jumlah elektron
e= muatan elektron=1,6 x 10-19 C
“Hanu, Hanu.”
Bayu menekan dial di HP-nya lagi, sudah yang kelima kali, mantan kekasihnya tetap tidak bisa dihubungi. Ia gelisah di mobilnya, “Kita sudah hampir sampai di gedung resepsi, Mas Bayu,” suara Pak Gino, supirnya, membuatnya tetap harus bersiap.
“Makasih, Bang,” Laras menerima kembalian dari si abang bajaj. Ia merasa masih merasakan getaran kendaraan orange itu. Atau justru itu getaran kegugupannya sendiri? Laras membenahi dress marunnya, menarik nafas, mencoba tersenyum memasuki gedung berhias lengkungan janur kuning di depannya.
Rama masuk gedung dengan santai dan percaya diri. Ia menyempatkan melirik gadis penerima tamu, “Boleh juga. Astri lewat. Paling bentar lagi dia jadi ibu-ibu gendut bunting anak gue. Haha,” Rama tergelak di pikirannya sendiri.
Bayu mendapati Laras ada di barisan tamu-tamu yang hendak menyalaminya, masih sekitar 10 orang lagi. Mereka bersitatap, Laras menundukkan wajah. Perasaaan Bayu berkecamuk lagi, ia mengalihkan pandang pada Astri, pengantinnya.
“Selamat ya, Astri, Bayu,” Rama menyalami Astri terlebih dahulu, masih menampilkan percaya dirinya. Perasaan Astri makin tak karuan. Tak tahan lagi, ia pun ambruk. “Astriii…,” justru suara Rama yang berubah jadi panik.
Rama membiarkan Bayu membopong Astri di tengah kepanikan resepsi, ia tak keberatan, hanya mengikuti mereka dari belakang. Sudut matanya masih mencari Laras yang hilang dari barisan.
“Maaf aku tak jadi mengucapkan selamat. Tak seharusnya kamu membiarkan Astri begitu,” Laras mengirim SMS kepada Bayu dari bajaj orange lagi. “Sedih amat, Neng mukanya? Eneng cantik lho, nikah sama abang aja, yuk,” tak disangka si abang bajaj kali ini pandai menggoda. (Alfy Aulia)
Farah memungut kerang di pasir pantai, ombak mencandai kakinya. Cahaya bulan mengabarkan kerang itu cantik untukku, Farah tersenyum. Ganti angin mencandai rambutya. Seseorang memperhatikan tak jauh darinya.
Handi, yang memperhatikan itu, memasukkan kedua tangan ke saku jaketnya. Malam yang dingin untuk lelaki berkacamata itu.
Handi masih memperhatikan. Farah yang kini duduk di pasir menengok, tahu ada yang memperhatikannya sejak tadi. “Kemari,” Farah yakin dengan ajakannya.
Handi yang tak yakin, ia mendekat ragu, tapi akhirnya duduk juga di samping Farah. Hidungnya menangkap aroma vanilla yang lembut.
"Menurutku, bulan itu seperti roti croissant,” Handi membuka pembicaraan dengan tema aneh. “Karena itu memang crescent moon,” Farah tersenyum, memandang Handi.
“Menurutku lagi, awan-awan itu seperti kepala jamur,” masih aneh, Handi menunjuk gumpalan awan di kiri bulan. “Semakin dingin di sini. Ayo, aku punya kopi dan vanilla cake di kamar,” Farah bangkit menarik tangan Handi, tak peduli lagi dengan celotehannya. Tapi…
Saat menengok, justru yang ditariknya adalah lelaki berkepala jamur dengan senyum roti croissant! Dan…treeettttt… Alarm Farah menjerit membangunkannya. “Dasar Handi! Di mimpi pun tetap aneh dan tidak peka,”Farah merutuk di kamarnya, merasa lucu dengan mimpinya barusan.
“Harusnya tadi aku meminjami Farah jaketku. Kasihan dia kedinginan,” Handi menggaruk kepala di kamarnya, juga baru terbangun dari mimpi anehnya. (Alfy Aulia)
Gazing at the moonlight
Looking for the reason you may sign
Whether it’s wrong or right
I’ll try to be tight
‘Cause the night you made for me
taught me many things;
Relationship doesn’t meant at all
if you can’t value the moment you’ve shared
Sorry doesn’t work, if you still hurt
Night is the place I let off my regrets
And the sky is the place you hang up your dreams
We’re different, I’m sure
But, why don’t we learn to accept, again?
May be in another time, you might hear me
Above the crowd of the disapproval;
forgive me.
(alfyaulia-16/6/11)
Olan baru menarik selimut, HPnya bergetar kecil. “Check email. Aku kirim FF. Minta komentar,” bunyi SMS Iwan. “Besok pagi, ya. Aku udah matiin laptop, males nyalain lagi,” balas Olan, ia malas beneran.
“FF “Ketela” endingnya kurang tajam. Yang “Laut” aku suka,” Olan me-sent komentarnya setelah mengecek FF Iwan di email. Ia justru merasakan FF Iwan punya karakter yang sama dengan FF-nya.
Jam setengah sembilan malam, Olan masih memacari laptopnya. Dari layar Ms.Word ia beralih sebentar ke Beranda-nya, Iwan Ol. “Lagi mbenerin FF?,” Olan main tebak.
“Belum mood,” Iwan membalas dengan smiley melet. “Btw, apa kabar El?” Olan mulai memancing. “El? Hmm… Hanya senyum untuk dia,” Iwan memicingkan mata seperti smiley-nya.
“Aku tahu El, kaya’nya,” Olan memancing lagi, menunggu reaksi Iwan. “Haha,” Iwan tertawa di chatbox-nya. Olan lalu mengirimkan sebuah link profil FB, seseorang yang ia yakini sebagai El, berdasarkan observasinya.
“Bukan dia. Haha,” Iwan tertawa lagi.
“Tapi feelingku bilang gitu. Hayoo..,”Olan belum menyerah.
“Tapi bukan dia.”
“Haha,” kali ini Olan yang tertawa.
“Strange is the songs in our conversation.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya aku dan dia berinteraksi dalam bahasa aneh,”
“Hah? El itu alien, ya?”
“Maybe.”
“Parah.”
“Jangan-jangan dia hanya ada dalam pikiranku saja. Haha. Skizofreniaku kumat.”
“Skizofreniaku?”
“Bukan apa-apa.”
“Wew! Gangguan otak? Dopamin? Gangguan jiwa?” Olan kaget sendiri dengan hasil googling-nya tentang penyakit aneh itu. “Ternyata bukan cuma Insomnia akut. Parah.”
“Haha,” lagi-lagi Iwan tertawa di chatbox-nya. “Biarlah itu menjadi sisi lain hidupku.”
Olan pamit dari chatbox-nya setelah Iwan bilang ia tengah cari inspirasi. Olan juga sedang ingin cari inspirasi. Inspirasi mengobati Skizofrenia mungkin. “Ah, mengucapkannya saja sulit.”
(alfyaulia-11/6/11)
Rasa lelah mengantarkan Olan tidur, tapi rasa lelah pula yang membuatnya terbangun dua jam kemudian, melihat HP dan tidak ada pesan dari si Insomnia. “Mungkin sedang bisa tidur cepat,” pikirnya, lalu mencoba kembali tidur sendiri.
“Seperti pesanmu yang akan bertransformasi, dari mortality menjadi immortality,” Olan membaca status Iwan di Beranda, sedikit mengerutkan dahi. “Jam segini?” Olan lalu meng-klik chatbox FB-nya menjadi aktif. Iwan Ol.
“Hai,” Olan menulis di chatbox. “Hai,” Iwan membalas dengan menyelipkan smiley senyum. “Jam segini Ol? Nggak kerja?” Olan penasaran. “Kerja. Ini nyolong internet kantor,” jawab Iwan, kali ini dengan smiley tawa.
Seperti biasa, mereka membahas menulis dan film. Iwan lalu mengirimi Olan sebuah link. “Apa?” Olan bertanya sebelum membuka link itu, ia sebenarnya tahu itu link blog Iwan. “Bagus nggak?” Iwan juga tahu Olan pasti akan membuka link itu.
Surat untuk El, judul tulisan di blog Iwan tersebut. Olan mencermati isinya. Ia juga menemukan puisi dengan tema serupa, Bait Rindu Untuk El.
“Dalam,” komentar Olan kemudian di chatbox. “Cuma itu?” Iwan tak puas. “Hmm, jelas menimbulkan pertanyaan. Siapa El? Boleh tahu?” pancing Olan kemudian. “Someone in somewhere,” jawab Iwan, membuat kepala Olan dijatuhi banyak tanda tanya, sekaligus tanda seru.
“Jika kau sudah sulit mengingatku, aku malah sudah malas mengingatmu. Aku bersumpah kau tak akan bahagia denganku. Haha,” Olan kembali ke Beranda dan menemukan status Haris. Olan membenarkan letak kacamatanya dan merasakan mukanya terasa panas.
“Maybe ‘she’ he meant wasn’t me,” malamnya Olan bermonolog lagi dengan hatinya. Ia tidak ingin merasa bersalah atau menyesal. “Someone in somewhere, semua orang juga punya itu kan? Apa kabar someone in somewhere-ku ya? Someone yang mungkin bahkan tidak aku kenal saat ini. Apa dia sudah makan?” monolog Olan jadi agak ngelantur, ia menertawai sendiri pikiran randomnya.
“Ah, hidup memang bukan untuk ditebak-tebak kan? Dan godaan itu untuk dinikmati,” masih bermonolog, Olan mengingat lagi note FB-nya dulu. “Just go with the wind saja lah,” Olan menutup monolognya sendiri, lalu mewarnai dinding dan langit-langit kamarnya dengan warna matahari dan bintang, sesukanya.
(alfyaulia-9/6/11)
Olan melihat Iwan dari tepi alun-alun. Bukannya segera memarkir motornya, Iwan malah tersenyum dan memutar jalan alun-alun sekali lagi. “Ngledek!” gerutu Olan lucu dalam hati.
“Hai,” Iwan duduk menjejeri Olan, tersenyum. “Cari es krim, yuk! Tapi aku ga bawa helm, muter ke situ sebentar mbok boleh?” Olan menunjuk minimarket di sisi barat alun-alun. “Nggak usah lah,” Iwan menolak. “Laahhh, ayoo,” Olan setengah merengek. “Aku lagi pilek,” itu cukup membuat Olan diam, mencuri pandang kemudian.
Iwan lalu membuka tasnya, menunjukkan beberapa lembar kertas. “Mau aku buat skenario film,” kata Iwan bersemangat. Origami, Olan membaca judul tulisan itu. “Menurutmu? Kasih aku saran, ya,” Iwan memberondong Olan. “Belum selesaaiii,” Olan menjawab gemas, melanjutkan membaca. Ia mengagumi tulisan Iwan.
“Aku sakit. Berangkat kerja setengah hari,“ Iwan membalas SMS Olan yang menanyakan kenapa ia tumben meng-SMS-nya tengah siang. “Masih pilek?” tanya Olan kemudian.
“Aku Alergi. Badanku merah-merah semua. Kemarin aku salah makan,” Iwan menerangkan sakitnya. “Istirahat dan minum air putih yang banyak ya, biar cepat baikan,” Olan melayangkan perhatian, lalu kembali ke layar laptop tanpa perhatian penuh.
“Dek, kapan ada waktu? Mas mau bicara,” SMS Haris menyusul. Olan menarik nafas. “Jangan sekarang. Nanti aku SMS lagi,” Olan membalas singkat SMS pacar complicated-nya itu.
“Masa aku ketularan ‘alergi’? Kenapa malas sekali untuk bicara lagi dengannya? Bagaimana aku harus memulai ‘tolong’, ‘maaf’, dan ‘terima kasih’ ?” Olan bermonolog dengan hatinya, mencoba mengingat wajah Haris, sulit.
(alfyaulia-8/6/11)
Alun-alun kota warna-warni di Minggu pagi. Iwan menggoes sepedanya santai, tersenyum. Di belakang, Olan berusaha menyeimbangkan tubuhnya, jilbab merah jambunya berkibar lincah, seperti hatinya.
“Status complicated-mu di FB itu…?” Iwan menggantungkan pertanyaannya. “Kenapa?” Olan tak siap dengan pertanyaan itu. Dipandangnya wajah Iwan, mencoba menangkap maksud dan maunya.
“Apa itu mengganggu?” Olan masih bermain dengan retorisnya. Iwan hanya tersenyum, mengarahkan pandang ke langit. “Biar aku menjadi bintang di siang hari saja. Pun kamu tahu aku tetap ada kan?” Iwan memandang Olan, jauh menembus hatinya.